Menuju konten utama

KPAI Minta Polisi Tindak Kasus MTs Kotamobagu Sesuai Peradilan Anak

Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan pemeriksaan para terduga pelaku harus didampingi orang tua dan psikolog/pekerja sosial.

KPAI Minta Polisi Tindak Kasus MTs Kotamobagu Sesuai Peradilan Anak
ilustrasi kekerasan pada anak.foto/shutterstock

tirto.id - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta kepolisian menindak terduga pelaku kekerasan terhadap siswa MTsN 1 Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara, sesuai Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan pemeriksaan para terduga pelaku harus didampingi orang tua dan psikolog/pekerja sosial.

Polisi telah memeriksa 18 saksi kasus tewasnya seorang siswa MTsN 1 Kota Kotamobagu akibat penganiayaan. Sembilan di antaranya merupakan rekan sekolah korban yang diduga sebagai pelaku penganiayaan.

"Dalam UU SPPA, anak-anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) dapat di proses hukum dengan klasifikasi berdasarkan usia, artinya 9 anak yang diduga melakukan penganiayaan tersebut, jika terbukti dapat dilakukan proses hukum," kata Retno Listyarti melalui keterangan tertulisnya, Kamis (16/6/2022).

Retno menuturkan tuntutan hukuman bagi anak di bawah umur menurut UU SPPA tidak boleh dituntut hukuman seumur hidup. Tuntutan hukuman penjara pun maksimal 10 tahun.

Namun, jika anak terduga pelaku berusia di bawah 14 tahun, maka ada ketentuan tentang sanksi tindakan.

“Mari hormati polisi yang sedang bekerja menangani kasus ini, Kami yakin polisi agar bekerja sesuai ketentuan perundangan, yaitu UU SPPA dan UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak,” ucapnya.

Kemudian, KPAI mendorong Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) untuk melakukan pendampingan psikologis kepada 9 anak terduga pelaku.

Sebab dalam UU Perlindungan Anak (PA), kesembilan anak tersebut juga berhak mendapatkan rehabilitasi psikologis agar pelaku menyadari kesalahannya dan tidak mengulangi perbuatannya.

"Kesalahan anak tidak berdiri sendiri, namun dipengaruhi kuat oleh lingkungannya, baik dalam pengasuhan dalam keluarga maupun pergaulan dalam lingkungan sekolah dan masyarakat," ujarnya.

Apabila kesembilan anak terduga pelaku bersekolah di tempat yang sama dengan korban, kata Retno, maka wajib bagi Kantor Kementerian Agama Kota Kotamobagu untuk melakukan evaluasi terhadap MTs tersebut.

Pasalnya, perundungan/kekerasan fisik semacam ini umumnya tidak terjadi tiba-tiba, namun proses yang panjang. Biasanya didahului dengan perundungan verbal, kemudian terus meningkat sampai terjadi kekerasan fisik sebagaimana dalam kasus tersebut.

Oleh karena itu, Retno mengatakan perlu ada kepekaan orang dewasa di sekitar anak, baik oleh para guru dan walikelas maupun kepekaan orang tua. Sebab, biasanya anak-anak yang mengalami perundungan secara terus menerus akan menunjukkan perubahan besar yang seharusnya dikenali oleh lingkungannya, terutama orang-orang dewasa di sekitar anak.

“Peristiwa ini seharusnya menjadi momentum bagi Kementerian Agama untuk membuat peraturan Kementerian Agama RI terkait pencegahan dan penanganan kekerasan di lingungan satuan pendidikan,” kata Retno.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN ANAK atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Hukum
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Gilang Ramadhan