Menuju konten utama

KPA Sebut 5 Perusahaan Besar Kuasai 28 Kota Baru di Jabodetabek

“Tidak adanya aturan yang membatasi maksimal tanah yang dikuasai menjadi celah badan usaha skala besar. Swasta bisa mengusai lahan tanpa batas,” ucap Dewi.

KPA Sebut 5 Perusahaan Besar Kuasai 28 Kota Baru di Jabodetabek
Ilustrasi Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi, di kawasan Jalan MT Haryono, Jakarta, Rabu (22/11/2017). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

tirto.id - Konsorium Pembaruan Agraria (KPA) mengkhawatirkan adanya ketimpangan kepemilikan lahan di wilayah Jabodetabek. Pasalnya, saat ini ada lima perusahaan pengembang besar telah menguasai 28 kota yang baru dibangun di wilayah tersebut.

Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika mengatakan, kepemilikan lahan dalam jumlah besar itu terjadi karena belum ada peraturan yang membatasinya. Oleh sebab itu, penguasaan lahan dapat dimiliki dalam skala besar.

“Tidak adanya aturan yang membatasi maksimal tanah yang dikuasai menjadi celah badan usaha skala besar. Swasta bisa mengusai lahan tanpa batas,” ucap Dewi ketika dihubungi reporter Tirto pada Kamis (3/1/2019).

Menurut Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2018 KPA, Kelima pengembang itu di antaranya adalah Bakrieland Development, Sinarmas Land, Jaya Real Property (Pembangunan Jaya), Lippo Group dan Ciputra Group.

Di samping itu, Catahu itu juga menyoroti nama-nama perusahaan pengembang besar seperti Sinarmas Land menguasai 10.000 hektar tanah sebagai cadangan. Sementara Hanson International menguasai 3.700 hektar per semester 1 tahun 2017 di Maja, Serpong Banten dan Bekasi, Jawa Barat.

Dewi pun tidak heran bila perusahaan pengembang besar dapat menguasai kota maupun lahan dalam jumlah besar. Hal itu ia sebut sebagai fenomena land banking sebagai aktivitas penyimpanan tanah dalam jumlah besar, tetapi sebagian besar belum diusahakan.

Menurut Dewi, hal ini perlu diwaspadai lantaran mengarah pada monopoli tanah. Dampaknya dapat memicu konflik argaria dengan masyarakat terutama mereka yang kelas ekonomi rendah. Sebab, kata Dewi, saat tanah dikuasai pengembang, maka kehadiran kelas ekonomi rendah kerap kali dianggap sebagai gangguan dan mengganggu keindahan sehingga berujung pada pengusiran.

Untuk itu, ia menilai fenomena land banking itu perlu ditertibkan oleh pemerintah. Apalagi UU Reforma Agraria tidak memperkenankan penguasaan lahan yang terlampau luas.

“Kami lihat monopoli tanah sejalan dengan land banking swasta. Tapi saat banyak tanah yang diakuisisi perusahaan, maka konflik agraria yang dialami masyarakat juga meningkat,” ucap Dewi.

Baca juga artikel terkait PENGUASAAN LAHAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Alexander Haryanto