Menuju konten utama

KPA: Konflik Agraria di Sektor Perkebunan Tinggi Karena Sawit

Berdasar data KPA, dari 144 konflik agraria di sektor perkebunan pada 2018, 60 persen terjadi sebab sawit.

KPA: Konflik Agraria di Sektor Perkebunan Tinggi Karena Sawit
Hamparan perkebunan kelapa sawit membentuk pola terlihat dari udara di Provinsi Riau, Selasa (21/2/2017). ANTARA FOTO/FB Anggoro.

tirto.id - Konsorium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat konflik agraria di Indonesia selama tahun 2018 paling banyak terjadi di sektor perkebunan.

Berdasar data dalam Catatan Akhir Tahun KPA, selama 2018 sedikitnya ada 410 konflik agraria yang mencakup wilayah seluas 807.177,613 hektar. Ratusan konflik itu melibatkan 87.568 KK di berbagai provinsi.

Konflik agraria di sektor perkebunan di 2018 ada 144 kasus (35 persen) atau yang tertinggi. Dari 144 konflik agraria itu, 83 kasus atau 60 persen terjadi di perkebunan kelapa sawit.

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan konflik agraria di sektor perkebunan selalu menjadi yang tertinggi setiap tahun. Umumnya bergantian dengan sektor properti dalam urutan 1 dan 2.

“Jumlah konflik agraria di sektor perkebunan tinggi karena ekspansi perkebunan sawit semakin besar,” kata Dewi ketika dihubungi Reporter Tirto pada Kamis (3/1/2018).

Dewi mengatakan selama 4 tahun belakangan pemerintah gencar mempromosikan industri kelapa sawit skala besar. Namun, pertambahan luasan perkebunan sawit bersingungan dengan tanah yang dimiliki masyarakat sehingga berujung pada konflik agraria.

Oleh karena itu, Dewi mengkritik anggapan pemerintah yang menilai perkebunan sawit sebagai sektor ekonomi yang menjanjikan. Dia pun menilai pemerintah terlalu bergantung ke industri sawit.

“Maka ada korelasi terkait bergantungnya ekonomi Indonesia pada sektor perkebunan dengan sumber konflik,” kata Dewi.

Konflik agraria, kata dia, juga semakin memburuk ketika lahan perkebunan sawit berada di sekitar permukiman warga miskin. Akibatnya, seiring dengan ekspansi perkebunan, masyarakat tidak hanya kehilangan lahan tapi juga ikut terserap sebagai tenaga kerja murah.

“Karena sektor pertanian sudah gagal, maka perkebunan menyerap mereka,” ucap Dewi.

Selama 2018, setelah sektor perkebunan, konflik agraria yang paling tinggi terjadi di sektor properti dengan 137 kasus (33 persen).

Setelah itu, secara berurutan, konflik agraria terjadi sektor pertanian (53 konflik atau 13 persen), sektor pertambangan (29 konflik atau 7 persen), sektor kehutanan (19 konflik atau 5 persen), infrastruktur (16 konflik atau 4 persen), dan sektor pesisir (12 konflik atau 3 persen).

Berdasar catatan KPA, 410 kasus pada tahun lalu menggenapi angka konflik agraria yang terjadi dalam tiga tahun pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (2015-2018) menjadi 1.769.

Baca juga artikel terkait KONFLIK AGRARIA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Addi M Idhom