Menuju konten utama

Kota Besar Dunia Kian Tak Ramah Orang Miskin & Kelas Menengah

Biaya hidup di Florida, Johanesburg, hingga Yogyakarta terus naik, terutama untuk sewa/beli rumah. Pertumbuhan industri kreatif ditengarai sebagai salah satu penyebabnya.

Kota Besar Dunia Kian Tak Ramah Orang Miskin & Kelas Menengah
Kawasan sentra bisnis Marina Bay, Singapura. REUTERS/Edgar Su

tirto.id - Di awal abad 21, ahli studi urban Amerika Serikat Richard Florida meramalkan bahwa “kelas kreatif” akan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi kota. Kelas kreatif ini bisa didefinisikan sebagai orang-orang kelas menengah-atas yang hidup serta menghidupi ranah seni dan mendapat kekayaan darinya. Kekayaan tersebut, kata Florida, akan menyebar karena ekonomi kreatif menghasilkan pusat urban yang kian menarik, bersemangat, dan produktif.

Menurut Jane Zheng dan Chan Roger dari Universitas Hong Kong, kelas kreatif ini diistilahkan dengan “kluster industri kreatif”, yakni jenis kawasan perkotaan yang memiliki konsentrasi aktivitas budaya plus perusahaan industri kreatif yang menjadi penyedia modal, maupun menciptakan jalur distribusi produk ke wilayah lain. Istilah ini sering dipakai untuk mempromosikan kebudayaan lokal dan kreativitas individu melalui penyediaan lingkungan budaya yang kondusif dan memusat.

Bree Trevana, peneliti Universitas Melbourne, menulis untuk The Conversation bahwa industri kreatif kini jadi isu panas dalam konteks pembangunan kota. Industri ini dinilai punya kadar inovasi tinggi yang memunculkan ide-ide segar dan menuntun orang dan teknologi ke dalam pasar. Pemangku kebijakan kota kerap menjadikan industri kreatif sebagai prioritas sebab selain dinilai mampu memicu perkembangan budaya, juga mampu meregenerasi perkotaan serta merangsang pertumbuhan ekonomi.

Tesis ini sudah dibuktikan oleh banyak peneliti. Salah satunya oleh Lio Dong dan Mustapha Harua, duo peneliti dri Sichuan Fine Art University, Cina, dan Universidad Austral de Chile, Cili. Lima tahun silam keduanya mempublikasi risetnya di Journal of Sustainable Development tentang efek pembangunan kluster industri kreatif di daerah Chongqing yang didukung oleh mahasiswa di sekitar wilayah tersebut.

Industri tersebut menekankan kehadiran unsur kebudayaan untuk memperbarui blok perkotaan Chongqing dalam bentuk yang khas dan sederhana. Li dan Mustapa berkesimpulan bahwa kebijakan dan proses transformasi kota dengan menggunakan seni, budaya, dan kreativitas ampuh untuk memajukan banyak aspek di daerah Chongqing, termasuk perekonomiannya. Grafiti yang dibikin untuk meramaikan wajah kota membuat Chongqing lebih unik dan mendukung pergerakan ekonomi kreatif dibandingkan kota lain yang visi pembangunannya tak melibatkan seni.

Namun, dua dekade berselang, ramalan Florida terbentur krisis keuangan dan perumahan global. Pandangannya berubah. “Kelas kreatif ini ada dan awalnya saya pikir mereka berorientasi di perkotaan. Tapi, yang luput dari perkiraan saya, kelas kreatif ternyata membanjiri kota ada dalam jumlah besar. Saya kaget dengan ganasnya perombakan wajah kota,” jelasnya pada ABC News.

Kelas profesional dan pelaku industri kreatif memang kembali ke kota, akan tetapi efeknya adalah makin terkonsentrasinya kemakmuran. Di luar lingkaran kesejahteraan yang kian elite dan eksklusif ini, nasib orang-orang miskin kian stagnan, atau bahkan makin miskin. Kelas menengah, kata Florida, memang makin hilang. Namun tak semuanya naik kelas. Orang-orang yang kalah juga tambah banyak serta terkonsentrasi di pojokan kota. Kota, yang dulu jadi impian kesuksesan, kini dalam banyak hal makin tak terjangkau.

Baca juga: Biaya Sewa Rumah yang Mencekik di Kota Besar

Salah satu yang kini menjadi masalah global adalah makin mahalnya biaya beli atau sewa rumah. Kota-kota di Australia, yang selama ini didaulat sebagai kota paling layak untuk hidup sedunia, menurut Florida juga menyimpan masalah yang sama. Kehidupan urban kontemporer di Melbourne, Sidney, juga Toronto, Vancouver hingga Hong Kong kian menyiksa bagi penduduk bergaji pas-pasan sebab biaya sewa rumah amat mahal.

Pendapat Florida diperkuat dengan hasil survei Worldwide Cost of Living 2017 didasarkan pada perbandingan harga 160 produk dan layanan di 113 kota seluruh dunia. Pelaksana survei, Economist Intelligence Unit, mencatat banyak aspek, antara lain biaya makan, minum, pakaian, sewa rumah, perlengkapan rumah tangga, transportasi, tagihan listrik, dan pendidikan.

Hasilnya menunjukkan bahwa kota-kota besar dengan nama populer seperti Hong Kong, Zurich, Paris, New York, Melbourne, Sidney, Los Angeles, Seoul, Oslo, hinga Kopenhagen masuk daftar 15 besar kota dengan biaya hidup termahal di dunia pada tahun 2016. Kota-kota Asia mendominasi survei, termasuk 10 besar, karena penguatan mata uang. Penguatan Yen Jepang membuat membuat biaya hidup di Osaka dan Tokyo meningkat dibanding pada tahun 2015.

Baca juga: Mencari Rumah Rp350 juta di Jakarta, Antara Ada dan Tiada

Dallas Rogers, pengajar senior dalam kajian arsitektur, desain, dan perencanaan kota di Unversitas Sidney, mengatakan kondisi yang agak berbeda terjadi di kota-kota di Australia. Kelas kreatif sebagaimana yang disebutkan oleh Florida, ada, tapi tak membanjiri pusat kota. Lebih tepatnya, tak mampu, sebab harga rumah dekat pusat kota makin tak ramah di kantong.

“Karena masalah keterjangkauan perumahan meningkat di kota-kota seperti Sidney dan Melbourne, kondisinya makin susah mendapat perumahan dekat kota. Banyak politisi dan pembuat kebijakan yang menginginkan kota-kota di Australia jadi kota kreatif, punya pasar perumahan yang kuat dan kelas pekerja kreatif yang gesit. Tapi syarat utama kota yang demikian adalah ada orang-orangnya. Sementara orang-orang itu tak bisa tinggal di dalamnya. Apa gunanya?”

Konsekuensinya, kota-kota besar kini disebut Florida sebagai “kota pemenang” di tengah para pecundang. Di kota-kota pemenang, kata Florida, terdapat pemisahan antara daerah yang padat penduduk sukses dengan daerah padat penduduk yang kalah. Kemakmuran benar-benar terkonsentrasi seolah-olah kota tersebut adalah dua negara yang terpisah. Efek selanjutnya, orang-orang kalah ini bisa dieksploitasi suaranya oleh politisi penggenjot populisme—bahkan kadang-kadang populisme berbasis sentimen SARA belaka, bukan kesadaran kelas.

“Jika Karl Marx hidup lagi, ia akan mengatakan bahwa kontradiksi kapitalisme tidak terjadi di pabrik, melainkan di kota itu sendiri. Kota menciptakan kekayaan dan inovasi, namun juga melahirkan perpecahan (kelas) di antara orang-orang,” tegasnya.

Baca juga: Mengukur Nasib Program 1 Juta Rumah Jokowi

Awal tahun ini muncul laporan serupa dari Gillian Parker, reporter Reuters, yang menyoroti Johannesburg sebagai kota yang makin tak ramah untuk mencari tempat tinggal baru, terutama untuk kalangan kelas bawah.

Kota terbesar di Afrika Selatan itu berkembang sejak penghapusan praktek apartheid pada tahun 1991. Pada tahun 2003 terjadi penggusuran besar-besaran atas kawasan orang-orang miskin untuk merealisasikan Strategi Regenerasi Dalam Kota. Kebijakan ini ditujukan untuk menarik investor, pebisnis, dan kelas menengah ke area dalam kota seluas kurang lebih 18 kilometer persegi. Pembangunannya kian masif sejak Afrika Selatan jadi tuan rumah Piala Dunia 2010, termasuk untuk membangun Stadion Ellis Park.

Sejak saat itu banyak tempat kumuh di Johannesburg yang disulap menjadi daerah tinggal orang-orang intelek dengan apartemennya yang luas dan trendi, serta otomatis menjadi pusat “hipster kota menyesap koktail dan toples selai.” Permintaannya meninggi, dan pengembang makin bernafsu membangun apartemen mewah—tempat tinggal yang hampir mustahil dijangkau kelas bawah, bahkan untuk kelas menengah sekalipun.

Baca juga: Anak Muda Yogya Terancam Tunawisma

Bagi mayoritas warga yang penghidupannya bergantung pada jarak yang dekat dengan kota, perkembangan perumahan di sekitar Johannesburg tidak terjangkau kantong mereka. Setengah populasi rumah tangga di Johannesburg mendapat gaji $228 per bulan, sementara 31 persen lainnya berpenghasilan kurang dari $115, demikian merujuk data Social-Economic Rights Institute of South Africa (SERI). Angka ini masih jauh dari kata cukup untuk sekadar membayar cicilan awal kontrakan bergaya sederhana, terlepas dari anggaran membayar cicilan per bulan yang perlu memangkas sebagian besar gaji.

infografik kota kota mahal

Pemerintah Kota Johannesburg bukannya diam. Mereka telah menempuh sejumlah upaya untuk menyediakan perumahan murah. Johannesburg Social Housing Company (JOSHCO) bertanggung jawab untuk menyediakan akomodasi sosial termasuk tempat tinggal bagi mereka yang berpenghasilan antara $215 hingga $540 per bulan. Tapi, menurut sejumlah lembaga pembela hak asasi manusia yang diwawancarai Parker, harga perumahan itu masih terlalu mahal untuk sebagian besar warga Johannesburg.

Tirto pernah menurunkan laporan tentang Yogyakarta yang makin urban dan membuat kebutuhan akan hunian di Kota Yogyakarta juga meningkat. Pengembang memanfaatkan kondisi ini untuk memperluas bisnis properti. Namun penyediaan perumahan masih sulit, mengingat harga tanah yang terus melambung. Kondisi ini masih bisa diatasi kelas menengah, tetapi mengerikan bagi anak muda milenial yang terancam jadi tunawisma karena harga tanah dan rumah makin gila-gilaan.

Baca juga: Yogya, Rumah, dan Ketimpangan Kelas

Kondisi serupa terjadi di banyak kota baik di Indonesia maupun negara berkembang lain. Di kota negara maju, situasinya agak unik sebab yang kini sedang terancam tunawisma adalah kalangan kelas menengah. Di di Boston, Amerika Serikat, misalnya. Dalam laporan Wired tahun lalu, terdapat pertarungan antara pengembang yang ingin harga rumah tetap tinggi dengan warga yang tetap ingin harga perumahan di batas wajar/terjangkau. Kebanyakan dari mereka berstatus kelas menengah Boston.

Harga sewa rumah di Boston meningkat sepanjang tahun 2016, sementara harga rata-rata rumah di kota-kota AS juga naik. Situasi ini, menurut Wired, menciptakan kekhawatiran bagi kelas menengah di Boston, San Fransisco, Los Angeles, New York, atau Austin, yang dikenal sebagai kota dengan perputaran uang besar. Beberapa keluarga akhirnya memutuskan untuk pindah ke pinggiran kota, sementara lainnya pindah ke kota dengan biaya hidup lebih murah.

“Di seluruh AS, tren ini berlaku: kota-kota semakin berubah menjadi rumah bagi orang-orang kaya yang mampu membayar uang sewa atau uang muka yang tinggi, sementara kalangan berpenghasilan rendah hanya mampu memenuhi syarat untuk tinggal di perumahan bersubsidi.”

Baca juga artikel terkait RUMAH MURAH atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf