Menuju konten utama

Koruptor Dihukum Mati: Retorika Jokowi & Penolakan DPR

Presiden Jokowi membuka kemungkinan hukuman mati koruptor, tapi itu dianggap retorika belaka.

Koruptor Dihukum Mati: Retorika Jokowi & Penolakan DPR
Penjual menata bingkai poster Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin di jalan Semeru, Kelurahan Menteng, Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (1/11/2019). ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/foc.

tirto.id - Presiden Joko Widodo mengatakan hukuman mati untuk koruptor bisa saja diterapkan jika memang ada kehendak yang kuat dari masyarakat. Hal ini ia nyatakan saat menghadiri pentas drama 'Prestasi Tanpa Korupsi' di SMK 57, Jakarta, Senin (9/12/2019) kemarin.

"Kalau masyarakat berkehendak, dalam rancangan UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi), itu [bisa] dimasukkan," kata Jokowi.

UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebenarnya telah mengatur pemidanaan hukuman mati bagi koruptor, namun ruang lingkupnya terbatas. Aturan ini tercantum dalam pasal 2 ayat (2) yang menyebutkan: "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."

Adapun yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah apabila korupsi dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai undang-undang, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

"Kalau korupsi bencana alam dimungkinkan. Kalau tidak, tidak [dihukum mati]. Misalnya ada gempa tsunami di Aceh atau di NTB, kita ada anggaran untuk penanggulangan bencana, duit itu dikorupsi, bisa [dihukum mati]," kata Jokowi.

Apa yang dimaksud Jokowi adalah kemungkinan penerapan hukuman mati dalam ruang lingkup yang lebih luas.

Wacana hukuman mati bagi koruptor tak hanya kali ini saja. Ia pernah terdengar dan DPR berulang kali meminta ada kajian mendalam terhadapnya--bisa diartikan penolakan halus. Seperti yang sudah-sudah, kali ini DPR juga tak setuju.

Kepada reporter Tirto, Senin (9/12/2019), anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan mengatakan "dengan sistem penegakan hukum yang masih seperti ini, dengan masih ditemukannya penyimpangan penegakan hukum di KPK, saya melihat terlalu berisiko menjadikan hukuman mati sebagai solusi."

"Jadi pemberian sanksi sekalipun hukuman mati harus bisa meyakinkan semua bahwa dengan menghukum mati koruptor, itu tindak pidana korupsi berkurang," Arteria menambahkan.

Saat ini, ketimbang hukuman mati, Arteria lebih setuju koruptor dimiskinkan. Politikus PDIP juga ingin adanya perbaikan sistem hukum dan perbaikan sumber daya manusia.

Penolakan DPR Wajar, Usul Presiden Retorika

Ada dua kesimpulan yang bisa ditarik dari usul presiden yang lantas ditolak DPR ini, kata peneliti di Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman.

Pertama soal usul Jokowi. Menurut Zaenur itu hanya retorika belaka.

"Ini adalah pernyataan kosong dari presiden untuk memperlihatkan seolah-olah dia punya komitmen pemberantasan korupsi," kata Zaenur kepada reporter Tirto, Senin (9/12/2019). "Presiden sangat tak memiliki komitmen dalam pemberantasan korupsi."

Salah satu bukti Jokowi tak punya komitmen memberantas korupsi adalah dia tak menampakkan dirinya dalam peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia di Gedung KPK, kemarin.

"Itu saja saya lihat Jokowi sudah buang badan," jelasnya.

Jokowi juga tampak tak punya komitmen memberantas korupsi kala memberi restu legislatif merevisi UU KPK dan meloloskan calon pimpinan KPK yang dianggap bermasalah lewat pansel yang dia bentuk. Sampai saat ini dia juga tak mengeluarkan Perppu pengganti UU KPK, padahal menurut aktivis antikorupsi itu adalah cara terakhir yang dapat dilakukan presiden untuk menyelamatkan komisi antirasuah tersebut.

Dia juga tampak tidak pro pemberantasan korupsi kala memberi grasi kepada koruptor Annas Maamun.

"Jadi ya hanya omong kosong. Kalau mau [disebut] berkomitmen, ayo sekarang keluarkan Perppu KPK," kata Zaenur.

Zaenur juga merasa respons DPR wajar karena mereka memang tak tertarik memperkuat lembaga antikorupsi. Mereka, kata Zaenur, "lebih tertarik bahas UU KPK."

Tak ada revisi UU Tipikor dalam program legislasi nasional 2020. Padahal, seperti pernah disampaikan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, revisi UU Tipikor penting karena "masih banyak yang belum inline dengan Piagam PBB yang sudah kita ratifikasi."

Piagam PBB yang dimaksud adalah Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003 yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia lewat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Beberapa yang belum diakomodasi dalam UU Tipikor adalah: korupsi di sektor korporasi, perdagangan pengaruh, memperkaya diri sendiri secara tidak sah, perampasan aset, hingga pelayanan publik.

Kepala Divisi Legal Policy Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Mappi FHUI) Andreas Marbun melihat beratnya hukuman seperti hukuman mati tak serta merta bisa menyelesaikan persoalan.

Ia mencontohkan negara-negara yang menerapkan hukuman mati bagi terpidana korupsi seperti Cina tak berhasil meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi. Bahkan, Cina pada tahun ini turun peringkat sejauh 10 posisi. Kini mereka ada di peringkat 87.

Sementara Denmark, menurut Andreas, merupakan negara yang termasuk ringan dalam memberikan hukuman dalam kasus korupsi tapi Indeks Persepsi Korupsi di negara tersebut justru selalu berada pada posisi teratas.

"Untuk semua politisi termasuk Jokowi yang suka mempolitisasi pidana, 'wah kalau lebih berat hukumannya jadi takut', kata siapa, ada negara yang hukumannya ringan malah enggak ada korupsi, kok," kata Andreas kepada reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait HUKUMAN MATI atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Hukum
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Rio Apinino