Menuju konten utama

Korupsi di Kementerian Tinggi, Kenapa DPR Paling Dianggap Korup?

Buruknya persepsi korupsi terhadap legislatif karena pejabat legislatif dipilih langsung oleh rakyat.

Korupsi di Kementerian Tinggi, Kenapa DPR Paling Dianggap Korup?
Tersangka Auditor Utama Keuangan Negara (AKN) III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rochmadi Saptogiri meninggalkan Gedung KPK seusai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Rabu (6/9/2017). Rochmadi didakwa melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. ANTARA FOTO/Makna Zaezar

tirto.id - Hasil survei Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan legislatif merupakan lembaga yang dipersepsikan publik paling banyak melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Berdasarkan survei terhadap 11.040 responden di 34 provinsi yang dilakukan PPATK, responden menilai legislatif sebagai lembaga yang dinilai paling banyak tinggi melakukan TPPU.

“Pemahaman publik terhadap pelaku utama TPPU (tindak pidana pencucian uang) adalah pejabat legislatif (7.57), pejabat eksekutif (7.42), pejabat yudikatif (7.21), pengurus/anggota Parpol (6.20) dan pengusaha/wiraswasta (5.86),” kata anggota tim ahli Badan Pusat Statistik Ali Said di kantor PPATK, Jakarta, Selasa (19/12).

Survei yang sama menemukan tiga karakteristik perbuatan TPPU yakni membeli aset properti (7.04), disimpan di tempat tersembunyi (6.93), dan membeli kendaraan bermotor (6.93).

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai survei PPATK tidak bisa dijadikan acuan untuk menggambarkan realitas di lapangan. “Ide mengukur pemberantasan korupsi melalui persepsi menurut saya misleading (menyesatkan),” kata Fahri kepada Tirto, Rabu (20/12).

Persepsi menurut Fahri sangat dipengaruhi oleh informasi yang diterima masyarakat melalui media massa. Dalam konteks ini, ia menilai KPK berperan besar dalam memonopoli informasi tentang korupsi di media massa. Kebanyakan informasi itu, menurut Fahri, tentang penyadapan dan operasi tangkap tangan yang dinilai tidak mengindikasikan kerugian negara.

“Itu setiap hari yang disemprotkan ke ruang publik adalah berita buruk,” ujar Fahri.

Indikator besar kecil atau ada tidaknya kerugian negara dalam praktik korupsi merupakan otoritas Badan Pemeriksa Keuangan. Namun, menurut Fahri, hasil audit yang dilakukan BPK dengan menggunakan metode dan metodologi berstandar internasional kerap diabaikan KPK.

“Tidak mau menghargainya bahkan cenderung menghancurkan reputasi demi popularitas yang dibangun untuk menciptakan sensasi,” katanya.

Mengacu data riset tim Tirto, Fahri mengakui praktik korupsi di eksekutif (kementerian atau lembaga negara) lebih signifikan ketimbang di lembaga legislatif (DPR/DPRD). Hal ini karena menurutnya eksekutif merupakan pemegang kuasa anggaran APBN, sedangkan DPR tidak.

“Jumlah uang yang beredar di DPR jauh lebih sedikit,” ujarnya.

Praktik korupsi di DPR menurut Fahri terjadi karena kegagalan mengelola dan menata pembiayaan politik. Walhasil para anggota legislatif mencari cara sendiri untuk bisa tetap eksis di jagad politik. “500 orang di DPR cari uang sendiri, ribuan orang di DPRD juga begitu,” katanya.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai buruknya persepsi korupsi publik terhadap legislatif dibandingkan eksekutif karena pejabat legislatif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga ada relasi emosional di antara parlemen dan pemilih.

“Ketika ada anggota DPR korupsi efeknya akan lebih besar daripada kementerian,” ujarnya.

Lucius menolak asumsi Fahri bahwa opini KPK turut mempengaruhi persepsi negatif publik terhadap legislatif. Menurutnya opini KPK diterima dan mempengaruhi publik karena bersandarkan fakta serta realitas.

“Karena bukti yang disampaikan KPK benar adanya. Kalau rumor baru (publik bisa) perkarakan KPK,” katanya.

Bagi Lucius pembiayaan politik oleh negara tidak serta merta menghilangkan praktik korupsi di kalangan legislatif. Karena menurutnya praktik korupsi di legislatif bukan semata-mata lantaran beban iuran yang dibebankan partai, tapi juga karena keinginan memperkaya diri.

“Korupsi itu soal mentalitas,” ujarnya.

Persepsi Publik terhadap Korupsi

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Kiagus Ahmad Badaruddin menjelaskan suvei ini menggambarkan harapan masyarakat terhadap pencegahan dan pemberantasan tindak pindana pencucian uang maupun pendanaan terorisme. Ia berharap pengawasan masyarakat bisa meningkat.

“Hasil penilaian persepsi ini sekaligus menjadi petunjuk secara tidak langsung mengenai apa yang diharapkan oleh masyarakat terhadap iklim pengawasan dan penegakan hukum di Indonesia. Dinamika ini khususnya dalam penanganan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme,” kata Kiagus.

Persepsi publik bahwa legislatif merupakan lembaga yang paling banyak melakukan TPPU menarik dicermati. Berdasarkan statistik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diteliti tim riset Tirto, instansi yang paling banyak terjadi tindak pidana korupsi justru di lingkungan Kementerian/Lembaga.

Pada 2004, hanya ada satu kasus korupsi yang terjadi di lingkungan ini, akan tetapi jumlahnya bertambah menjadi 27 kasus pada 2017. Pada 2013, tercatat ada 46 tindak pidana korupsi yang terjadi di Pemerintah Pusat.

Tingginya perkara korupsi di lingkungan pemerintahan dikarenakan besarnya kewenangan yang mereka miliki. Kementerian/lembaga berhak menyusun program, kebijakan, hingga anggaran kegiatan yang menjadi pedoman instansi di bawahnya.

Pada lingkungan DPR/DPRD, tindak pidana korupsi yang terjadi berjumlah 63 kasus. Namun, meski kasus yang ditemukan di lingkungan ini tidak sebanyak instansi lainnya, masyarakat Indonesia beranggapan lembaga legislatif seperti DPR/DPRD merupakan institusi yang paling tinggi melakukan korupsi.

Hal ini juga terlihat dari survei Transparency International yang menyebutkan 54 persen masyarakat menganggap DPR sebagai institusi paling korup di Indonesia. Sedangkan, 50 persen masyarakat menganggap bahwa Pemerintah Pusat yang korupsi. Hanya 32 persen masyarakat yang beranggapan bahwa Presiden/Kantor Kepresidenan melakukan korupsi.

Detail hasi riset Tirto bisa dibaca di sini: Korupsi di Kementerian dan Lembaga Tak Kalah Dahsyat dari DPR

Baca juga artikel terkait TPPU atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Politik
Reporter: Jay Akbar
Penulis: Jay Akbar
Editor: Jay Akbar