Menuju konten utama
Kasus Korupsi Bantuan Sosial

Korupsi di Kemensos Terus Ada dan Mengakar, Pemerintah Bisa Apa?

Zaenur sebut, selain mengubah paradigma, perlu juga dilakukan perbaikan pengawasan baik di internal maupun eksternal.

Korupsi di Kemensos Terus Ada dan Mengakar, Pemerintah Bisa Apa?
Ilustrasi suap. FOTO/IStockphoto

tirto.id - Dalam sebuah wawancara di stasiun televisi swasta, Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah membeberkan alasannya membubarkan Kementerian Sosial yang saat itu bernama Departemen Sosial.

“Karena departemen itu yang mestinya mengayomi rakyat, ternyata korupsinya gede-gedean. Karena tikusnya sudah menguasai lumbung," kata Gusdur dalam wawancara tersebut.

Pernyataan Gus Dur tersebut nyatanya masih terbukti hingga hari ini. Sederet kasus korupsi bernilai fantastis terus terjadi di lingkungan Kemensos.

Pada 2010 misal, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah terlibat kasus korupsi pengadaan mesin jahit hingga bernilai Rp24 miliar. KPK saat itu mengeluarkan penetapan status Bachtiar sebagai tersangka sejak pertengahan Januari 2010.

Setelah diusut, KPK menemukan dugaan penyelewengan senilai Rp24 miliar. Dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terungkap bahwa penerima bantuan tidak tepat sasaran. Bantuan tersebut mengalir ke pemilik usaha konveksi di Jawa Timur dan Sumatera Utara. Padahal, seharusnya mesin jahit itu untuk membantu masyarakat miskin.

Penyelidikan kasus tersebut akhirnya juga membuka fakta baru adanya kasus korupsi proyek pengadaan impor sapi pada 2006. Tim penyidik menemukan indikasi kerugian negara hingga Rp3,6 miliar dari nilai proyek senilai total Rp19 miliar kala itu.

Pada 2018, Kadinsos Karimun Indra Gunawan dan bendaharanya, Ardiansyah dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dana alokasi belanja Dinsos Kabupaten Karimun anggaran tahun 2014—2016 sebesar Rp3,1 miliar.

Saat pandemi Covid-19 terjadi pada 2020, sebuah kasus korupsi di lingkungan Kemensos kembali terjadi. Mensos Juliari Batubara diyakini menerima uang suap Rp32,4 miliar berkaitan dengan dana paket bansos Covid-19.

Eks politikus PDIP itu akhirnya divonis penjara selama 12 tahun dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan. Juliari pun diminta membayar uang pengganti Rp14.597.450.000 subsider 2 tahun penjara.

JULIARI BATUBARA DIVONIS 12 TAHUN PENJARA

Terdakwa mantan Menteri Sosial Juliari P Batubara berjalan menuju mobil tahanan usai menjalani sidang pembacaan putusan secara virtual di gedung ACLC KPK, Jakarta, Senin (23/8/2021). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/wsj.

Buntut kasus korupsi bansos di era Juliari tersebut masih berlangsung hingga saat ini. Teranyar, KPK tengah mengusut kasus dugaan penyaluran bantuan sosial untuk Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Program Keluarga Harapan (PKH) Tahun 2020-2021 di Kemensos. Dari kasus ini, KPK memperkirakan kerugian negara mencapai ratusan miliar rupiah

“Mengenai jumlahnya sejauh ini, sementara sambil menunggu nanti data lengkap dari lembaga yang berwenang menghitungnya, kira-kira ratusan miliar yang nanti bisa menjadi kerugian keuangan negara," kata Kabag Pemberitaan KPK, Ali Fikri dalam keterangannya, Kamis, 16 Maret 2023.

Akar Masalah Korupsi di Kemensos

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Zaenur Rohman menyebut, setidaknya ada dua penyebab perburukan tindakan koruptif di lingkungan Kemensos hingga saat ini.

Pertama, kata dia, adalah paradigma yang menganggap bahwa pemberian bantuan oleh pemerintah melalui Kemensos adalah sumbangan. Kedua, buruknya sistem pengawasan di Kemensos.

“Program-program di Kemensos bentuknya mayoritas bersifat bantuan sosial. Nah, bantuan sosial itu basis programnya berbeda jauh dari konsep charity yang seakan-akan kebaikan negara terhadap warganya. Paradigma charity melemahkan pengawasan eksternal oleh masyarakat," kata Zaenur saat dihubungi reporter Tirto, Jumat, 17 Maret 2023.

Paradigma tersebut, kata Zaenur, menyebabkan lahirnya masalah dari sisi kualitas dan akuntabilitas pelaksanaan program.

“Penerima bantuan tidak punya cukup power untuk meminta transparansi, akuntabilitas, melakukan pengawasan terhadap fungsi pemerintah di bidang sosial ini. Itu bisa tercermin dari banyaknya kasus korupsi Kemensos dari zaman dulu itu, kan, tidak jauh dari korupsi pengadaan barang dan jasa," kata Zaenur.

Selain itu, fenomena ini menurut Zaenur juga menunjukkan bahwa di lingkungan Kemensos tidak ada pengawasan yang berjalan.

“Pengawasnya ada, pengawasannya dilakukan. Pasti itu hanya untuk sekadar ada, untuk mencari kesalahan-kesalahan pegawai level bawah. Tidak ada track record bahwa Kemensos memiliki sistem pengawasan yang efektif," katanya.

Sementara itu, Guru Besar Sosiologi UGM, Prof. Sunyoto Usman menyorot hal lain dari persoalan ini. Ia berpendapat bahwa minimnya derivasi aturan menyebabkan peluang korupsi penyaluran bansos terbuka lebar.

“Aturannya ada, tapi tidak mudah diimplementasikan, karena kondisi masyarakatnya berbeda-beda. Bansos ini persoalan transparansi ya sebenarnya, persoalan partisipasi. Kalau di awal itu derivasi regulasi itu yang lebih baik,” kata Sunyoto kepada Tirto.

Ia menyebut penyesuaian implementasi aturan dengan kondisi masyarakat diperlukan untuk mencegah timbulnya tafsir berbeda yang membuka celah korupsi.

“Untuk daerah urban seperti apa, rural seperti apa. Jadi ada variasi derivasinya. Bukan aturan yang seragam. Aturannya boleh saja seragam, tapi terjemahannya itu yang harus ada. Kalau bantuan material seperti apa, kalau bantuan uang seperti apa," katanya.

Sunyoto menyebut, praktik derivasi aturan sesungguhnya sudah diimplementasikan oleh sejumlah lembaga penyalur bantuan berbasis keagamaan.

“Muhammadiyah punya, NU punya. Muhammadiyah punya LazisMu. Mereka punya sistem yang sangat beragam, dan ada pertanggungjawaban di tingkat lokal. Nah, itu bisa diadopsi untuk bantuan pemerintah,” kata dia.

Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahardiansyah juga memiliki pandangan lain terkait penyebab maraknya kasus korupsi di lingkungan Kemensos. Trubus menyebut, mayoritas kasus di Kemensos itu sebenarnya jenisnya korupsi kebijakan atau korupsi yang memang lahir dari kebijakan yang ada.

“Jadi akibat ada kebijakan mengenai bansos Covid. Di situlah dia kemudian memanfaatkan peluang itu semua. Modusnya bermacam-macam, ini sekarang bansos yang disasar. Persoalan di bansos itu, kan, cuma dua hal, satu soal akurasi data. Yang kedua soal pola penyaluran. Nah, mereka menyempatkannya (korupsi) di situ," kata Trubus.

Ia juga menyebut bahwa pencegahan korupsi hanya sebatas political will, tapi belum sampai tataran action will atau praktik. Hal tersebut dibuktikan dengan masih tingginya toleransi terhadap pelanggaran di lingkungan Kemensos.

“Di situ itu toleransi terhadap pelanggaran itu tinggi. Nah, maka penting juga bagaimana transparansi, bagaimana masyarakat bisa mengakses mengenai pelanggaran itu harus dibuka," tandasnya.

Sementara itu, Sosiolog Universitas Nasional, Nia Elvina menyebut, kasus korupsi di institusi pemerintahan berakar dari kebutuhan modal yang besar untuk berpolitik.

“Realitas yang berkembang di masyarakat kita adalah bahwa untuk menjadi kandidat pemimpin di ranah nasional atau daerah membutuhkan biaya amat besar. Nah, ketika mereka menjadi pemimpin atau pengelola negara, tendensinya tentu mereka akan berorientasi pada profit. Modal telah dikeluarkan harus dikembalikan berikut profitnya,” kata dia saat dihubungi pada Jumat (17/3/2023).

Selain itu, Nia juga menyebut bahwa maraknya kasus korupsi termasuk di Kemensos adalah akibat dari minimnya pengamalan Pancasila. “Karena pengelola negara kita ini tidak mengimplementasikan demokrasi Pancasila kita. Pancasila hanya sekadar dijadikan lip service. Tidak benar-benar diimplementasikan," ujarnya.

Pemerintah Bisa Apa?

Peneliti PUKAT UGM, Zaenur Rohman menyebut, paradigma bahwa bantuan pemerintah adalah sumbangan harus diubah. Ia menekankan, pemberian bantuan sosial oleh pemerintah adalah upaya negara untuk mewujudkan pemenuhan hak warga berupa jaminan kehidupan yang layak.

“Kalau perspektifnya menjadi hak, maka ketika negara memberikan bantuan itu, negara sedang memenuhi hak warga. Bukan pemberian atas kebaikan hati," kata Zaenur.

Selain itu, kata Zaenur, perlu dilakukan perbaikan pengawasan baik di internal maupun eksternal.

“Itjen nya di Kemensos benar-benar harus direvitalisasi mulai dari spiritnya. Eksternal, oleh Kejagung dan KPK, kepolisian harus jalan," kata dia.

Hal senada disampaikan Trubus. Ia menyebut perlu reformasi SDM secara masif untuk membenahi Kemensos. “Memang ini harus reformasi ini, SDM nya juga harus ditata ulang, kemudian struktur organisasinya harus dibenahi semua itu. Jadi lebih ke penekanan pengawasan," kata Trubus.

Di sisi lain, Zaenur juga menambahkan bahwa pengaruh persona pemimpin otoritatif mungkin juga dapat memberikan pengaruh positif bagi Kemensos jika individu tersebut dapat membawa sebuah sistem yang baik.

“Jadi memang Indonesia tidak punya sistem yang baik, sehingga masih sangat bergantung kepada person. Nah, apakah person bisa punya efek? Bisa, tapi person itu harus membangun sistem. Kalau person yang datang hanya mengandalkan persona dirinya, itu tidak akan membuat keadaan jadi baik ke depan," kata Zaenur.

Baca juga artikel terkait KORUPSI BANSOS atau tulisan lainnya dari Fatimatuz Zahra

tirto.id - Hukum
Reporter: Fatimatuz Zahra
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Abdul Aziz