Menuju konten utama

Korban Perundungan di Komisi Penyiaran Bantah Kronologi Palsu

Pengacara korban dan pengacara terduga pelaku adu pendapat terkait kronologi kejadian perundungan korban MS di Komisi Penyiaran Indonesia.

Korban Perundungan di Komisi Penyiaran Bantah Kronologi Palsu
Logo Komisi Penyiaran Indonesia. wikimedia comons/domain Publik

tirto.id - Rony Hutahaean, kuasa hukum MS, pegawai Komisi Penyiaran Indonesia sekaligus korban perundungan dan pelecehan seksual di tempat kerjanya, menyatakan rilis tertulis perihal kronologi peristiwa kliennya merupakan fakta.

“Apa yang dialami itu sebagaimana pers rilis yang disampaikan dan dipublikasikan untuk mendapatkan perlindungan hukum, keadilan, meminta pertolongan hukum kepada Presiden Jokowi, Kapolri, dan lainnya,” kata Rony, dalam diskusi daring, Jumat (10/9/2021).

MS mengalami perundungan pada tahun 2012-2014, lalu tahun 2015 ia dilecehkan secara seksual. Sebagai korban, MS melaporkan kejadian itu ke Polsek Gambir dan Komnas HAM.

“Apa yang diuraikan tersebut sesuai dengan fakta yang dialami selama dia bekerja di kantor KPI. Kami tegaskan, penjelasan di pers rilis adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri,” jelas Rony.

Kini MS mengidap post-traumatic stress disorder (PTSD) atau gangguan stres pasca-trauma.

Bantahan Terduga Pelaku

Namun kuasa hukum terduga pelaku, Tegar Putuhena, merasa ada ada kejanggalan dari rilis tertulis itu.

Ia mencontohkan, MS membuat pernyataan itu usai ahli kejiwaan mendiagnosisnya mengidap PTSD.

Kemudian gejalanya yaitu enggan membicarakan peristiwa yang membuatnya trauma, hal ini ditunjukkan dengan menghindari tempat, aktivitas, dan seseorang yang terkait dengan kejadian traumatis tersebut. Serta cenderung menyalahkan dirinya dan orang lain.

Kejanggalan lainnya yaitu MS juga berprofesi sebagai dosen di Universitas Mercubuana, Universitas Budi Luhur, dan Universitas Mpu Tantular. Artinya, kata Teguh, MS adalah orang yang berpendidikan.

“Urutan tanggal jadi kunci bagaimana kami bisa menilai rilis yang disebar itu layak menjadi acuan atau tidak. Rilis itu dibuat saat MS sudah didiagnosis menderita PTSD,” jelas Teguh.

“Apakah keterangan yang dibuat oleh penderita PTSD bisa digunakan sebagai referensi?” lanjutnya.

Pada Rabu (1/9/2021) lalu, polisi meminta membuat laporan perkara di Polres Metro Jakarta Pusat. Para terduga pelaku dipersangkakan Pasal 289 KUHP dan/atau Pasal 281 KUHP juncto Pasal 335 KUHP.

Kasus ini merebak karena ada pesan berantai berisi kronologi tertulis atas perundungan dan pelecehan seksual.

Di akhir kalimat, tercantum inisial ‘MS’ dan ia membubuhkan keterangan ‘penyintas’. Bahkan pada tahun 2019 dan 2020, dia mengadukan perkara itu ke pihak Polsek Gambir tapi tidak pernah ditindaklanjuti oleh polisi. Namun polisi mendapatkan informasi yang berbeda.

“Keterangan awal, pertama, MSA tidak pernah membuat rilis tersebut. Kedua, MSA tidak pernah datang ke Polsek Gambir untuk membuat laporan polisi. Tapi memang ada kejadian itu di 22 Oktober 2015, jam 13,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus, Kamis (2/9).

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Zakki Amali