Menuju konten utama

Korban Pelecehan Seksual Bersuara: Gereja Katolik Mengkhianati Saya

Dua penyintas baru mengisahkan pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang romo di Gereja Katolik Maria Bunda Karmel Paroki Tomang.

Ilustrasi pelecehan dan kekerasan seksual di Gereja Katolik. tirto.id/Lugas

tirto.id - [Peringatan: Cerita berikut dapat memicu pengalaman traumatis; kami menyarankan anda tidak melanjutkan membaca jika dalam keadaan rentan]

Laporan Tirto dan The Jakarta Post tentang pelecehan seksual yang dilakukan seorang pastor di gereja Katolik Maria Bunda Karmel Paroki Tomang, Jakarta Barat, mendorong lebih banyak korban angkat bicara.

Salah satunya adalah Anna, yang minta namanya disamarkan, menghubungi tim kolaborasi setelah sehari laporan terbit.

Anna mengisahkan pengalamannya dilecehkan romo berinisial H itu saat menjadi siswa di Sekolah Katolik Sang Timur, terletak di sebelah Gereja Maria Bunda Karmel. Pelecehan seksual itu terjadi saat Anna melakukan pengakuan dosa menjelang Natal dan Paskah.

“Biasanya hanya ada dua pastor yang bertugas menerima pengakuan dosa ratusan murid,” kata Anna. “Salah satu romo yang selalu bertugas adalah dia (Anna menyebut nama romo tersebut).”

Pastor itu “meletakkan telapak tangannya ke arah saya—ke arah dada saya, dan pelan-pelan menggerakkannya naik-turun,” ungkap Anna.

Anna merasa bingung kala itu. “Saya ingat bertanya-tanya sendiri, ‘Apakah itu sikap biasa saja, gestur tanda mengasihi kami?—yang bertahun-tahun datang mengaku dosa kepada dia,” ujar Anna.

Pelecehan itu terjadi berkali-kali sampai Anna lulus sekolah. “Tiap kali meninggalkan ruang pengakuan (di kapel), saya bingung, tapi tidak tahu apa yang harus pikirkan atau lakukan.”

Pengakuan dosa siswa Sang Timur di sebuah kapel, alih-alih di ruang pengakuan dosa tradisional yang dipartisi, terjadi karena jumlah murid yang banyak sementara romo yang bertugas terbatas. Itu memungkinkan para pastor berkontak langsung dengan siswa, tanpa diketahui oleh siapa pun. (Laporan kami, 'Bungkamnya Korban Kekerasan Seksual Demi Nama Baik Gereja Katolik', mengangkat dua penyintas, Sisca dan Ellen, yang mengisahkan kejadian pelecehan oleh pelaku yang sama.)

Anna tak pernah menceritakan peristiwa itu kepada siapa pun, untuk waktu cukup lama, termasuk kepada ibunya. Ia berasumsi ceritanya akan mudah dibantah karena Romo H punya citra “tidak berbahaya, penuh kasih, dan sudah tua.” Ketika usianya 23-24 tahun, Anna mulai paham atas apa yang dilakukan Romo H bukan hal biasa atau gestur mengasihi belaka. “Apa yang dia lakukan itu salah. Itu eksploitasi, manipulasi… It was an abuse,” kata Anna.

Sekitar 10 tahun kemudian, saat berkumpul dengan kawan-kawannya, Anna terkejut saat mendengar dua dari empat kawannya dari Sekolah Sang Timur mengalami hal sama, oleh pelaku yang sama.

“Saya tahu ada yang enggak benar dengan pendeta ini. Dan selama bertahun-tahun, kita semua hidup dengan fakta dan kebenaran bahwa dia telah menyalahgunakan kekuasaan dan otoritasnya, and exploited the innocence of these Catholic girls.”

Vivian, juga minta namanya disamarkan, mengisahkan Romo H pernah mencium di bagian sudut bibirnya beberapa kali saat memberikan berkat. Pastor ini terkenal selalu berada di selasar gereja Maria Bunda Karmel tiap pagi untuk memberikan berkat kepada murid-murid yang akan masuk kelas.

“Mayoritas emang anak-anak SMA karena itu emang jalan kita kalau mau masuk sekolah. Lewatin selasar itu. Kalau anak TK, SD, SMP, enggak lewat situ,” ungkap Vivian, mengingat kejadian sekitar 2013 dan 2014.

“Romonya kadang cuma berkatin aja gitu, doa, dan bikin salib di kening. Mostly, sambil megang pipi kita gitu pas doanya; kadang abis bikin salib, kening kita dicium. Kadang pipi kanan-kiri. Nah, aku ada beberapa kali yangg dicium pipi tapi mepet ke bibir,” cerita Vivian.

Awalnya, Vivian mengira ciuman itu hanya bentuk afeksi sang romo yang sudah berusia lanjut terhadap anak-anak. Meski canggung, Vivian tak pernah menceritakan peristiwa itu kepada siapa pun sampai ia membaca laporan kami. Beberapa kawannya ternyata mengalami hal sama, ujar Vivian.

Namun, dalam kasus Vivian, Romo H masih mengontaknya beberapa kali. Romo itu mengirim pesan menanyakan kabarnya—apakah sudah menikah—dan meminta Vivian mengirimkan foto terbarunya. Pesan terakhir pada Mei lalu.

Rupanya, sejumlah kawan Vivian menerima pesan bernada serupa dari romo H, ujar Vivian.

Anna dan Vivian langsung menyebutkan nama romo pelaku kepada tim kolaborasi. Vivian menebak nama romo itu karena modus pelecehan seksual serupa dialami Ellen, penyintas yang kisahnya kami tulis dalam laporan perdana. Sementara Anna berkata, “Cuma dia—(menyebut nama)—yang melecehkan saya. Cuma dia yang mencium teman-teman saya sebelum mereka keluar ruang pengakuan (kapel).”

Februari lalu saat kami mengonfirmasi kisah pelecehan yang dialami Sisca dan Ellen, untuk seri laporan perdana kami, Romo Kepala Paroki Mari Bunda Karmel saat itu, Andreas Yudhi Wiyadi, membantahnya. Ia bilang tak pernah mendengar laporan apa pun mengenai pelecehan seksual yang dilakukan oleh romo tersebut. Selama dia menjadi romo kepala, “Kapel enggak pernah digunakan buat pengakuan dosa.”

Romo Kepala yang baru, Krispinus Ginting, tak merespons pertanyaan kami mengenai apakah ada tindakan yang diambil gereja menyusul laporan pertama kami soal dugaan pelecehan seksual oleh Romo H.

Romo H, terduga pelaku pelecehan seksual, tak mengangkat telepon dari upaya konfirmasi kami; ia hanya membaca pesan WhatsApp yang kami kirimkan.

Kepala Ordo Karmel Romo Budiono mengklaim kepada kami bahwa ia selalu terbuka dengan laporan kekerasan seksual. “[Korban] harus melaporkan langsung kepada kami (ordo), lengkap dengan nama dan alamat,” ungkapnya.

Hal itu tentu saja menyulitkan para penyintas karena risiko identitas mereka terbuka, dan kemungkinan menjadi korban untuk kali kedua sangat besar karena tak ada jaminan keamanan dari gereja.

Dianggap ’Wajar’ oleh Orangtua

Vivian sempat memberitahu apa yang dilakukan oleh Romo H kepada orangtuanya. Tetapi, orangtuanya berkata yang dilakukan Romo H adalah hal “wajar”.

“Jadi aku dulu percaya kalau apa yang dilakuin romo ini tuh normal dan sebenarnya dia baik, penuh kasih sayang, dan lain-lain,” ujar Vivian. “Turned out, beberapa temenku juga reaksi ortu-nya gitu. Mungkin itu juga yang bikin kami jadi repress pengalaman ini.”

Pengalaman sama terhadap Anna: “Ibu saya tidak bereaksi persis seperti yang saya harapkan.” Anna berkata “bukan berarti saya tahu harus berharap reaksi apa dari ibu saya, tapi dia tenang dan tanpa diduga acuh tak acuh.”

Ibu Anna mempercayai kisah anaknya, tapi tak tahu harus berbuat apa. “Saat itu ibu saya memberitahu saya bahwa dia mendengar cerita serupa dari salah satu tetangga kami yang putrinya sekelas dengan saya!”

Kami mengontak dokter spesialis psikiatri anak Fransiska Kaligis mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh orangtua ketika mendengar anaknya mendapatkan pelecehan seksual, yang dalam kasus ini, para penyintas remaja ini belum mampu dan belum paham saat itu untuk mendefinisikan tindakan Romo H adalah pelecehan seksual. Kesadaran bahwa itu pelecehan seksual tumbuh seiring mereka dewasa. Saat kejadian, para penyintas hanya merasa aneh, canggung, bahwa tingkah Romo H itu “seharusnya salah”—tetapi sulit diungkapkan.

Fransiska Kaligis berpendapat laporan pelecehan atau kekerasan seksual kepada anak seharusnya ditindaklanjuti serius. Gunanya untuk meminimalisir dampak negatif yang mungkin muncul setelahnya. “Trauma seperti itu bisa memengaruhi anak melihat dirinya sendiri, orang lain, dan dunia mereka,” katanya. (Fakta bahwa keempat penyintas, dan mereka mengisahkan pengalaman serupa teman-temannya, atas kejadian 10 sampai 30 tahun lalu itu dengan detail ingatan yang jelas, bisa kami sebut adalah pengalaman traumatis.)

Penyangkalan Gereja Mengabaikan Panduan Vatikan

Minim respons atau bahkan penyangkalan dari pejabat Gereja Katolik di Indonesia atas dugaan pelecehan seksual telah mengabaikan seruan dan panduan Vatikan.

Pedoman baru tentang penyelidikan dan pelaporan kasus dugaan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur dan lainnya oleh kaum klerus telah dikeluarkan oleh Vatikan. Salah satu poinnya menggarisbawahi laporan dapat berasal dari sumber anonim, yaitu dari orang tak dikenal.

“Anonimitas sumber seharusnya tidak otomatis mengarah pada anggapan bahwa laporan itu palsu,” tulis Vademecum, atau manual, yang dirilis Vatikan pada 16 Juli 2020.

Di dalamnya menjelaskan, di antara hal lain, laporan yang kurang spesifik seperti nama, tanggal, waktu, dan lain-lain “harus dinilai dengan tepat dan, jika memungkinkan, diperhatikan sebaik-baiknya.”

Pedoman terbaru ini mengatur bagaimana gereja membuka penyelidikan awal setelah menerima “dugaan pelanggaran” yang dilakukan oleh kaum klerus. Kemungkinan pelanggaran ini bisa berasal dari laporan media (termasuk media sosial),” tulis buku manual.

Dengan kata lain, laporan kolaborasi 'Nama Baik Gereja' antara Tirto dan The Jakarta Post sudah menyediakan sumber material yang cukup bagi Gereja Katolik di Indonesia untuk mengusut ada kemungkinan pelanggaran dan seharusnya bisa memulai penyelidikan kasus-kasus pelecehan atau kekerasan seksual.

Paus Fransiskus, melalui motu proprio berjudul “Vos Estis Lux Mundi” (“kamu adalah terang dunia”), mewajibkan setiap Keuskupan dan Ordo di dunia untuk mendirikan “satu atau lebih sistem yang terbuka, stabil, dan mudah diakses untuk penyerahan laporan” tentang pelecehan seksual oleh para klerus dan religius, penggunaan pornografi anak, dan tindakan penyembunyian pelecehan itu. Tenggatnya, Juni 2020. Namun, sampai saat ini, Gereja Katolik di Indonesia belum memilikinya.

“Gereja telah mengkhianati saya,” tulis Anna dalam pesannya kepada tim kolaborasi.

==========

Laporan ini terbit berkat kolaborasi antara Tirto dan The Jakarta Post. Tim kolaborasi terus menggali kasus-kasus lain dalam seri liputan dugaan kekerasan dan kejahatan seksual di lingkungan Gereja Katolik di Indonesia.

Louis Lugas (visual journalist) dan Sandya Windhu Febryas (storyboard) terlibat dalam visualisasi kisah penyintas.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL DI GEREJA atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Hukum
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam