Menuju konten utama

Korban Banjir Bandang Sentani: 'Kitong Fokus Dulu untuk Bangkit'

Para korban menyebut bencana alam banjir bandang Sentani sebagai Banjir Terparah di Jayapura.

Korban Banjir Bandang Sentani: 'Kitong Fokus Dulu untuk Bangkit'
Mobil terendam tumpukan puing dan lumpur yang terseret banjir bandang di Sentani, Jayapura, Papua | Foto oleh Melodie Priscilla di Sentani atas seizinnya

tirto.id - Yuliana panik. Orangtuanya menelepon malam-malam, mengabarkan rumah kemasukan air. Sabtu malam, 16 Maret, hujan deras memang mengguyur Kecamatan Sentani dan sekitarnya. Yuliana tinggal di Waena, sekitar 1-2 jam dari rumah orangtuanya di Desa Kertosari, Kelurahan Sabronsari.

Rumah itu cuma ditempati mamanya (60) dan papanya (65); Yuliana dan saudara-saudaranya sudah tinggal pisah rumah, berkeluarga maupun demi pekerjaan.

Mamanya mengabarkan ingin keluar demi menyelamatkan diri, tapi Yuliana melarangnya.

Yuliana menyuruh mereka tetap berlindung di rumah ketika diberitahu air makin naik. Di desa tempat orangtuanya memang ada dua aliran sungai, jaraknya sekitar satu sampai dua kilometer. Yuliana takut arus banjir makin kencang. Keluar rumah malah bikin situasi orangtuanya lebih bahaya, pikirnya.

Pada malam yang sama, Priscilla Lamera berada di belakang meja kasir Haven Cafe Sentani di Hinekombe. Semula ia tak sadar hujan deras malam itu membawa banjir sampai beberapa pelanggan kafe heboh menunjuk ke luar jendela, melihat mobil berisi lima orang yang baru saja pamit dari kafe terseret arus hujan.

Situasi berubah panik. Salah satu barista bergegas minta bantuan Priska—nama panggilan Priscilla—untuk menyelamatkan barang-barang. Stabilizer, mesin espresso, kulkas. Belum semua sempat diangkut, air dari banjir bandang sudah masuk ke pintu kafe.

Meski bangunan utama kafe tiga lantai itu berdiri di dataran lebih tinggi dibandingkan halamannya, tapi mereka cuma sempat mengganjal sela pintu dengan kain. Air perlahan naik di lantai satu sampai-sampai “sudah melewati mata kaki," ujar Priska. Para pelanggan dibawa ke lantai dua dan tiga.

Sesaat mereka heran dan bingung. Lalu, listrik mati.

Yuliana juga tambah panik saat sambungan telepon Mama terputus sekitar jam 11.30 malam waktu setempat. Ibunya sempat menenangkannya—"Ko harus tenang", "Kam berdua baik-baik saja"—meski dia baru benar-benar lega setelah adiknya mendatangi rumah orangtua saat hujan berhenti, esok paginya.

Sa pu adik stop jalan karena ada jalanan putus. Kena longsor dan banjir. Dong kasih tinggal motor, jalan kaki sudah ke rumah,” kata Yuliana. “Untung semua tra apa-apa. Sa pu orangtua baik-baik saja.”

Keadaan orangtuanya selamat, tetapi rumahnya babak-belur. Sebongkah “kayu log besar” terdampar di halaman rumah. Rumah kemasukan lumpur. Bahkan rumah tetangganya “tertimbun pasir sampai jendela," kata Yuliana. Beruntung banjir bandang tak sampai memakan korban jiwa di kampung itu.

Semua orang di rumah Priska pun selamat. “Kami berdiam di dalam kafe selama dua jam, dan selama itu pula air sudah merusak kebun ... dapur kafe,” ujar Priska.

Para pelanggan kafe itu harus menunggu satu jam lagi saat hujan reda karena gang kampung terendam air setinggi 1 meter. “Kayak kali karena arusnya deras,” tambah Priska, menyebut kerugian kafe milik keluarganya mencapai lebih dari Rp50 juta.

Hinekombe di Distrik Sentani Kelurahan tempat tinggal Priska; dan Desa Kertosari di Distrik Sentani Barat tempat tinggal orangtua Yuliana termasuk lokasi terdampak parah, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Badan pemerintah ini merilis sedikitnya 102 jiwa meninggal dan 13 ribu keluarga dari 11 distrik terkena dampak banjir bandang Sentani, hampir setelah sepekan kejadian. Ada sedikitnya 11.338 pengungsi.

Simpang Siur Penyebab Banjir

Yuliana baru pulang dari dapur umum di Posko Kertosari ketika saya mengontaknya. Ia baru saja membantu warga sekitar menyediakan sekitar 2.500 bungkus makanan jadi, disebarkan kepada korban-korban banjir.

“Sejauh ini masih bisa memenuhi target,” katanya.

Warga Kertosari sudah berbenah dan bersih-bersih kampung dari bencana alam yang disebut mereka sebagai Banjir Terparah di Papua.

Akibat banjir, kampung bukan cuma ditimbuni lumpur dan kayu-kayu raksasa dari hutan di lereng Pegunungan Cyclops. Yuliana berkata genangan air di tengah kampung tak kunjung surut karena tersumbat timbunan lumpur.

“Kemarin ada warga yang sempat baku marah sama perusahaan batu ciping di kampung saya. Soalnya ada yang bilang perusahaan sempat menutup aliran sungai sehingga dikira jadi penyebab banjir,” kata Yuliana.

Tapi dugaan itu belum bisa dibuktikan. Menurutnya, dugaan-dugaan itu baru rumor dan hal begini wajar di kalangan korban bencana alam. “Kemarin sudah ditengahi kepala desa, kitong fokus dulu untuk bangkit, bersih-bersih kampung, bantu yang ada di sini,” tambahnya.

Genangan air di tengah kampung akhirnya berhasil dialirkan ke sungai dengan bantuan “beko”—alat berat milik perusahaan batu ciping di kampung itu.

Potongan-potongan kayu yang terseret arus air memang jadi dasar kecurigaan sebagai penyebab banjir bandang.

Ketua Dewan Adat Papua Paul Finsen Mayor mencurigai kayu-kayu gelondongan dalam banjir bandang berasal dari aktivitas penebangan hutan ilegal di atas Pegunungan Cyloop.

“Jangan-jangan di sana ada penebangan liar. Soalnya sampai merusak pesawat. Jangan sampai kita tidak tahu ada penebangan liar di atas,” kata Finsen kepada Tirto.

Direktur Walhi Papua Aiesh Rumbekwan juga heran atas kehadiran kayu-kayu gelondongan dari atas pegunungan yang tergeret arus banjir bandang. Ia menduga kayu-kayu itu hasil penebangan liar. "Karena nampak dari beberapa jenis pohon yang hanyut ke kota itu pohon yang sebenarnya bukan karena longsor. Ada juga yang seperti sudah ditebang," ujarnya.

Johansen Yacobus Kopeuw, anggota kelompok Horolawa, menduga ada perambah hutan di lereng pegunungan Cyclops. “Perambah ini masalah berat,” katanya. Horolawa adalah masyarakat mitra polisi kehutanan.

Infografik HL Banjir Sentani

Infografik Korban banjir bandang Sentani. tirto.id/Lugas

Korban Butuh Alat Evakuasi

Meski publik berhak tahu soal pelbagai penyebab banjir bandang, tetapi informasi seperti ini tak bisa didapatkan dalam waktu dekat.

Untuk saat ini, ujar Yuliana, yang perlu segera diperbuat adalah membantu kebutuhan para korban dan penyintas. “Kitong harus bersatu dulu, saling bantu,” tambahnya.

Geradus Ete, salah satu relawan di Sentani, mengimbau seluruh pihak fokus pada penanganan korban dan pengungsi yang jumlahnya terus bertambah.

“Saat ini masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan bantuan, apalagi di daerah pulau-pulau pesisir Danau Sentani,” katanya.

Menurut Gerard, sebagian besar warga memang sudah dibantu tapi ada banyak warga juga yang masih mencari keluarga.

Bukan cuma bantuan pangan, para penyintas membutuhkan bantuan alat-alat evakuasi terutama di dekat kawasan Cyclops dan Danau Sentani. “Ada banyak keluarga yang mencari keluarga mereka pakai alat seadanya. Ada yang cuma pakai kayu untuk gali tumpukan lumpur,” tambah Gerard, yang juga jurnalis warga di suaratifapapua.com.

Priska berpesan serupa. Selama lima hari terakhir ia tak keluar rumah karena gang kampung masih tergenang air. “Kami pakai bahan (pangan) yang distok di kafe, jadi tidak kekurangan. Tapi aku dengar ada yang menaikkan harga sembako di saat-saat begini,” katanya.

Karena desas-desus itu, Kadin Perindag Koperasi dan UKM Jayapura Robert LN Awi merilis surat imbauan untuk tidak menaikkan harga sembako.

“Apabila saudara tidak mematuhi surat pemberitahuan ini, maka surat izin usaha saudara akan ditinjau dan tidak diperkenankan lagi berusaha di kota Jayapura,” tegasnya.

Baca juga artikel terkait BANJIR BANDANG atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Humaniora
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam