Menuju konten utama
Lingkar Skena

Kopibasi Membuktikan Folk Bukan Cuma 'Kopi' dan 'Senja'

Keluarga adalah perpaduan antara cinta, luka, dan, tak jarang, dilema. Kopibasi ingin merayakan hal tersebut di album baru mereka.

Kopibasi Membuktikan Folk Bukan Cuma 'Kopi' dan 'Senja'
Konser musik Kopi Basi. foto/dok. kopibasi

tirto.id - Menunggu adalah pekerjaan yang perlu kesabaran ekstra, juga kesiapan mental yang cukup andaikata hasilnya tak sesuai bayangan. Menunggu bisa bikin kecewa atau malah sebaliknya: bahagia tak kepalang. Menunggu, dengan demikian, membuat kita dipenuhi ketidakpastian.

Kopibasi, paguyuban folk asal Yogyakarta, kiranya paham betul dengan konsep tersebut. Mereka perlu menunggu sampai enam tahun lamanya untuk merilis album debut yang bertajuk Anak Pertama pada awal Desember 2019 kemarin.

Sebanyak 10 lagu yang termaktub dalam album tersebut seperti membayar tuntas penantian yang mereka hadapi. Kopibasi menjadikan musik sebagai wahana bersuka cita dalam Anak Pertama. Dengan iringan folk yang semarak, sebagaimana jamuan pesta musim panas, mereka bertutur tentang apa saja: cinta, kerinduan, hingga perasaan yang menolak untuk luruh.

Semua elemen-elemen itu dijahit secara rapi lewat satu tema besar berwujud: keluarga.

Jalan yang Panjang

Galih Fajar, sang vokalis, mengaku bahwa lamanya pembuatan album disebabkan oleh banyaknya kepala yang ada di Kopibasi. Keadaan tersebut, mau tak mau, membikin mereka kerap terlibat adu argumen, baik soal musikalitas atau penulisan lirik.

Pernyataan Galih memang tak salah. Kopibasi tergolong gemuk sebagai band. Selain Galih, ada lima personel lain yang mengisi struktur band: Pradesta (gitar), Alfian (gitar), Istiq (bass), Tot Yudi (violin), dan Mathorian Enka (perkusi).

Eksistensi Kopibasi berawal dari komunitas apresiasi sastra bernama Ngopinyastro di Yogyakarta. Nama Kopibasi, seperti dituturkan Galih, muncul dari sebuah obrolan ringan—tanpa ada maksud untuk menyerang penikmat kopi yang militan.

“Sengaja [nama Kopibasi] tidak dipisah agar menjadi fonem yang baru. Atau, supaya bisa lebih mudah dicari di SEO [Search Engine Optimization],” jelas Galih sembari tertawa.

Kopibasi

Konser musik Kopi Basi. foto/dok. kopibasi

Mulanya, Kopibasi tampil dengan format musikalisasi puisi. Mereka memainkannya dalam balut bossanova, sebuah ragam musik yang populer di Brasil. Namun, format ini ternyata tak bertahan lama. Maka, pada 2016, mereka pun memutuskan untuk pindah haluan ke folk.

“Karena [dalam] rentang 2014 sampai 2015, personelnya [Kopibasi] tinggal aku sama Matho saja,” ungkapnya kepada Tirto (14/12). “Akhirnya, kami mengambil sikap untuk merombak musik Kopibasi.”

Transisi dari bossa ke folk diakui Galih bukanlah hal yang sulit sebab “folk tidak mempunyai pattern tertentu seperti halnya bossa.”

Di fase ini, Kopibasi kedatangan personel baru dan mulai menyusun lagu sendiri. Dari sisi musik, mereka banyak mengambil pengaruh warna Americana—perpaduan folk, country, dan rock. Sedangkan untuk aspek penulisan lirik, mereka terinspirasi dari bait-bait dalam puisi.

“Sengaja berproses seperti itu karena kami ingin menjadikan lirik sebagai sebuah objek yang bisa, katakanlah, berbicara, seperti halnya di lukisan,” terang Galih.

Setelah berkutat dalam proses selama kurang lebih tiga tahun, album mereka pun jadi. Menurut Galih, album Anak Pertama berangkat dari pengalaman kecil para personel, atau dalam konteks ini: keterikatan dengan keluarga.

Di albumnya, Kopibasi ingin berkisah bahwa keluarga menyimpan banyak dimensi, banyak rupa, serta banyak problema yang—entah disadari atau tidak—berandil dalam membentuk jatidiri mereka sebagai manusia.

Walhasil, tak heran jika lagu-lagu Kopibasi dalam Anak Pertama banyak memuat narasi mengenai relasi ayah dan anak, anak sebagai entitas yang baru, hingga keyakinan bahwa rumah adalah sebaik-baiknya tempat untuk pulang.

Infografik Kopibasi

Infografik Kopibasi. tirto.id/Quita

Semesta Folk dan Kehidupan

Musik dalam Anak Pertama dibangun di atas pondasi folk seperti yang sering dibawakan band-band macam Mumford and Sons, Of Monster and Men, The Lumineers, hingga Edward Sharpe and the Magnetic Zeros.

Kopibasi meleburkan petikan gitar, gesekan violin, dan pukulan perkusi yang ritmis menjadi satu kesatuan yang menyegarkan.

Ini dapat dijumpai sejak nomor pertama, “Demi,” yang energik sekaligus membuka ruang selebar-lebarnya bagi para pendengar—atau penonton bila saat konser—untuk sing along bersama. Kemudian di “Bapak,” alunan violin menjadi kunci dalam membentuk konstruksi lagu. Ia dapat meneteskan nada-nada yang cepat sekaligus syahdu lagi menyanyat.

Kopibasi

Konser musik Kopi Basi. foto/dok. kopibasi

Kopibasi

Konser musik Kopi Basi. foto/dok. kopibasi

Namun, lagu tersebut kuat bukan semata karena musiknya, melainkan juga sebab liriknya yang elegan: “Kau belum puas jadi bapak, aku belum lunas jadi anak.” Dilanjutkan, “Hidup sudah habis apa mati nanti romantis?

Lagu “Bapak” terdengar begitu relevan untuk menggambarkan betapa (selalu) kompleksnya relasi antara seorang ayah dan anak. Pertentangan ide, yang berkelindan dengan kuatnya ambisi satu sama lain dalam memaknai hidup maupun cita-cita, menjadi pemandangan yang lazim dijumpai.

Terkadang, kerumitan itu membawa ke titik panas yang berkepanjangan. Mungkin juga justru membuat keduanya sadar bahwa kompromi merupakan solusi yang realistis untuk diambil.

Di nomor “Payung,” Kopibasi mengajak pendengarnya untuk nggrantes berjamaah. Sebaris lirik berbunyi “Katamu kita tak lagi butuh rindu” membuat perasaan seolah diterjang badai hingga luluh lantak tanpa sisa. Kenangan dua insan yang pernah merajut tali asmara tak ubahnya jejak yang harus segera dihapuskan.

Bagi saya, track favorit tetap layak disematkan pada “Cukup Pagi yang Telanjang” serta “Deru.” Di “Cukup Pagi yang Telanjang,” kombinasi yang dihasilkan dari tuts piano, violin, dan gitar akustik merupakan pelarian paripurna untuk mereka yang dihajar keragu-raguan. Sedangkan di “Deru,” bagian ketika Kopibasi menampilkan deklamasi di tengah lagu adalah hal terbaik yang mesti Anda perhatikan.

Mendengar keseluruhan materi yang terdapat dalam Anak Pertama tak ubahnya seperti tengah melakukan ritus perjalanan dan pencarian makna akan bagian dari hidup yang paling sederhana: keluarga. Ada kehangatan, luka masa lalu yang berupaya untuk diobati, hingga cinta yang abadi.

Yang menarik dari album baru Kopibasi ialah bahwa materi mereka tak terjebak klise, sebagaimana biasa dijumpai di band-band folk pada umumnya yang meramaikan kancah musik lokal dalam kurun waktu tiga atau empat tahun belakangan ini.

“Mungkin karena kami tidak memikirkan hal itu, ya. Enggak bisa dipungkiri bahwa kopi dan senja seperti menjadi dosanya folk. Sejak awal, kami berusaha untuk enggak terlalu berfokus ke sana. Kami ingin musik kami menjadi bentuk kebebasan tersendiri,” jawab Galih.

Terlepas dari kebosanan pendengar atas kopi, senja, dan hal sendu lainnya, Galih percaya bahwa folk akan selalu eksis. Pasalnya, folk “menyentuh satu ruang yang tidak bisa disentuh genre lain.” Ini pula yang lantas membikin ia yakin bahwa Kopibasi bakal tetap konsisten dengan karakter musik yang ada.

“Aku bayangin [album berikutnya] nanti bakal lebih filmis,” katanya, optimis.

Dan, rasa-rasanya, Anak Pertama menjadi semacam permulaan yang baik.

===============

Lingkar Skena merupakan laporan Tirto yang membahas mengenai band-band dari kancah independen yang berada di luar Jakarta. Laporan ini merupakan lanjutan dari laporan "Musik dan Kota" yang dirilis tahun lalu.

Baca juga artikel terkait MUSIK FOLK atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Musik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Eddward S Kennedy