Menuju konten utama
Miroso

Kopi Untuk Lelaki, Seblak Untuk Perempuan: Sebuah Stereotyping

Dulu, bakso identik dengan makanan perempuan karena warungnya dipakai untuk tempat ngobrol.

Kopi Untuk Lelaki, Seblak Untuk Perempuan: Sebuah Stereotyping
Header Miroso Stereotyping Dalam Kuliner. tirto.id/Tino

tirto.id - “Kok anak perempuan sukanya manjat-manjat kayak anak cowok?”

Suatu hari, saat saya masih duduk di kelas tiga SD, seorang ibu penjual beras nyeletuk karena saya sedang memanjat pagar pasar. Mendengar itu, saya merengut.

Sejak kecil, saya paling tidak suka dibeda-bedakan antara perempuan dan laki-laki. Hidup di antara buku-buku Lima Sekawan karangan Enyd Blyton membuat saya kecil percaya bahwa anak perempuan bisa melakukan semua yang dilakukan oleh anak laki-laki. Seperti tokoh George – atau Georgina – dalam buku tersebut.

Namun beranjak dewasa, kesadaran menyapa saya bahwa dalam sistem sosial kita, gender stereotyping memegang peran cukup kuat. Kakek pernah melarang saya membantu menggelar tikar, dan meminta saya untuk ke pawon, membantu para ibu yang sedang menyiapkan hidangan.

“Kalau anak perempuan, jangan angkat-angkat gitu. Di pawon saja, bantu yang masak,” kata Kakek.

Kenapa saya harus membantu di pawon, ketika kakak laki-laki saya bebas menggelar tikar di luar (sambil berkejar-kejaran dengan temannya)?

Tentu saja, gender stereotyping ini tak hanya berhenti di sana. Saat saya dewasa, saya menyadari bahwa ia pun masuk hingga ke ranah makanan. Ini berarti makanan tak hanya ditentukan dari gizinya, namun juga identitas gender yang melekat padanya. Dalam tulisan Paul Freedman, "Steak for the Gentleman, Salad for the Lady: How Foods Came to be Gendered", perkembangan stereotyping dalam makanan ini mulai muncul kuat pada tahun 1870-an, ketika para perempuan mulai bekerja di ranah publik.

Ia memberi contoh, misalkan, bagaimana perempuan di Barat identik dengan makanan seperti salad, buah dengan yoghurt, anggur putih, dan kudapan manis. Sedangkan lelaki, identik dengan protein berupa daging sampai telur poached.

Akan tetapi, apabila ditilik lebih jauh, perjalanan ini bisa jadi sudah bermula jauh sebelum itu. Jauh ke masa berburu dan meramu, para pemburu yang umumnya laki-laki mendapat jatah daging yang lebih banyak dibandingkan dengan perempuan dan anak-anak. Pada beberapa komunitas masyarakat ada, hal seperti ini masih mudah kita temui.

Seiring waktu, stereotyping ini memang terasa semakin halus, tapi tidak benar-benar hilang. Salah satu yang paling umum ya anggapan bahwa daging lebih laki-laki dan sayur untuk perempuan. Anggapan ini tidak keluar begitu saja, ada penelitian berdasar preferensi makanan yang melatar belakanginya.

Pilihan-pilihan makanan ini memang dipengaruhi oleh motivasi seseorang ketika menentukan makanan apa yang akan masuk ke tubuhnya. Pilihan bisa tergantung pada sesuatu sederhana seperti rasa, hingga yang lebih kompleks, seperti identitas diri. Kalau misal pilihan ini dianggap tak lazim di sebuah masyarakat, sudah pasti ada tatapan aneh, bahkan cemooh dan ledekan.

"Setiap beli jamu kunir asem, pasti saya mendapatkan tatapan 'laki-laki kok minum jamu kunir asam'," ujar kawan laki-laki saya yang memang suka minum jamu kunir asam karena rasanya yang segar.

Dia menganggap kunir asem sesederhana perkara rasa. Akan tetapi, dalam konstruksi pikiran para penjual dan banyak pelanggan jamu, biasanya jamu kunir asam diminum perempuan ketika datang bulan. Dalam hal ini preferensi rasa tercampur aduk dengan masalah kesehatan reproduksi.

Itu satu contoh.

Contoh lain bagaimana bakso identik dengan makanan perempuan, terutama di dekade 1970 hingga 1980. Beberapa tahun silam, seorang pemilik waralaba bakso populer, menyebut bahwa 70 persen pembeli bakso di Indonesia adalah perempuan.

Dulu saya berpikir bahwa bakso justru sangat maskulin karena penuh daging, dengan tetelan lemak dan kuah kaldu yang kental. Ternyata saya salah. Menurut pengamatan seorang kawan, bakso jadi makanan yang identik dengan perempuan karena: warung bakso itu tempat gosip yang asyik

Di masa itu, kafe-kafe belum ada dan restoran-restoran biasanya digunakan untuk acara yang lebih formal. Para pelanggan yang datang ke restoran kebanyakan untuk kumpul keluarga, acara kantor, atau kencan yang lebih serius.

Tempat-tempat itu tak senyaman warung bakso yang relatif kasual --dan harganya terjangkau-- untuk sekadar tertawa dan ngerasani masalah hidup. Maka tak heran kalau di buku-buku biodata yang populer di era itu, banyak gadis mengisi kolom hobi dengan: makan bakso.

Saat ini, posisi bakso yang identik dengan perempuan sudah perlahan digantikan oleh baso aci dan seblak. Bahkan perempuan dan seblak seringkali jadi satu meme yang sama. Ini memunculkan citra baru pada seblak dan baso aci. Bakso aci dan seblak yang “perempuan” ini digambarkan sangat meriah, dengan warna kuah yang merah karena pedas dan irisan jeruk nipis berwarna hijau terang sebagai penguat cita rasa.

Infografik Miroso Stereotyping Dalam Kuliner

Infografik Miroso Stereotyping Dalam Kuliner. tirto.id/Tino

Tentu saja, masih banyak alasan lain di balik pemilihan suatu makanan. Jeffery Sobal, dalam tulisannya "Men, Meat, and Marriage: Models of Masculinity" yang dimuat dalam jurnal Food and Foodways 13 (2005), menyebutkan bahwa proses preferensi juga merupakan cara seseorang untuk membangun identitas maskulin dan feminin ke dalam dirinya. Seperti ketika seorang perempuan menambah porsi sayurnya dan mengurangi karbohidrat untuk mendapatkan bentuk badan yang langsing, atau ketika seorang lelaki memilih mengonsumsi banyak protein agar mendapatkan massa otot yang lebih besar.

Kalau di sekitar saya, makananan laki-laki ini muncul dalam bentuk bakso urat tetelan komplit dan sate kambing. Sangat "maskulin". Tidak seperti seblak dan baso aci yang berwarna semarak, bakso urat tetelan komplit ini lebih biasanya lebih fokus pada ukuran yang besar. Begitu pula sate kambing yang menampilkan ukuran irisan daging yang besar, kalau bisa dagingnya tidak terlalu lembut. Bumbu kecap, potongan cabai, bawang merah dan kubis hanyalah pelengkap di latar belakang bagi sate kambing tadi, kalah dengan "khasiat" sate kambing bagi lelaki.

Pada satu kesempatan acara makan-makan bersama beberapa pasang teman, kasus sate ini cukup mencolok. Makanan yang terhidang di rumah memang didominasi oleh ikan, sayur sawi, sambal matah dan potongan ayam goreng – serta dessert cantik yang menawan. Tak kami sangka, ketika para istri dan anak-anak sedang meracik lauk pauk untuk dimakan, di teras para suami memesan beberapa porsi sate kambing khusus untuk mereka. Dan sate kambing tersebut habis tak bersisa sebelum masuk ke rumah.

Begitu halusnya gender stereotyping pada makanan ini, kadang kala tanpa sadar kita menerimanya begitu saja. Dalam satu kunjungan saya ke suatu desa di Jawa Timur bersama satu tim yang semuanya laki-laki, segelas teh bening muncul dalam suguhan. Hanya satu – dan itu khusus untuk saya. Spesial.

“Kan biasanya (perempuan) sukanya teh, Mbak,” ujar Ibu Pemilik Rumah.

Saya pun hanya dapat menatap iri pada semua teman laki-laki saya yang masing-masing mendapat secangkir kopi tubruk.

Aromanya begitu menggoda untuk saya yang baru bisa tidur ketika ayam mulai berkokok. []

Baca juga artikel terkait MIROSO atau tulisan lainnya dari Rizkie Nurindiani

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Rizkie Nurindiani
Editor: Nuran Wibisono