Menuju konten utama

Konversi Kompor Gas ke Kompor Listrik Siasat Tekan Subsidi LPG

Konversi kompor gas ke kompor listrik dapat mengurangi beban subsidi LPG, dan menyerap kelebihan produksi listrik nasional.

Konversi Kompor Gas ke Kompor Listrik Siasat Tekan Subsidi LPG
Pekerja melakukan pengisian ulang gas elpiji 3 kg di Stasiun Pengisian Bulk Elpiji (SPBE) Indrapuri, Aceh Besar, Aceh, Jumat (25/8). ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

tirto.id - Rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengkonversi kompor gas atau LPG ke kompor listrik/kompor induksi akan memberatkan masyarakat. Selain itu, hanya akan berlaku efektif bagi mereka yang berpenghasilan menengah-atas.

Upaya konversi ini jadi bagian kebijakan pemerintah memindahkan golongan pelanggan listrik non subsidi kategori 1.300 VA, 2.200 VA, 3.300 VA dan 4.400 VA menjadi menjadi 5.500 VA. Ujung-ujungnya untuk menekan subsidi energi.

Agus Suyatno, Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), menyebut ongkos pembelian kompor listrik sebagai salah satu kendala realisasi konversi dari kompor LPG. Sebabnya, tidak ada subsidi atau bentuk bantuan apapun dari pemerintah agar masyarakat bisa beli kompor tersebut.

"Ini kan ada [biaya] tambahan," kata Agus kepada Tirto, Kamis (16/11)

Kemudian, selain biaya pembelian kompor, juga patut dipertanyakan soal ongkos yang akan dikeluarkan masyarakat ketika memasak. Sangat berpeluang tagihan listrik jadi lebih tinggi. "Daya yang disedot itu akan banyak dan berimbas ke harga listrik," katanya.

Rencana ini juga akan terhambat karena perkara adaptasi. Menurut Agus, realisasi konversi dari kompor LPG ke listrik dapat berlangsung lebih lama ketimbang konversi dari kompor minyak ke LPG sejak 2006.

Komaidi Notonegoro, dari Reforminer Institute, mengatakan bahwa konversi ini akan berjalan dengan mulus sehingga tidak perlu dianggap sebagai ancaman. Konversi, menurutnya, bahkan bisa lebih cepat ketimbang saat perpindahan dari kompor minyak ke LPG.

"Orang sudah familiar dengan [perangkat yang] menggunakan listrik. Kalau sudah terbiasa dengan magic jar, terbiasa juga pakai kompor listrik," kata Komaidi.

Menurutnya langkah pemerintah ini perlu diapresiasi. Dengan menggunakan kompor listrik, katanya, pengeluaran rumah tangga untuk energi bisa lebih rendah.

Langkah konversi ini juga jadi solusi terhadap surplus listrik, yang akan semakin membengkak dengan adanya tambahan proyek pembangunan listrik 35 ribu MW. Diharapkan dengan konversi ini akan ada kenaikan konsumsi masyarakat dan berujung pada kenaikan pertumbuhan ekonomi.

Apalagi saat ini, pertumbuhan volume penjualan listrik memang sedang mengalami perlambatan konsumsi. Konsumsinya hanya mengalami kenaikan 1,17 persen jadi 108,4 Terra Watt hour (TWh) pada semester I-2017. Pada tahun lalu pada periode yang sama sempat tumbuh 7,8 persen.

"Dengan ditambahkannya daya pada pelanggan rumah tangga, maka akan mendorong penggunaan kompor listrik yang mengkonsumsi listrik di atas 300 watt," kata Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana.

Menteri ESDM, Ignasius Jonan, mengatakan bahwa keuntungan lain dari konversi adalah menekan nilai impor LPG, saat ini konsumsi LPG per tahun mencapai 6,5-6,7 juta metrik ton, sebanyak 4,5 juta metrik ton di antaranya harus diimpor.

Produk LPG khususnya ukuran 3 Kg masih disubsidi pemerintah. Tahun ini, alokasi subsidi LPG 3 Kg dialokasikan Rp20 triliun, diperkirakan akan membengkak karena tak tepat sasaran. Total subsidi energi di tahun ini berdasarkan APBN 2017 sebesar Rp77 triliun, artinya 25 persen subsidi energi lari ke LPG.

Upaya konversi dari kompor LPG ke kompor listrik memang akan menjadi salah satu cara menekan subsidi energi. Apalagi tahun depan pemerintah menerapkan sistem kartu untuk distribusi LPG 3 kg. Pertanyaannya apakah kebijakan baru ini akan jadi beban baru bagi masyarakat?

Baca juga artikel terkait LPG atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Rio Apinino