Menuju konten utama

Kontroversi Wacana Pansus Pertemuan "Rahasia" Jokowi-Bos Freeport

Komisi VII DPR dinilai lebih baik menyelesaikan RUU Migas daripada membuat Pansus Freeport.

Kontroversi Wacana Pansus Pertemuan
Arsip Foto Sejumlah Haul Truck dioperasikan di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Klaim Sudirman Said soal pertemuan “rahasia” antara Presiden Joko Widodo dan James R. Moffett, bos Freeport McMoran Inc, induk PT Freeport Indonesia menjadi bola panas jelang Pilpres 2019. Kehebohan ini membuat sebagian anggota Komisi VII DPR mewacanakan pembentukan panitia khusus (pansus).

Wacana itu berawal dari Gus Irawan Pasaribu, Ketua Komisi VII DPR yang juga politikus Gerindra. Sementara Komisi VII DPR yang membidangi energi, riset dan teknologi, dan lingkungan hidup adalah mitra kerja dari Kementerian ESDM, tempat Sudirman Said dulu menjabat sebagai menteri.

Anggota Komisi VII dari Fraksi Gerindra lainnya, Ramson Siagian pun memastikan Sudirman akan dipanggil bila pansus telah dibentuk. Ia menilai ucapan bekas menteri ESDM itu mengindikasikan masih banyak hal yang perlu dijelaskan pemerintah terkait keberadaan PT Freeport Indonesia (PTFI).

Menurut Ramson, informasi yang disampaikan Sudirman itu menjadi dasar bahwa pemerintah belum cukup transparan dalam proses divestasi saham PTFI sebesar 51 persen yang resmi dimiliki Indonesia, pada Desember 2018.

“Nanti keterangan Sudirman Said juga diperlukan. Supaya bisa terbuka dan transparan. Dia sudah membuka, jadi bisa [dipanggil] kalau pansus sudah terbentuk,” kata Ramson saat dihubungi reporter Tirto, Senin (25/2/2019).

“Dan siapa pun [bisa dipanggil] termasuk Freeport McMoren (FCX),” kata Ramson yang juga menjabat sebagai juru debat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga.

Ramson mengatakan cakupan masalah yang akan ditelusuri oleh Pansus Freeport ini masih terkait dengan wacana yang sempat bergulir tentang penyelidikan proses divestasi 51,2 persen.

Artinya, kata Ramson, pembentukan pansus ini tidak hanya untuk mengurusi permasalahan kecil-kecilan, akan tetapi mencangkup persoalan yang lebih besar dalam satu pokok masalah yang berkaitan dengan divestasi saham Freeport Indonesia.

“Ini masih berkaitan dengan pansus divestasi 51,2 persen saham PTFI. Informasi oleh pemerintah kadang-kadang kurang jelas. Jadi perlu sarana pansus,” kata Ramson.

Sebaliknya, Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Golkar Maman Abdurrahman justru menolak pembentukan pansus yang diwacanakan Irawan dan Ramson.

Maman menilai wacana pembentukan Pansus Freeport sebaiknya tidak dilakukan.

Alasannya, kata Maman, dengan selesainya proses divestasi saham 51 persen PTFI yang kini dipegang PT Inalum membuktikan bahwa pemerintah telah membukukan pencapaian yang cukup baik.

Lagi pula, kata Maman, urusan antara PT Inalum dan PTFI merupakan persoalan antar-korporasi sehingga tak sepantasnya dibawa ke ranah legislatif. Menurut Maman, masalah itu lebih baik diserahkan ke lembaga yang memiliki keterkaitan dengan persaingan usaha.

“Divestasi sudah selesai. Kalau masih ada yang belum puas, silakan laporkan kepada institusi yang punya keterkaitan dengan persaingan usaha. Jangan dibawa ke parlemen, nanti bias,” kata Maman saat dihubungi reporter Tirto.

Pembentukan Pansus Dinilai Sia-Sia

Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi menilai pembentukan Pansus Freeport soal pertemuan Jokowi-Moffet tak perlu dilakukan. Sebab, kata dia, klaim Sudirman Said itu sudah muncul pada 2015, hanya saja saat itu tidak berakhir heboh.

Menurut Fahmi, “nyanyian” Sudirman yang juga Direktur Materi dan Debat BPN Prabowo-Sandiaga menjadi persoalan karena telah didramatisir. Sehingga tidak mengherankan menarik perhatian khalayak.

“Pansus hanya buang-buang waktu saja. Tidak ada urgensi membentuk pansus,” kata Fahmi ketika dihubungi reporter Tirto.

Mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas ini menilai dramatisasi pertemuan Jokowi-Moffet sebagai hal yang “rahasia” telah mengaburkan substansi yang sebenarnya.

Sebab, kata Fahmi, sejauh yang dirinya ketahui, pertemuan tersebut ditujukan untuk meluruskan masalah kepastian izin ekspor konsentrat PTFI yang menyebabkan saham Freeport McMoren (FCX), induk PTFI tergelincir di bursa Wall Street New York sejak 2013. Dari 62 menjadi 8,3 dolar Amerika per saham.

Meski demikian, Fahmi membenarkan bila pertemuan itu menyebabkan daya tawar negosiasi divestasi saham PTFI menjadi berat bagi pemerintah. Namun, proses divestasi yang telah sukses dilakukan pemerintah Jokowi, kata dia, membuat tuduhan Sudirman menjadi tidak lagi relevan.

Menurut Fahmi, daripada Komisi VII DPR membentuk Pansus Freeport, lebih baik mereka merampungkan RUU Migas yang sudah lama terbengkalai. Ia menilai, RUU Migas lebih substansial untuk dikerjakan.

Apalagi, kata Fahmi, nasib RUU Migas itu sudah terbengkalai selama 8 tahun atau sejak DPR periode 2009-2014. “Akan lebih bermanfaat dan produktif kalau Komisi VII DPR merampungkan perubahan UU Migas,” kata Fahmi.

Baca juga artikel terkait KASUS FREEPORT atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz