Menuju konten utama

Kontroversi Sertifikasi Pernikahan: Ide Penting, Praktik Diragukan

Sertifikasi pernikahan yang diwacanakan menjadi syarat wajib bagi pasangan yang akan menikah masih menuai kontroversi. Pasalnya, ide pelatihan ini penting meski penerapan masih dipertanyakan.

Kontroversi Sertifikasi Pernikahan: Ide Penting, Praktik Diragukan
Ilustrasi menikah. FOTO/iStockphoto.

tirto.id - Wacana sertifikasi pernikahan sebagai salah satu syarat pernikahan yang sah akan diterapkan 2020. Usulan ini berawal dari Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy.

Untuk mendapatkan sertifikat tersebut, calon pasangan perlu untuk melangsungkan pelatihan pranikah terlebih dahulu.

“Harus masif, sifatnya harus berlaku wajib,” ujar Muhajir sebagaimana dikutip dari Antara di lingkungan Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, pada Kamis (14/11/2019).

Ia pun meminta agar program sertifikasi pranikah tersebut gratis. Muhajir menyampaikan tujuan dari program tersebut antara lain untuk membekali calon pasangan suami istri terkait ekonomi keluarga, kesehatan reproduksi, pengasuhan anak, hingga dapat menekan angka perceraian.

Menteri Agama Fachrul Razi pun menyambut ide tersebut, serta menyampaikan bahwa ke depannya pihak Kantor Urusan Agama (KUA) yang bertugas memberikan penyuluhan dan mengeluarkan sertifikat perkawinan.

“Petugas KUA yang akan menatar, termasuk menjadi penyuluh-penyuluh kita yang di lapangan,” ujarnya sebagaimana dikutip dari Antara.

Rencana tersebut pun menjadi sorotan publik, serta menuai perdebatan perlu atau tidaknya sertifikat tersebut menjadi syarat wajib untuk melangsungkan suatu pernikahan. Pegiat isu perempuan Tunggal Pawestri menilai sebetulnya ide untuk membuat pelatihan pranikah merupakan langkah yang penting.

“Aku setuju, karena penting sekali, terutama jika materi-materi yang diberikan bicara soal kesehatan reproduksi, KB [keluarga berencana], kemudian banyak hal-hal yang terkait dengan pembagian tugas yang adil antara laki-laki dan perempuan, pengelolaan keuangan,” jelas Tunggal kepada reporter Tirto, Senin (18/11/2019).

Namun, Tunggal tak menyepakati jika pelatihan pranikah tersebut menjadi salah satu syarat wajib untuk melangsungkan suatu pernikahan. Pasalnya, hal tersebut justru dapat mempersulit sejumlah orang yang sulit untuk mengakses pelatihannya.

“Jadi perlu dibuat kelonggaran-kelonggaran tertentu, seperti untuk orang-orang yang aksesnya jauh untuk menghadiri pelatihan itu, tapi pelatihannya sendiri penting,” ujarnya.

Materi Pelatihan Berperspektif Gender

Tunggal menilai pemerintah perlu menyiapkan penyuluhan ini secara matang, baik materi, hingga sumber daya manusia (SDM) yang akan memberikan pelatihan-pelatihan tersebut.

“Jangan ngomong dulu soal sertifikasi, kalau di internal pemerintah sendiri belum selesai, mulai dari pelatihnya, hingga materi yang akan diberikan ke calon pengantin,” ujar Tunggal.

Pemerintah juga perlu memerhatikan bentuk-bentuk pelatihan pranikah yang memang sudah ada di beberapa lembaga agama, seperti di agama Katholik maupun Islam. Menurut Tunggal, pemerintah bisa menyesuaikan materinya dengan sejumlah lembaga agama yang sudah ada.

“Misalnya, di Katolik sudah ada, tinggal di-inline-kan dengan materi yang sudah dibuat oleh pemerintah,” ujar Tunggal.

“Ini perkara rumit, jadi pemerintah harus lebih dulu mengevaluasi dan membenarkan apa yang ada di internal mereka, jangan sampai malah menambah sulit akses, apalagi bagi perempuan,” pungkasnya.

Pelatihan ini, kata Tunggal, diharapkan ada materi dengan perspektif gender dan mempertimbangkan kesetaraan di dalamnya. “Tapi saya gak setuju kalau misalnya training-nya malah digunakan untuk mengajekkan peran tradisional antara peran perempuan dan laki-laki,” ujarnya.

Pasalnya, dalam nasihat perkawinan yang sudah berjalan di KUA, terdapat pemberian materi yang sudah baik. Namun, ada juga yang masih merugikan posisi perempuan dalam suatu pernikahan.

“Nah, di beberapa tempat ada yang bagus, tapi ada juga yang punya pengalaman buruk dengan penasihatnya, seperti seksis, terus perempuan tidak boleh menolak hubungan seks,” ujar Tunggal.

“Jadi saya curiga bahwa pembagian peran tradisional, perempuan di domestik, laki-laki yang memimpin, masih diajekkan. Nah, ini sebetulnya seharusnya tidak ada lagi, apalagi kita sudah sepakat masalah keadilan gender, pemerintah juga sepakat,” tegasnya.

Kekhawatiran Tunggal pernah benar-benar dirasakan oleh Bardjan Triarti (25) saat melangsungkan bimbingan pranikah di KUA daerah Bogor Barat pada Juli 2018. Yang diharapkan Bardjan, bimbingan tersebut akan berbentuk diskusi yang diisi oleh psikolog pernikahan, serta ada dari pihak Puskesmas untuk menjelaskan terkait kesehatan reproduksi dalam perkawinan.

Namun, bimbingan berjalan di luar dugaannya. Pematerinya hanya satu orang, serta sifatnya searah, seperti ceramah.

“Para calon mempelai duduk, kemudian diberikan materi. Kemudian diberikan banyak materi pernikahan soal calon suami-istri tapi sangat seksual, jadi doa sebelum berhubungan badan, lalu kewajiban istri untuk melayani suami, kalau enggak bakal dilaknat malaikat atau apa,” kisah Bardjan kepada reporter Tirto.

Kemudian, ia juga diberikan bekal materi sebanyak tiga halaman. Isinya, mayoritas berisi seputar kewajiban istri di ranjang dan dapur, serta kewajiban suami untuk mencari nafkah.

“Dan ini pun diperparah dengan si pemateri yang kurang capable. Nah, semisal akan ada pelatihan pranikah, perlu yang capable,” tegas Bardjan.

“Aku sih berharap, karena aku juga nikah muda, perlu ada persiapan mental untuk mengontrol emosi, meminimalisir stres dalam pernikahan, manajemen stres dalam rumah tangga,” harapnya.

Rentan Persulit Masyarakat Adat

Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman menilai rencana untuk mengadakan pelatihan pranikah dapat dinilai dari dua perspektif. Pertama, sebagai hal yang positif.

“Kalau mau diambil nilainya, dari sisi masyarakat adat, yaitu kursus pranikahnya, sebenarnya itu bisa dijadikan juga sebagai alat untuk memperkuat nilai-nilai lokal masyarakat adat,” ujar Arman kepada reporter Tirto, Senin (18/11/2019).

“Contohnya di Kajang, Bulukumba, sejak dulu, kalau orang mau menikah, itu salah satu tradisinya mereka harus menanam pohon, minimal dua, untuk menghutankan wilayah adatnya,” lanjutnya.

Namun, Arman pun menegaskan bahwa bentuk pelatihan pranikah tersebut perlu dapat mengakomodasi nilai-nilai adat yang masih dipegang dalam masyarakat adat masing-masing. Dengan itu, pedoman yang dibuat perlu ada pembatasan antara indikator yang dibuat pemerintah dan dibuat oleh kepercayaan setempat, sehingga bisa bersifat inklusif.

“Tapi menurut saya, ada kekhawatiran juga, bagaimana mengakomodasi itu? Bagaimana kalau kemudian panduan itu dibuat generik dan berlaku untuk semua, kemudian tidak ada afirmasi untuk masyarakat adat. Bagaimana dengan masyarakat adat yang jauh aksesnya ke pelatih kursus bimbingan itu,” ungkap Arman.

“Kalau konteks masyarakat adat pun, mestinya, nasihat-nasihat pernikahan itu dibuat oleh ketua adat di kampung. Nah, itu menurut saya, perlu menjadi pertimbangan bagi pemerintah yang mengurus ini. Jadi bagaimana kursus pranikah itu dapat mengakomodasi kepentingan seluruh masyarakat, termasuk masyarakat adat,” lanjutnya.

Arman menegaskan bahwa jangan sampai hanya lembaga agama tertentu saja yang dapat menerbitkan sertifikat tersebut. Hal tersebut justru dapat mempersulit masyarakat adat untuk diakui pernikahannya.

“Justru tadi saya bilang, sertifikat pranikah itu harus bisa mengakomodir kepentingan masyarakat. Jadi tidak hanya satu pilihan atau jalur pilihan. Misalnya, mereka yang memiliki kepercayaan atau agama adat,” tegas Arman.

“Jadi tidak harus lewat institusi negara, seperti KUA, dan sebagainya, tapi juga bisa keluar dari institusi adat yang ada di kampung-kampung. Dan masyarakat adat perlu diberikan afirmasi karena mereka punya nilai dan adat tersendiri,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait SERTIFIKAT PERNIKAHAN atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Maya Saputri