Menuju konten utama

Kontroversi Menambang Harta Karun Bawah Laut, Ventilasi Hidrotermal

Di dalam laut bawah, ada makhluk hidup yang bisa punah jika ventilasi hidrotermal ditambang.

Kontroversi Menambang Harta Karun Bawah Laut, Ventilasi Hidrotermal
Ilustrasi Tambang bawah laut. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Jika Amerika, Uni Soviet, dan Cina berlomba-lomba mengeksplorasi luar angkasa, tidak dengan Jepang. Negeri sakura itu justru mengincar kekayaan bawah laut, terutama tambang sebagai ‘deposito’ negaranya. Saat ini, mereka menjadi pionir kemajuan pertambangan laut dalam.

September 2017 adalah mula gerbang perintis industri pertambangan terbuka bagi Jepang. Mereka berhasil menambang beragam mineral seperti tembaga, seng, timah, dan emas dari dasar laut dalam Okinawa. Harta karun milik Jepang itu terkubur lebih dari 5.000 kaki di bawah permukaan laut, terbentuk dari geiser bawah laut yang disebut ventilasi hidrotermal.

Ventilasi hidrotermal berbentuk serupa cerobong asap yang mengeluarkan residu panas berisi logam dan mineral. Ketika residu panas keluar dan bertabrakan dengan air laut yang dingin, logam-logam tersebut jatuh dan tertimbun di dasar laut. Andrew Thaler, seorang ahli ekologi laut menyebut ada lebih dari 500 ventilasi hidrotermal di seluruh dunia.

“Itu hanya sebagian kecil endapan logam mulia terakhir yang belum dimanfaatkan di bumi,” katanya, seperti dikutip The Verge.

Harta karun yang berhasil dikeruk Jepang itu menyimpan banyak elemen langka yang bermanfaat bagi industri teknologi, termasuk bahan daya pada ragam gawai, seperti ponsel pintar atau komputer. Hanya dari uji coba penambangan awal, Jepang sudah mampu mengantongi seng setara dengan konsumsi tahunan di negara tersebut, termasuk di dalamnya terdapat biji emas, tembaga, dan timah.

“Sejauh ini penambangan belum penuh beroperasi secara komersil, masih lebih banyak uji coba robot tambang,” jelas Conn Nugent, direktur proyek penambangan dasar laut. “Tapi ini adalah langkah maju penambangan dasar laut skala besar bagi dunia.”

Makhluk Asing Dalam Laut Bisa Punah

Pernahkah Anda membayangkan monster-monster bawah laut seperti yang ada dalam film Pacific Rim hidup?

Nyatanya, mereka benar-benar ada namun berpeluang punah karena intaian risiko penambangan laut dalam. Ventilasi hidrotermal pertama kali ditemukan pada 1970-an. Sistem cerobong asap bawah laut itu langsung menarik para ilmuwan untuk meneliti karena keunikan ekosistemnya. Setiap ventilasi hidrotermal ternyata ‘dijaga’ oleh makhluk yang memakan cairan hidrotermal beracun yang keluar dari dalam cerobong.

Di Samudera Pasifik bagian timur, ventilasi hidrotermal dihuni oleh cacing besar. Sementara itu, di bagian Pasifik barat daya, hidup dua jenis siput, yang satu terbungkus cangkang putih dengan bulu-bulu halus, dan yang lainnya terlindungi cangkang hitam tebal seperti pelindung tubuh. Lalu, Samudera Selatan di sekitar Antartika, ventilasi didominasi oleh kepiting yeti, kepiting yang diselubungi rambut berwarna putih di sekujur tubuhnya.

“Itu kondisi terdekat yang kita miliki untuk benar-benar berinteraksi dengan kehidupan alien,” kata Thaler, masih dari laman yang sama.

Si Penangkal Bencana

Penambangan laut dalam dilakukan dengan menggali bagian ventilasi hidrotermal dan menyedot endapan residu ke permukaan. Kegiatan itu dilakukan dengan mesin raksasa untuk mendapatkan ragam mineral dan logam mulia. Dunia bisa sedikit lega karena ternyata masih ada cadangan sumber daya tak terbarukan yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Ventilasi hidrotermal sangat tahan terhadap perubahan. Meski telah terkubur oleh letusan gunung berapi atau lava, tapi satu dekade kemudian, cerobong itu akan kembali aktif. Ekosistem sekitarnya mengakumulasi mineral selama ribuan tahun sehingga membikin mereka amat berharga untuk operasi penambangan.

Infografik tambang Laut Dalam

undefined

Di sisi lain, menambang ventilasi hidrotermal artinya memusnahkan seluruh ekosistem di sana, termasuk, makhluk-makhluk penghuni lereng ventilasi. Padahal, makhluk-makhluk tersebut bertugas menangkal hidrotermal beracun lepas ke laut dengan memakannya.

Selain itu, ventilasi hidrotermal juga menampung organisme kecil bawah laut yang mengandung senyawa obat Alzheimer, sehingga ada peluang ekosistem di sana menampung komunitas organisme lain sebagai sumber obat berbagai penyakit.

“Mereka bisa jadi spesies paling rentan dan tak bisa beradaptasi dengan perubahan,” demikian kekhawatiran para peneliti seperti Thaler menanggapi kemajuan pertambangan laut dalam.

Penambangan laut dalam akan menjadi era baru industri pertambangan dunia yang mungkin mempertaruhkan salah satu ekosistem paling unik di planet kita. Namun, lantaran ventilasi hidrotermal merupakan penemuan yang relatif anyar, tak ada jawaban pasti soal keamanan penambangan terhadap ekosistem di sana.

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia memang selalu dihadapkan pada dilema seperti ini. Yang umum dilakukan adalah menghitung risiko, apakah akibat dari sebuah eksplorasi kemungkinannya tertanggungkan atau tidak?

Baca juga artikel terkait VENTILASI HIDROTERMAL atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Humaniora
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani