Menuju konten utama

Kontroversi Kemenristek Dikti Awasi Medsos Dosen dan Mahasiswa

Kemenrinstekdikti menganggap memperjuangkan negara Islam untuk menerapkan syariat Islam sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan.

Kontroversi Kemenristek Dikti Awasi Medsos Dosen dan Mahasiswa
Massa gabungan Ormas Islam melakukan aksi solidaritas Lawan Terorisme di Lhokseumawe, Aceh, Selasa (15/5/2018). ANTARA FOTO/Rahmad

tirto.id - Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) berencana mengawasi aktivitas media sosial dan mendata nomor telepon genggam dosen serta mahasiswa untuk mencegah terorisme di lingkungan kampus. Rencana itu, jika jadi direalisasikan dinilai sejumlah pihak salah kaprah dan melampaui kewenangan Kemenristek Dikti.

Ketua Bidang Kampanye Strategis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arip Yogiawan mengatakan jika Kemenristek Dikti ingin ikut memberantas terorisme maka kewenangan mereka hanya sebatas mengembangkan pengetahuan anti-radikalisme. Menurutnya mengintai aktivitas media sosial civitas akademika berpotensi mengebiri kebebasan berpikir dan berpendapat.

"Karena yang dimonitor adalah medsos, maka di situ akan menyangkut berbagai data, sehingga [perlu] membuat rambu-rambu yang berkaitan dengan kebebasan berfikir dan hak privasi," kata Yogi kepada Tirto, Rabu (13/06/2018).

Yogi mempertanyakan mekanisme pemantauan media sosial oleh Kemenristek Dikti dan langkah yang akan mereka ambil jika benar ada indikasi penyebaran terorisme oleh dosen atau mahasiswa. Ia meminta Kemenristek Dikti menjelaskan siapa yang akan menggunakan data tersebut. Hal ini untuk menghindari penyalahgunaan data pribadi yang notabene dilindungi undang-undang. Alih-alih mencegah, kebijakan itu justru malah menjadi cara mencampuri hak berekspresi seseorang.

"Yang kami khawatirkan kebijakan berikutnya membatasi kebebasan dosen dan mahasiswa," kata Yogi.

Praktisi media sosial Nukman Luthfie menilai rencana dari Kemenristek Dikti akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga lain semisal Badan Siber dan Sandi Nasional (BSSN). Ia juga ragu cara ini efektif mencegah radikalisme mengingat besarnya dosen dan mahasiswa di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2015 saja jumlah mahasiswa di Indonesia mencapai 5.896.419 orang, sementara jumlah dosen sebanyak 171.771 orang, belum termasuk tenaga non-dosen.

"Lalu akun media sosial kan bisa diganti, handphone juga bisa diganti," katanya kepada Tirto.

Koordinator Presidium Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Siti Zuhro menilai rencana Kemenristek Dikti mengawasi aktivitas media sosial dan mendata nomor telepon genggam dosen serta mahasiswa sebagai kebijakan yang berlebihan. Selain mengintervensi hak privasi, langkah tersebut berpotensi mengganggu suasana akademik.

Peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan ini sepakat jika terorisme adalah musuh bersama yang harus dihadapi. Namun mestinya upaya itu dilakukan lewat cara-cara akademik, guna menjaga tradisi intelektual serta meningkatkan pembelajaran dan suasana dialogis.

Lulusan Hubungan Internasional Universitas Jember ini menilai langkah Kemenristek Dikti hanya akan menambah suasana saling curiga. "Untuk mengatasi paham radikalisme, yang dibangun seharusnya adalah kesadaran kolektif bangsa tentang pentingnya menjaga dan memelihara kebersamaan serta kedamaian dalam kemajemukan sosial," ujar Siti.

Dosen ilmu politik Universitas Negeri Jakarta Ubedillah Badrun melihat ada kesalahan dari Kemenristek Dikti dalam memahami masalah terorisme. Rencana ini alih-alih memberantas penyebab radikalisme malah menyasar pada personal civitas akademika.

"Semestinya Kemenristek Dikti mendorong mahasiswa dan dosen untuk berpikir secara logis, secara konstruktif. Kalau itu dilakukan, niscaya radikalisme itu juga akan ditolak," katanya kepada Tirto.

Infografik CI Syarat bermedsos Bagi PNS

Menurutnya, hal itu belum dilakukan secara optimal oleh Kemenristek Dikti. Ia pun khawatir akibat pemantauan oleh pemerintah, akademisi akan berkurang daya kritisnya. "Padahal daya kritis itu adalah sumbangsih terbesar perguruan tinggi untuk negara," katanya.

Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristek Dikti Intan Ahmad mengaku belum membahas mekanisme pemantauan media sosial dosen dan mahasiswa. Namun yang jelas, katanya, privasi harus tetap dijaga. "Tentang mekanisme, belum dibicarakan, yang penting privasi harus tetap dijaga. Nomor HP saya, dan Anda juga pasti terdaftar di operator masing-masing, juga medsos," kata Intan kepada Tirto.

Intan juga menjamin langkah persuasif akan dikedepankan saat menghadapi mahasiswa yang terindikasi radikal. Pihaknya pun akan berkoordinasi dengan pakar dan ahli untuk menentukan langkah yang tepat terhadap mereka.

Menurut Intan, fenomena radikalisme di kalangan mahasiswa memang sudah mengkhawatirkan. Ia mengutip data dari Alvara Research Center dan Mata Air Foundation yang menyebut 23,5 persen mahasiswa dan 16,3 persen pelajar setuju kalau negara Islam perlu diperjuangkan untuk penerapan ajaran Islam yang lebih kaffah.

Meski begitu menurutnya pengawasan yang dilakukan oleh sesama mahasiswa dan dosen terhadap civitas akademika yang lainnya. "Saya rasa yang penting adalah monitoring bisa dilakukan oleh sesama mahasiswa dan dosen. Seperti misalnya di Facebook saya ada ratusan mahasiswa saya, kita bisa tahu aktivitas masing masing," kata Intan.

Kemenristek Dikti berencana memantau aktivitas media sosial mahasiswa dan dosen. Hal ini dilakukan guna mencegah penyebaran paham radikal seperti menyusul diciduknya tiga orang terduga teroris di Universitas Riau.

“Kami melakukan pendataan, baik pada dosen maupun mahasiswa. Nomor telepon seluler dosen kami catat begitu juga dengan media sosial mahasiswa akan didata. Kami akan catat semua," ujar Menristek Dikti Muhammad Nasir di Jakarta, Senin (04/06/2018) lalu seperti dikutip Antara.

Pengawasan Kemenristek Dikti akan melibatkan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo). Jika ditemukan warga kampus yang disinyalir terpapar ideologi radikal, Kemenristek Dikti akan menelusuri lebih lanjut dan mengajak yang bersangkutan berdiskusi. Namun, hal itu tak menutup kemungkinan akan menyeret yang bersangkutan ke pihak berwajib.

Baca juga artikel terkait RADIKALISME atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Muhammad Akbar Wijaya