Menuju konten utama

Kontroversi "Dolar" dari Sawit, Alternatifnya Tak Dilirik

Beberapa produk pengganti sawit sudah ditemukan, misalnya ganggang laut, ragi, hingga ulat. Sayang, tantangannya banyak.

Kontroversi
Petani menurunkan Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit dari perahunya di Desa Kuala Tripa, Kecamatan Tripa Makmur, Nagan Raya, Aceh, Kamis (19/10/2017). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnnas

tirto.id - Unggahan video Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Facebook bertajuk "Gadget Murah Karena Sawit" pada Kamis (12/9) lalu menuai pro dan kontra. Seraya menjelaskan bagaimana kenaikan nilai tukar dolar terhadap rupiah berdampak pada naiknya harga gadget, PSI mengajak publik untuk mendukung ekspor sawit. Alasannya, ekspor sawit menyumbang devisa terbesar. Sehingga makin besar ekspor sawit, rupiah pun makin kuat. Imbasnya, barang impor macam gawai yang disukai kaum milenial jadi murah.

Pada Jumat (14/9), PSI melalui Rizal Calvary Marimbo selaku Jubir bidang Ekonomi, Industri dan Bisnis segera memberikan klarifikasi panjang sebanyak delapan poin di kolom komentar video.

Ada beberapa yang bisa ditangkap dari rilis penjelasan tersebut. Pertama, PSI berfokus pada upaya menstabilkan rupiah jangka pendek dengan cara menggenjot ekspor sawit. Kedua, PSI menggembar-gemborkan kekuatan ekonomi Indonesia yang masih bertumpu pada industri sawit sekaligus mendaku paham mengenai dampak buruk sawit dengan cara mendukung "sawit putih" dan menolak bisnis "sawit hitam".

Hujan kritik tak langsung mereda. Penjelasan PSI tetap dianggap mengabaikan dampak buruk industri sawit. Mulai dari gundulnya hutan hujan tropis, hancurnya habitat orangutan, konflik agraria, dan masalah sosial lainnya.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dalam rilis yang diterima Tirto pada Minggu (16/9), menilai PSI gagal memahami persoalan mendasar sawit di Indonesia, konteks globalnya, serta tujuan video yang dibuat dalam rangka kampanye menstabilkan rupiah.

"Bagi kami, tidak ada sawit “putih” atau berkelanjutan, karena karakter komoditas ini adalah monokultur dan sudah dipastikan menghancurkan hutan dengan keragaman biodiversity di dalamnya dengan segala fungsinya baik secara ekologis, sosial budaya dan ekonomi, mencemari lingkungan hidup," tulis WALHI.

Pihak WALHI menunjukkan besarnya pelepasan lahan hutan untuk perkebunan sawit dengan merujuk pada data pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan/Pertanian. Hingga 2016, ada 6.772.633 hektare hutan yang dilepas kepada 702 perusahaan—mayoritasnya bergerak di industri sawit.

Aksi pembabatan hutan dan penanaman sawit berimbas langsung pada hilangnya habitat orangutan di Kalimantan dan Sumatera. Dilansir dari situs KLHK, berdasarkan hasil penelitian Population and Habitat ViabilityAssessment (PHVA) 2016, diperkirakan tinggal 71.820 ekor orangutan di Sumatera dan Borneo (Kalimantan, Sabah dan Serawak) yang tersebar ke dalam 52 meta populasi. Dari semua itu, hanya 38 persen yang diprediksi akan lestari (viable) dalam 100 sampai 500 tahun ke depan.

Sialnya, kerugian atau ongkos lingkungan hidup yang ditimbulkan dari industri sawit ditanggung negara dan rakyat. WALHI mencatat, kerugian negara dari kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 mencapai Rp200 triliun.

Usulan PSI dalam video mengenai penghapusan pungutan sawit juga dianggap WALHI sebagai sebuah kekeliruan. "Sebagai partai politik baru, harusnya PSI ini muncul dengan gagasan baru yang membawa harapan bagi keselamatan masa depan bumi dan kemanusiaan yang lebih baik, demi generasi yang akan datang. Bukan justru menggadang-gadang model ekonomi yang usang dan rapuh seperti sawit," kata WALHI.

Pro-kontra terkait sawit memang pas dengan ungkapan peribahasa 'bagai memakan buah simalakama'. Sawit Indonesia kadung tersohor di seluruh dunia dan memberikan pemasukan buat negara. Industri sawit masih menyumbang devisa besar bagi Indonesia. Pada 2017, misalnya, sawit mampu menggondol nilai ekspor US$ 23 miliar atau setara Rp300 triliun.

Infografik alternatif pengganti minyak sawit

Alternatif dan Tantangannya

Bagi pendukung bisnis industri sawit, Indonesia dianggap punya keunggulan dari sisi letak geografis karena di khatulistiwa yang cocok bagi tanaman sawit untuk tumbuh dan kembang secara pesat. Namun, melihat banyak efek negatif industri sawit selain sisi positif untuk dunia tenaga kerja, juga tak ada salahnya melirik alternatif dari sawit.

Jangan dibayangkan kelapa sawit hanya menghasilkan minyak goreng. Ada banyak sekali produk turunan kelapa sawit yang berwujud barang kebutuhan sehari-hari. Mulai dari margarin, es krim, mie instan, sabun, deterjen, sampo, krim biskuit, kosmetik, pelumas, produk farmasi, bahan pengolahan tekstil, dan banyak lagi.

Adakah bahan baku lain yang bisa menjadi alternatif?

Jawabannya ada dan beragam. Minyak berbahan baku ulat jerman (Zophobas morio) dari spesies serangga kumbang gelap misalnya, yang dikembangkan para mahasiswa dari Universitas Brawijaya. Ulat yang dikembangkan dalam proyek startup Biteback ini diklaim lebih ramah lingkungan. Pasalnya, budidaya ulat Jerman bisa berlangsung cepat sehingga bisa mengungguli produksi sawit hampir 40 lipat kali di lahan yang berukuran sama. Ulat ini juga diklaim bergizi dan memiliki kandungan asam lemak, protein, dan mineral yang tinggi.

Dalam wawancaranya dengan Food Tech Connect, tim Biteback menyatakan siap mengembangkan produk-produk turunan dari olahan ulat serangga tersebut, termasuk minyak goreng. Lemak dan minyak—yang terkandung dalam sawit maupun ulat Jerman—adalah bahan utama pengawet dalam berbagai produk, mulai minuman, kosmetik, hingga pemanfaatan biodiesel.

Pada 2015, para peneliti di University of Bath di Inggris memperkenalkan minyak dari ragi jenis Metschnikowia pulcherrima yang umum ditemukan pada buah-buahan dan bunga. Dilansir dari Guardian, 20 gram ragi dapat menghasilkan satu liter minyak yang kualitasnya mampu bersaing dengan sawit.

Selain ragi, ganggang laut khususnya Chlorella sudah lama diketahui dapat diolah menjadi minyak layaknya sawit. Selain itu, ada pula minyak nabati alternatif lainnya yang bersumber dari kedelai, rapeseed, kelapa, jatropha dan jojoba. Namun, memang untuk kedelai, rapeseed, Indonesia belum punya keunggulan untuk budidayanya.

Lantas apa yang membuat berbagai temuan tersebut sejauh ini belum bisa menumbangkan dominasi sawit?

Dilansir dari World Agroforestry Centre, produksi massal alternatif pengganti minyak kelapa sawit bukanlah hal mudah. Kendati alternatif sudah banyak dimunculkan dalam penelitian awal, setiap solusi harus berhadapan dengan uji penelitian lanjutan yang membutuhkan dana besar.

Produk alternatif pun harus mampu memenuhi permintaan pasar, wajib siap lahan dan lokasi yang strategis, dan harga yang terjangkau. Produk alternatif juga harus dapat diterima oleh pembeli, mendapat dukungan pemerintahan, dan memenuhi standar kesehatan ketika menjadi produk turunan.

Pandangan yang disampaikan World Agroforestry Centre agaknya senafas dengan Wahyu A. Perdana, selaku Manajer Kampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial WALHI.

Wahyu menyoroti bahwa pengarusutamaan komoditas alternatif sawit hanya bisa dimungkinkan dengan penataan sektor hulu terlebih dahulu. Pasalnya, dominasi produk sawit sudah sangat mengakar. Tak hanya itu, perusahaan-perusahaan besar mengontrol nyaris segala lini, mulai dari perkebunan hingga produksi komoditas turunan sawit.

"Produksi bahan alternatif seperti itu takkan langsung diterima para produsen produk turunan. Kecuali negara turun tangan mengatur produksi pada tingkat hulu, dari sektor tata agraria, izin perkebunan, moratorium hutan. Jadi, kalau pun sekarang banyak pilihan alternatif, jika sektor hulu belum siap ya hanya akan sia-sia," paparnya kepada Tirto pada Senin (17/9) siang.

Wahyu menyebut produk alternatif selain sawit juga bukan hal baru. Sebelum sawit menjadi industri besar dunia, berbagai produk lainnya sebenarnya sudah dikenal khalayak. Salah satunya kopra yang juga bisa menghasilkan minyak layaknya sawit dan pernah berjaya di Indonesia pada awal hingga akhir 1990-an.

Baca juga artikel terkait KELAPA SAWIT atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Humaniora
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf