Menuju konten utama

Kontribusi Ekonomi Kreatif yang Tak Kunjung Tumbuh

Kontribusi industri ekonomi kreatif terhadap total PDB Indonesia belum menunjukkan pertumbuhan signifikan meskipun sejak tahun 2015 Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) sudah dibentuk.

Kontribusi Ekonomi Kreatif yang Tak Kunjung Tumbuh
Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Triawan Munaf, saat meluncurkan aplikasi BIIMA di The Hall Senayan City, Jakarta, Rabu (24/2/2016). FOTO/beritamoneter

tirto.id - “Saya akan membuat keputusan politik agar di masa yang akan datang ekonomi kreatif bisa menjadi pilar perekonomian kita,” kata Presiden Joko Widodo dalam sebuah dialog dengan pelaku industri kreatif tahun 2015. Salah satu keputusan yang dibuatnya adalah mendirikan lembaga khusus bernama Badan Ekonomi Kreatif dan menunjuk Triawan Munaf sebagai ketua.

Awal Mei 2015, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) bertemu dengan sejumlah insan perfilman dalam sebuah diskusi terkait dengan pembajakan film dan Hak Kekayaan Intelektual. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Ahmad M. Ramli dan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga hadir dalam pertemuan itu.

Kepala Bekraf Triawan Munaf menayangkan video tentang betapa kecilnya kontribusi industri film indonesia terhadap PDB. Industri film Korea mampu menyumbang $6,6 miliar ke dalam produk domestik bruto (PDB) negaranya. Angka itu jauh lebih besar dari industri makanan, minuman, tekstil, bahkan tembakau.

Sementara di Indonesia, dengan jumlah penduduk tiga kali lebih banyak dari Korea, industri film-nya hanya mampu menyumbang kurang dari 0,1% ke PDB pada 2014. “Film adalah produk industri budaya dan hiburan yang sangat padat modal. Pelanggaran terhadap HKI atas produk film seperti membiarkan tubuh mengalami pendarahan yang mematikan,” kata Triawan usai video diputar.

Saat pertemuan itu berlangsung, usia Bekraf baru lima bulan. Sebelumnya, ekonomi kreatif berada di bawah naungan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Tak ada badan atau lembaga khusus. Di bawah pimpinan Triawan, Bekraf bertugas membantu presiden merumuskan, menetapkan, dan melakukan sinkronisasi kebijakan ekonomi kreatif di 16 bidang termasuk film, musik, fashion, hingga kriya.

Maret 2017, lembaga itu meluncurkan statistik tentang ekonomi kreatif di Indonesia. Disebutkan bahwa kontribusi industri film sudah naik sedikit menjadi 0,16 persen. Secara keseluruhan, PDB ekonomi kreatif tumbuh 4,35 persen pada 2015, menjadi Rp852,24 triliun dari sebelumnya hanya Rp784,82 triliun.

Dari segi porsi kontribusi terhadap PDB juga terjadi kenaikan. Tahun 2014, ekonomi kreatif hanya berkontribusi 7,1 persen dari total PDB. Tahun 2015, naik tipis menjadi 7,34 persen. Penduduk yang bekerja di sektor ekonomi kreatif juga bertambah, dari yang sebelumnya 15,17 juta orang menjadi 15,96 juta.

Kalau dibandingkan dengan tahun 2013, pencapaian tahun 2015 ini tampak lebih besar lagi. PDB ekonomi kreatif empat tahun lalu itu hanya Rp641,82 triliun atau 7,05 persen dari PDB. Jumlah pekerja di sektor kreatif pun hanya 11,87 juta. Namun, pada tahun 2013 itu, bisnis restoran belum masuk sebagai subsektor ekonomi kreatif.

Sepanjang tahun 2002 sampai 2013, industri kuliner tak masuk dalam subsektor ekonomi kreatif. Barulah tahun 2014, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif saat itu, Mari Elka Pangestu mengembangkan subsektor dan menambahkan kuliner.

Oleh sebab itu, besaran PDB ekonomi kreatif tahun 2002 sampai 2013 belum memasukkan kontribusi dari industri kuliner. Sementara pada 2014 dan 2015 sudah memasukkan itu. Statistik Bekraf menunjukkan bahwa tahun 2015 itu, porsi industri kuliner terhadap total PDB ekonomi kreatif adalah yang terbesar. Ia mencapai 41, 69 persen, hampir setengahnya. Sementara fashion yang berada di posisi ke dua hanya 18,15 persen.

Apabila PDB subsektor kuliner dikeluarkan, maka total PDB ekonomi kreatif tahun 2015 hanya Rp355,29 triliun. Angka itu setara PDB ekonomi kreatif sebelas tahun lalu. Jadi, membandingkan PDB ekonomi kreatif tahun 2015 dengan tahun-tahun sebelumnya yang subsektornya lebih sedikit, lalu menyatakannya tumbuh dan membaik, tentu kurang tepat.

Secara angka dan nilai, memang benar tumbuh. Tetapi jangan lupakan fakta bahwa kali ini, ada subsektor kuliner yang memberi kontribusi hampir setengahnya dari nilai PDB ekonomi kreatif.

Selain persoalan penambahan subsektor, kontribusi ekonomi kreatif terhadap PDB Indonesia secara keseluruhan sebenarnya stagnan saja selama 15 tahun ini, antara 6-8 persen. Setelah ada Bekraf pun, kontribusnya masih lebih rendah dari apa yang pernah dicapai pada tahun 2002 hingga 2006.

Sejak tahun 2002 sampai tahun ini, statistik nilai PDB ekonomi kreatif memang tampak meningkat. Tahun 2002, statistik ekonomi kreatif hanya Rp160,3 triliun. Dua tahun lalu, angka besarannya mencapai hampir tujuh kali lipat.

Akan tetapi, jika melihat kontribusi ekonomi kreatif terhadap PDB, angkanya justru menurun. Tahun 2002, ekonomi kreatif berkontribusi hingga 8,8 persen terhadap total PDB. Angka itu turun perlahan sampai tahun 2008 ke titik 6,97 persen. Lalu, ia naik lagi sedikit demi sedikit. Hanya saja, tak pernah lagi menyentuh angka 8 persen, pergerakannya stagnan saja di 7 persen. Artinya, kontribusi ekonomi kreatif terhadap PDB Indonesia masih begitu-begitu saja. (Lihat infografik)

Infografik bekraf badan ekonomi kreatif

Meskipun stagnan, kontribusi ekonomi kreatif terhadap PDB masih lebih besar dari industri pariwisata. Tahun 2015, PDB sektor pariwisata hanya Rp461,36 triliun.

Sheila Timothy, Ketua Asosiasi Produser Film Indonesia mengakui laju industri film di Indonesia sedikit terhambat. Menurutnya, ketidakpastian hukumlah yang menghambat laju industri film di tanah air. Pernyataan itu telah disampaikan Sheila di hadapan Ketua Bekraf dan Dirjen KI.

“Ketidakpastian hukum atas hak cipta membuat tidak banyak yang berani berinvestasi di industri ini,” katanya.

Sheila menjelaskan, sebanyak 70% pendapatan industri film masih bergantung pada bioskop. Penyebaran bioskop yang tidak merata di seluruh penjuru negeri dan hanya berpusat di kota-kota besar membuat pegiat film kesulitan meraup keuntungan. Belum lagi pembajakan film secara fisik dan online yang kian marak. Ia berharap, keberadaan Bekraf bisa meminimalkan persoalan itu.

Kendatipun ada 16 subsektor yang harus dikembangkan, Triawan mengatakan saat ini pihaknya memberikan fokus khusus ke bidang aplikasi digital, film, dan musik. Tiga bidang itu perlu digenjot dengan kebijakan dan program kerja. Sementara bidang kuliner dan fashion, menurutnya sudah bisa berjalan dengan baik. Sudah banyak perancang Indonesia yang mendunia. Aplikasi digital perlu mendapat fokus khusus sebab ia adalah sesuatu yang baru dan terus tumbuh. Berbagai aturan dan kebijakan harus dirancang agar segala bisnis aplikasi digital memiliki pondasi hukum yang kuat. Sementara sektor film adalah sektor yang sedang lesu. Selain permasalahan pembajakan, persoalan ide dan kualitas film Indonesia juga masih kalah jauh bersaing dengan Hollywood atau Bollywood.

Survei dan statistik yang dirilis Bekraf itu juga melaporkan kendala yang dihadapi para pelaku industri kreatif, dan hal-hal yang belum dimaksimalkan. Sekitar 71,35 persen pelaku ekraf, tidak melakukan penelitian dan pengembangan. Mereka tak punya litbang untuk melakukan riset-riset demi pengembangan produk. Dari data itu juga terlihat bahwa hanya 62,3 persen pelaku yang sudah melakukan inovasi. Sisanya, lebih dari 30 persen, menyatakan belum.

Kalau Bekraf bisa membantu menyelesaikan persoalan-persoalan ini, ekonomi kreatif di Indonesia tentu masih bisa berkembang dan tumbuh pesat, sejalan dengan tumbuhnya tenaga kerja di bidang industri kreatif.

Baca juga artikel terkait BADAN EKONOMI KREATIF atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Wan Ulfa Nur Zuhra