Menuju konten utama

Konten Antivaksin Bisa Hambat Vaksinasi COVID-19 di Indonesia

Konten disinformasi di media sosial dapat menurunkan cakupan vaksinasi. Pemerintah harus belajar dari kegagalan vaksinasi MR pada 2018.

Ilustrasi antivaksin. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Program vaksinasi COVID-19 di Indonesia ditargetkan rampung dalam waktu 15 bulan, terhitung mulai Januari 2020. Untuk keluar dari lingkaran pandemi ini, butuh kekebalan kelompok yang didapat dari vaksinasi 70 persen penduduk. Masalahnya, keberadaan kelompok antivaksin adalah batu sandungan yang bisa saja menghambat—atau bahkan menggagalkan—upaya tersebut.

Di Indonesia, kalangan antivaksin sudah banyak menyebarkan teori irasional tentang COVID-19, mulai dari vaksin berisi chip yang digunakan untuk spionase, masalah komposisi berbahaya, hingga menyangkut halal-haram zat penyusunnya.

Salah satu tokoh antivaksin yang akhir-akhir ini tersorot adalah mantan anggota Komisi IX DPR RI Ribka Tjiptaning. Dalam rapat kerja bersama Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin pada 13 Januari 2021 lalu, Ribka lantang menyuarakan penolakannya terhadap vaksin COVID-19 dengan alasan keamanan kesehatan.

“Saya tetap tidak mau divaksin walaupun sampai yang 63 tahun bisa divaksin. Semua anak-cucu saya dapat sanksi Rp5 juta, mending gue bayar, mau jual mobil, kek,” ungkap Ribka. Dia juga membeberkan beragam kasus “gagal” vaksin di seluruh Indonesia—yang nyatanya terbukti hoaks.

Kelompok antivaksin selama ini bermanuver lewat informasi yang mereka sebarkan di media sosial. Bentuk konten antivaksin pun beragam, seperti berupa potongan video sampai pesan teks atau suara di grup WhatsApp keluarga dan Facebook.

Saya pernah mendapati konten antivaksin berisi anjuran minum kelapa muda sebagai penawar vaksin—kalau-kalau terpaksa harus divaksin. Sungguh lucu dan irasional karena setelah diminum air kelapa pastilah masuk ke sistem pencernaan, sementara vaksin masuk ke sirkulasi darah dan merangsang pembentukan imunitas pada sel darah putih.

Meski sulit diterima logika, informasi hoaks buatan kelompok antivaksin berhasil memengaruhi banyak orang untuk menolak vaksinasi. Survei Penerimaan Vaksin COVID-19 (PDF) di Indonesia yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membuktikan fenomena tersebut. Selain Ribka, ternyata masih banyak masyarakat ragu terhadap keamanan vaksin COVID-19.

“Sekitar 65 persen responden menyatakan bersedia menerima vaksin COVID-19 jika disediakan Pemerintah, sedangkan delapan persen di antaranya menolak, 27 persen sisanya menyatakan ragu dengan rencana Pemerintah untuk mendistribusikan vaksin COVID-19,” demikian disebut dalam ringkasan hasil survei tersebut.

Survei daring ini berlangsung dalam periode 19-30 September 2020 dengan sampel lebih dari 115 ribu responden dari 34 provinsi di Indonesia. Selain Kemenkes, Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), UNICEF dan WHO juga terlibat dalam survei tersebut.

Aceh dan Sumatera Barat menjadi provinsi dengan tingkat penerimaan vaksin terendah, yakni di bawah 50 persen. Wilayah dengan tingkat penerimaan tertinggi adalah Papua Barat (74 persen) dan Kepulauan Nusa Tenggara (70 persen).

Mereka yang menolak vaksin sebagian besar beralasan karena isu keamanan (30 persen) dan tidak yakin terhadap efektivitas vaksin (22 persen). Sementara itu, lainnya beralasan tidak percaya vaksin (13 persen), takut pada efek samping vaksin (12 persen), menolak karena dasar agama (8 persen), dan alasan lain (15 persen).

Gerilya Antivaksin di Media Sosial

Banyak orang kini terbiasa atau bahkan mengandalkan media sosial sebagai wahana mencari informasi. Padahal, kelompok antivaksin tumbuh subur dan tak henti menyebarkan informasi hoaks di beragam platform media sosial. Kampanye negatif macam itu amat sulit diredam karena mereka tidak hanya bergantung pada satu platform.

The Guardian merilis, Facebook dan Instagram telah menghapus lebih dari 12 juta konten dalam periode Maret-Oktober 2020. Namun, upaya tersebut masih tak sebanding dengan gerilya kelompok antivaksin di platform media sosial lain.

“Akun antivaksin terkenal yang sudah dilarang oleh Facebook tetap menyebarkan disinformasi ke ratusan ribu orang di Instagram—yang juga milik Facebook,” tulis The Guardian.

Laman Facebook Del Matthew Bigtree—seorang produser mashyur di Amerika sekaligus tokoh penggerak antivaksin, misalnya, sudah pernah dihapus pada November 2020. Akun dengan lebih dari 350 ribu pengikut itu dianggap melanggar ketentuan Facebook karena mengunggah hoaks terkait COVID-19. Sebelumnya, pada Juli 2020, YouTube sudah lebih dulu menghapus saluran Bigtree yang memiliki 15 juta penonton.

Tapi, CEO kelompok antivaksin Informed Consent Action Network itu masih aktif di Instagram dengan lebih dari 212 ribu pengikut. Di sana, Bigtree secara konsisten mengunggah video dengan jumlah penonton antara 30-150 ribu orang.

Survei Penerimaan Vaksin COVID-19 juga menggambarkan betapa masyarakat Indonesia amat mengadalkan media sosial untuk mencari informasi terkait vaksin. Media sosial menjadi platform paling banyak disukai responden (54 persen) dibanding media cetak atau elektronik (22 persen) dan saluran komunikasi seperti SMS atau telepon (13 persen).

“Di antara seluruh saluran informasi, media sosial adalah yang paling banyak dipilih oleh responden yang tergolong miskin dan kecenderungan menurun dengan meningkatnya status ekonomi,” demikian dinyatakan dalam Survei tersebut.

Menakar Pengaruh Kaum Antivaksin

Anda pernah melihat rekaman wawancara Deddy Corbuzier dengan mantan Menkes Siti Fadilah Supari? Atau pernah tahu pernyataan sekelompok orang yang menyebut dirinya World Doctors Alliance? Kedua video tersebut sama-sama mengatakan bahwa COVID-19 tidak berbahaya dan bisa sembuh sendiri.

Sempat viral dan menjadi senjata kelompok konspirasi, konten disinformasi semacam itu takbisa disepelekan efeknya. Steven Lloyd Wilson dan Charles Waysonge dalam “Social Media and Vaccine Hasitancy” yang terbit di jurnal BMJ Global Health (2020, PDF) menyebut, ada hubungan yang signifikan antara kegiatan bermedia sosial dengan keraguan publik terhadap keamanan vaksin. Bahkan, penurunan cakupan vaksinasi juga berkait erat dengan maraknya disinformasi di media sosial.

“Kelompok-kelompok yang meragukan vaksin punya jejak mengkhawatirkan di media sosial. Beberapa penelitian yang dilakukan sejak awal 2000-an hingga saat ini menunjukkan, sebagian besar konten tentang vaksin di situs media sosial populer justru merupakan pesan antivaksinasi,” tulis Wilson dan Waysonge.

Infografik Survei Penerimaan Vaksin Covid-19

Infografik Survei Penerimaan Vaksin Covid-19. tirto.id/Quita

Pada 2019, World Health Organization (WHO) telah menggolongkan sikap ragu-ragu, enggan, dan penolakan terhadap vaksin sebagai salah satu dari 10 ancaman kesehatan global. Dalam kasus campak, misalnya, keraguan terhadap vaksin—juga beberapa faktor lain—turut menyumbang peningkatan kasus secara global sebesar 30 persen. Padahal, vaksinasi adalah salah satu cara paling hemat biaya untuk menghindari penyakit.

“Saat ini, vaksinasi setidaknya dapat mencegah 2-3 juta kematian per tahun, dan 1,5 juta lagi dapat dihindari jika cakupan vaksinasi global meningkat,” demikian sebut WHO.

Untuk menakar seberapa besar kekuatan kaum antivaksin dalam memengaruhi cakupan vaksinasi nasional, mari lihat sejarah vaksinasi campak-rubella (MR) pada 2018 lalu. The Lancet mencatat isu agama sebagai biang kegagalan program vaksinasi MR pada 2018. Saat itu, majelis ulama di sejumlah daerah sempat menolak vaksin dengan alasan keharaman komposisinya.

Pembuatan vaksin MR memang melibatkan enzim trypsin dan gelatin dari babi. Meski enzim itu sebenarnya sudah tak tersisa setelah melalui serangkaian proses pemurnian, gerakan antivaksin MR sudah terlanjur menyebar, terutama pada kelompok agama tertentu. Mereka kemudian membikin info-info pseudosains berbalut amalan keagamaan, seperti mensubtitusi vaksin dengan madu.

Padahal, madu pun takmampu menangkal virus. Anak dari Oki Setiana Dewi—selebritas yang semula menolak vaksinasi dan rutin mengonsumsi kurma dan madu, misalnya, berturut-turut terserang campak. Tapi, kampanye penolakan terlanjur meluas.

Cakupan keberhasilan program vaksinasi MR 2018 hanya mencapai 68 persen dari target 95 persen. Hampir 10 juta anak tidak diimunisasi dan program vaksinasi harus diulang di seluruh provinsi Indonesia, kecuali Bali dan Yogyakarta. Padahal, agar tercapai kekebalan kelompok dan suatu penyakit tidak menjadi wabah, vaksinasi setidaknya harus mencakup 70 persen populasi.

Jika responden pada Survei Penerimaan Vaksin COVID-19 diasumsikan sebagai representasi masyarakat Indonesia, hanya 65 persen yang mau menerima vaksin. Jadi, Pemerintah perlu bersiap terhadap ancaman kegagalan vaksinasi COVID-19. Pekerjaan rumah yang perlu dibereskan sekarang adalah memikirkan strategi komunikasi yang tepat untuk mereduksi pengaruh gerakan antivaksin.

Baca juga artikel terkait ANTIVAKSIN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi