Menuju konten utama

Konsekuensi Serius Pembubaran JAD untuk Para Anggotanya

Polisi dimintai memberikan kesempatan kepada para anggota JAD melaporkan diri setelah keluarnya keputusan pengadilan yang membubarkan organisasi tersebut.

Konsekuensi Serius Pembubaran JAD untuk Para Anggotanya
Ketua Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Pusat, Zainal Anshori (kiri) mengucapkan takbir seusai sidang pembacaan putusan pembubaran organisasi JAD di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (31/7/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

tirto.id - Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) sebagai organisasi teroris dan secara resmi dinyatakan terlarang atau dibubarkan. Putusan ini dibacakan Hakim Ketua Aris Bawono dalam sidang putusan pada 31 Juli 2018.

Aris menyatakan, JAD telah terbukti berafiliasi dengan ISIS dan melanggar Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 yang telah direvisi menjadi Undang-Undang nomor 5 tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme. Bunyinya: "Dalam hal tindak pidana terorisme dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya." Hukuman pelarangan organisasi terorisme secara lebih detil disebutkan dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang No 5 tahun 2018.

Guru Besar Hukum Universitas Islam Indonesia Mudzakir menilai putusan tersebut tidak saja berimplikasi hukum bagi JAD secara organisasi tapi juga para anggotanya. Menurutnya, anggota JAD dapat ditangkap polisi karena turut menjadi bagian dari organisasi dan terlibat jaringan terorisme. Mudzakir menerangkan prinsip UU Tindak Pidana Terorisme berbeda dengan UU Ormas. Dalam UU Ormas, menurutnya, anggota ormas terlarang tidak serta merta dicap melanggar tindak pidana dan hanya organisasinya saja yang dilarang beraktivitas lagi.

"Karena kalau undang-undang terorisme itu memang organisasi itu dinyatakan sebagai organisasi teroris. Maka yang dilarang adalah organisasi itu dan orang-orang di organisasi itu," kata Muzakir kepada Tirto, Rabu (1/8/2018).

Konsekuensi dari aturan itu menurut Mudzakir berpeluang membuat polisi bertindak semena-mena dalam menangkap anggota JAD tanpa alat bukti yang cukup dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

"Padahal bisa saja tidak semua anggota JAD terbukti melakukan tindak pidana terorisme," ujar Mudzakir.

Mudzakir mengatakan kepolisian mesti memberi kesempatan kepada para anggota JAD untuk melaporkan diri setelah keluarnya keputusan pengadilan ini. "Itu bagian dari azas praduga tak bersalah," kata Muzakir.

Ke depannya, kata Muzakir, juga harus dibuat aturan turunan terkait Pasal 17 ayat (1) UU Tindak Pidana Terorisme yang mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) agar tidak kemudian menjadi abuse of power. "Kepolisian sebagai penegak hukum harus taat KUHAP, bukan hanya mengacu pada undang-undang," kata Muzakir.

Hal sama disampaikan Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri. Menurutnya putusan tersebut sangat mungkin menciptakan pelanggaran HAM terhadap para anggota JAD. "Polisi bisa menangkap mereka dan bisa saja asal dor," kata Gufron kepada Tirto.

Menurutnya, pemberantasan tindak pidana terorisme memang menjadi sebuah kewajiban bersama, tapi caranya harus tetap sesuai dengan KUHAP yang berlaku. Terutama berdasarkan alat bukti yang cukup saat menangkap. "Kalau perlu dalam RKUHP nanti disusun aturan yang lebih jelas soal ini. Karena semua peraturan pidana mesti mengacu kepada itu," kata Gufron. infografik melacak revolusi teroris

Komisi III Yakin Polisi Tak Akan Semena-mena

Berbeda dengan Muzakir dan Gufron, Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDIP Masinton Pasaribu menilai keputusan pembubaran JAD sudah tepat. Ia percaya polisi akan bersikap profesional dan tidak akan bersikap semena-mena, apalagi melanggar HAM.

"Kami buat pasal tersebut sudah sesuai dengan KUHAP dan KUHP. Nalarnya juga pencegahan. Selama ini polisi susah menangkap terduga terorisme, padahal jelas organisasinya terafiliasi," kata Masinton kepada Tirto.

Lagipula, kata Masinton, kepolisian sudah memiliki daftar para anggota JAD yang melakukan tindak pidana terorisme dan tidak. Sehingga, tidak mungkin asal menangkap anggota JAD tanpa bukti yang cukup.

"Kalau yang terbukti, ya, pasti ditangkap. KalaU yang tidak terbukti, ya, tetap harus diawasi. Begitu amanatnya," kata Masinton.

Masinton menganggap tidak perlu ada aturan turunan dalam Pasal 17 ayat (1) UU Tindak Pidana Terorisme di KUHP. Ia percaya kepolisian sudah pasti menaati prosedur di KUHAP dan KUHP. "Jadi, biarkan polisi bekerja sesuai dengan kewenangannya," kata Masinton.

JAD merupakan organisasi yang didirikan otak pelaku bom Thamrin Amman Abdurrahman yang kini telah divonis mati. Organisasi ini turut bertanggungjawab atas bom Surabaya, Kampung Melayu, hingga gereja Oikumene di Samarinda.

Segala tindakan tersebut dilakukan lantaran para pimpinan JAD telah berbaiat kepada Pimpinan ISIS Abu Bakar Al Baghdadi untuk mendirikan negara Islam di Indonesia. Bukti ini didapatkan dari hasil persidangan di PN Jakarta Selatan yang dihadiri oleh Pimpinan JAD, Zainal Anshori yang kini menjadi tahanan di LP Gunung Sindur atas kasus terorisme.

Baca juga artikel terkait KASUS TERORISME atau tulisan lainnya

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi & M. Ahsan Ridhoi
Editor: Muhammad Akbar Wijaya