Menuju konten utama

Konsekuensi Pahit WNI di Legiun Asing

Kewarganegaraan seorang WNI bisa hilang jika masuk dalam dinas tentara asing. Padahal, belasan WNI pernah dan masih menjadi Legionnaire. Bagaimana seharusnya pemerintah bersikap? Para WNI yang menjadi anggota tentara asing tersebut harus dipanggil pihak kedutaan besar untuk diajak dialog dan diberi pengertian. Kalau tetap memilih asing, maka menurut aturan hukum mereka akan kehilangan warga negara.

Konsekuensi Pahit WNI di Legiun Asing
Ilustrasi album berisikan foto-foto anggota legiun asing perancis. foto montase/shutterstock/tf subarkah

tirto.id - Gaji yang tinggi, pengalaman yang luas, dan masa depan yang cerah membuat Warga Negara Indonesia (WNI) tergiur menjadi Legionnaire. Mereka rela menjadi pasukan pembela negara lain, meski konsekuensinya sangat berat yakni kehilangan kewarganegaraan. Itulah mengapa mereka tidak pernah terbuka tentang keterlibatannya sebagai Legionnaire.

Masalah kewarganegaraan agaknya memang menjadi masalah yang sensitif bagi seorang WNI yang menjadi anggota tentara negara lain. Ketika Tirto.id mencoba mewawancara para WNI yang menjadi Legionnaire ini, mereka umumnya tidak mau terbuka. Termasuk para anggota keluarga para Legionnaire ini.

“Untuk apa? Kalau publikasi, saya kurang tertarik karena kosekuensinya sudah jelas. Saya harus izin dulu sama suami karena masalah ini sensitif,” kata AL, istri DL, seorang mantan Legionnaire ketika dihubungi Tirto.id.

Peraturan di negeri ini secara tegas menyebutkan, seorang WNI yang menjadi anggota tentara asing harus mendapat persetujuan presiden jika tak ingin kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia.

Undang-undang yang mengaturnya sangat jelas. Sebut saja UU Nomor 62 Tahun 1958 tentang “Kewarganegaraan RI”. Pada pasal 17 menyebut, kewarganegaraan RI bisa hilang karena 12 alasan. Salah satunya, pada huruf (f) disebutkan: “masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Menteri Kehakiman.”

UU Nomor 62 tahun 1958 kemudian diperbarui dengan UU Nomor 12 tahun 2006 tentang Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pada Pasal 23 disebutkan bahwa "Warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan:...." Pada huruf (d), masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden.

UU Nomor 12 tahun 2006 diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pada pasal 31 butir (1), disebutkan bahwa Warga Negara Indonesia dengan sendirinya kehilangan kewarganegaraannya karena (c) masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden.

Lalu bagaimana dengan para WNI yang sudah terlanjur menjadi Legionnaire?

Meutya Hafid, Wakil Ketua Komisi I, menyatakan, jika memang ada WNI yang menjadi anggota tentara asing, Kementerian Luar Negeri harus mendata dan mengecek keabsahan informasi tersebut.

Jika memang terbukti ada, para WNI yang menjadi anggota tentara asing tersebut harus dipanggil pihak kedutaan besar untuk diajak dialog dan diberi pengertian. Meutya keberatan jika mereka langsung diberi sanksi sebelum pemerintah mengetahui alasan menjadi tentara asing.

“Kalau pada akhirnya mereka tetap memilih asing, maka sesuai aturan hukum ya harus kehilangan warga negara,” katanya.

Agaknya membuka pintu dialog dengan WNI yang menjadi tentara asing memang bisa menjadi jalan terbaik. Pemerintah perlu memahami alasan utama mereka sebelum kemudian menentukan sikap. Sebab, para WNI yang menjadi Legionnaire itu belum tentu ingin berkhianat. Bisa jadi motifnya semata-mata mencari penghidupan yang lebih baik dengan menjadi Legionnaire. Soal cinta tanah air, itu sudah tidak terbantahkan lagi. Seperti yang disampaikan AC, seorang Legionnaire yang akan segera habis masa tugasnya.

“Walaupun saya tinggal di negeri orang, dalam diri saya, saya tetap orang Indonesia, ” tegas AC

Baca juga artikel terkait LEGIUN atau tulisan lainnya dari Kukuh Bhimo Nugroho

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti