Menuju konten utama
Pandemi COVID-19

Kongkalikong Terawan & DPR Dalam Legalisasi Vaksin Nusantara

Epidemiolog menyayangkan sikap DPR yang abai pada pernyataan BPOM dan malah mendukung Terawan soal Vaksin Nusantara.

Kongkalikong Terawan & DPR Dalam Legalisasi Vaksin Nusantara
Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (10/3/2021). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/rwa.

tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mendukung Vaksin Nusantara menjalani uji klinis fase III. Padahal berdasarkan Memorandum Of Understanding (MoU) yang telah ditandatangai pada 19 April 2021 oleh Kementerian Kesehatan, BPOM, dan TNI AD menyebut Vaksin Nusantara tidak bisa diperuntukkan untuk kepentingan komersil.

Isi MoU tersebut menegaskan tidak ada lagi pengembangan vaksin massal yang disebut "Vaksin Nusantara" dan hanya untuk riset serta pelayanan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pun merasa tidak berhak memberikan izin.

Namun, mantan Menkes Terawan Agus Putranto, penggagas Vaksin Nusantara tetap bersikukuh agar vaksin yang ia kembangkan diizinkan melalui uji klinis fase III. Ia pun meminta bantuan DPR RI untuk membantunya agar proyek Vaksin Nusantara tetap dilanjutkan.

Gayung bersambut, sejumlah anggota DPR pun mendukung Terawan. “Karena ini bagian dari riset dan riset tidak boleh dilarang,” ujar Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno dalam keterangan tertulis, Kamis (17/6/2021).

Eddy memakai dalil “karya anak bangsa” untuk mendukung Vaksin Nusantara. Menurutnya vaksin ini menjadi penting untuk memaksimalkan kemandirian dan kedaulatan vaksinasi di dalam negeri.

“Kita wajib untuk mendukung agar vaksin-vaksin yang diproduksi oleh anak bangsa bisa diproduksi secepatnya dan bisa dipasarkan dan divaksinasi untuk seluruh masyarakat,” kata politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini.

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menilai semua inisiatif yang datang dari anak bangsa mesti mendapat dukungan. Ia berharap pihak-pihak yang selama ini menolak Vaksin Nusantara tidak memikirkan kepentingan masing-masing.

“Marilah kita lepas ego sektoral ini. Kita yakinkan demi keselamatan rakyat banyak,” ujar politikus Partai Gerindra kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis lalu.

Kronologi dan Kontroversi Vaksin Nusantara

Vaksin Nusantara diprakasai oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada Oktober 2020 atau sebelum ia digantikan oleh Budi Gunadi Sadikin. Mari kita runut secara singkat perjalanan Vaksin Nusantara ini.

Pada 22 Oktober 2020, Badan Litbang Kesehatan Kemenkes bekerja sama dengan PT Rama Emerald Multi Sukses untuk uji klinik sel dendritik SARS Cov-2. Arah kerja sama ini untuk menciptakan vaksin mandiri bagi Indonesia.

Sebulan kemudian, peneliti dari Balitbangkes Kemenkes, RSPAD Gatot Subroto, RSUP Dr. Kariadi, dan Universitas Diponegoro mengajukan uji klinik fase I-III ke BPOM. Namun ditolak karena tak sesuai standar tahapan pengembangan obat dan vaksin.

Pada 30 November 2020, peneliti melakukan uji klinik fase I. Namun mereka tidak bisa memenuhi laporan studi toksisitas, imunogenisitas, penggunaan adjuvant dan studi lain yang diminta BPOM. Dalil peneliti, sel dendritik aman bagi manusia. Hal tersebut dinilai tidak sesuai karena sel dendritik yang selama ini digunakan adalah untuk terapi kanker, bukan untuk vaksin atau pencegahan penyakit.

Pada 1 Desember 2020, BPOM menerbitkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) Uji Klinik Fase I untuk Vaksin Nusantara tanpa hasil preklinik. Namun dengan berbagai persyaratan: fasilitas pengolahan harus memiliki penjaminan mutu untuk menghindai risiko, calon subyek mesti diberi tahu bahwa ini uji klinik pertama pada manusia.

Pada 9 April 2021, Vaksin Nusantara melakukan uji klinis fase II. Kali ini dipimpin oleh Peneliti Utama Uji Klinis Tahap II Vaksin Nusantara, Kolonel Jonny. Mereka mengklaim sudah mendapatkan etchical clearance atau layanan etik dari Balitbangkes Kemenkes.

Tiga hari kemudian, mereka memulai uji klinis fase II dan pengambilan darah relawan. Persoalannya, uji klinis fase II tersebut dilakukan tanpa izin BPOM. Kepala BPOM Penny Lukito berang, hasil uji fase I saja masih butuh banyak perbaikan.

Pada 19 April 2021, Menkes Budi Gunadi Sadikin berserta Kepala Staf AD Jenderal TNI Andika Perkasa, dan Kepala BPOM Penny Lukito membuat nota kesepahamanan menyetujui penelitian sel denritik, tapi bukan sebagai kelanjutan uji klinis fase II. Penelitian hanya dipergunakan untuk diri pasien sendiri sehingga tidak dapat dikomersialkan dan tidak diperlukan persetujuan izin edar.

Dalam Rapat Dengar Pendapat di DPR RI pada 16 Juni 2021, Terawan meminta dukungan Komisi VII untuk mendapat legalitas uji klinis. Ia bahkan sampai meracik Vaksin Nusantara di depan anggota Komisi VII.

Epidimiolog Sayangkan Sikap DPR

Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health, Griffith University Australia, dr Dicky Budiman menyayangkan sikap DPR RI yang abai pada pernyataan BPOM dan malah mendukung Terawan.

Dicky mengamini ucapan Dasco, ego sektoral mesti dikesampingkan demi kebutuhan masyarakat. Tetapi sayangnya Terawan tidak memenuhi kriteria penelitian. Sementara dalam kesehatan sangat bergantung sekali kepada hasil riset.

Ia menekankan setiap produk kesehatan yang baik mesti dibuktikan melalui jurnal dengan melakukan penelitian dan uji klinis terlebih dahulu. Hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan bukan hanya sekedar main klaim.

“Mau seluruh partai politik di dunia mendukung, kalau tidak terbukti secara ilmiah, ya sama saja, tidak ada manfaatnya bagi kesehatan masyarakat,” ujar Dicky kepada reporter Tirto, Jumat (18/6/2021).

Peneliti di Universitas Heidelberg, Jerman, Yohanes Cakrapradipta Wibowo menyarankan agar Terawan dan tim melengkapi celah uji klinis yang masih menjadi pekerjaan rumah mereka. Ketimbang repot-repot mencari dukungan pihak-pihak “yang relatif buta soal riset vaksin dan kedokteran seperti para anggota dewan tersebut.”

“Ini malah semakin menunjukkan Terawan dan timnya, selain amatiran, juga suka berkelakar dan berkomedi melalui klaim-klaim bombastisnya yang cuma omong kosong tanpa bukti ilmiah seperti meracik di depan komisi VII,” ujar Yohanes kepada reporter Tirto, Jumat (18/6/2021).

Sementara itu, Epidemiolog dari Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Mouhamad Bigwanto menilai penggunaan sel dendritik untuk meningkatkan sistem imun tidak bisa dimanfaatkan sebagai vaksin. Sebab peruntukan sel tersebut lebih spesifik terhadap perorangan dan tidak bisa diproduksi untuk massal sebagaimana vaksin pada umumnya.

“Jadi sangat sulit memastikan keamanannya, dan keamanan dari obat atau vaksin ini adalah aspek terpenting sblm diberikan ke masyarakat. Masa itu mau di korbankan,” ujar Bigwanto kepada reporter Tirto.

Ia menyesali dukungan DPR terhadap Terawan dengan mengabaikan BPOM. Ia khawatir kemaslahatan ini menjadi alat politik. “Ini sama sekali bukan wewenang DPR,” kata dia.

Respons BPOM

Kepala BPOM Penny Lukito menegaskan Vaksin Nusantara telah disepakati bukan sebagai produk yang diproduksi massal, sehingga pengawasannya tak lagi ada di BPOM. Hal itu sesuai dengan nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) yang telah ditandatangai 19 April 2021 oleh Kemenkes, BPOM dan TNI AD.

Isi MoU itu ialah tidak ada lagi pengembangan vaksin massal yang disebut "Vaksin Nusantara" dan hanya untuk riset serta pelayanan. "Sudah bukan melalui jalur BPOM. Bukan produk yang akan digunakan massal, diproduksi massal, tapi itu pelayanan individual, berbasis pelayanan kesehatan. Jadi bukan melalui BPOM. Pengawasannya oleh Kemenkes," kata Penny.

Oleh karena itu, menurut dia, sudah jelas bahwa tidak ada lagi uji klinis apa pun yang membutuhkan pengawasan BPOM untuk vaksin yang digagas oleh mantas Menkes Terawan tersebut. "Sudah tidak ada kaitannya dengan BPOM untuk persetujuan uji klinis apa pun," ujar Penny.

Baca juga artikel terkait VAKSIN NUSANTARA atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz