Menuju konten utama

Konflik Internal PKS: Membuka lagi Faksi Keadilan & Faksi Sejahtera

PKS terkenal partai solid dan terlihat tenang. Namun, di dalamnya, ada faksi dan konflik antar-kubu yang tak kunjung usai.

Konflik Internal PKS: Membuka lagi Faksi Keadilan & Faksi Sejahtera
Mantan Presiden PKS sekaligus Calon Presiden 2019 Anis Matta menyampaikan orasi politik pada acara wawasan politik Islam di Pondok Pesantren Miftahul Huda 2, Bayasari, Ciamis, Jawa Barat, Selasa (10/4/2018). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi

tirto.id - Imam Anshori ketiban sial. Senin malam lalu ia baru saja dipecat dari jabatannya sebagai ketua DPD PKS Situbondo. Pemecatannya cukup janggal. Berdasarkan informasi yang ia terima, Imam dikategorikan oleh DPW PKS Jawa Timur sebagai pendukung Anis Matta yang harus disingkirkan.

Padahal, Imam tidak mengenal Anis Matta secara langsung. Jangankan berkenalan, Imam bahkan mengaku belum pernah bertemu langsung dengan mantan Presiden PKS itu. Namun, nasi sudah jadi bubur, ia sudah telanjur dipecat karena tuduhan itu.

“Kami itu hanya jadi korban saja, dituduh. Padahal dulu itu ya kami hanya bagian dari euforia kemenangan pada tahun 2014,” katanya.

Peristiwa yang menimpa Imam mengindikasikan ada konflik antar-faksi dalam internal PKS. Keberadaan faksi sebenarnya hal lazim di dalam tubuh organisasi, apalagi partai yang jadi medan pelbagai kepentingan. Dalam PKS, gesekan antar-faksi ini bisa menentukan arah politik partai dan mungkin suara elektoral pada Pemilu 2019.

Secara umum PKS memiliki dua faksi: "faksi keadilan" dan "faksi sejahtera." Faksi Keadilan adalah orang-orang tua di dalam PKS dan kelompok konservatif, sedangkan faksi sejahtera adalah kelompok muda alias pembaharu. Bagi faksi keadilan, faksi sejahtera adalah kelompok liberal dalam partai.

Gerbong yang disebut sebagai "faksi sejahtera" adalah Anis Matta (mantan Presiden PKS, 2013-2015), Fahri Hamzah, Mahfudz Siddiq dan kawan-kawannya—kebanyakan legislator di parlemen pusat maupun daerah. Sedangkan dalam faksi keadilan ada Hilmi Aminuddin (mantan Ketua Majelis Syuro), Suripto (mantan anggota BIN), Salim Segaf Al-Jufri (Ketua Majelis Syuro sekarang), Sohibul Iman (Presiden PKS) dan kawan-kawannya.

Nama-nama dalam "faksi keadilan" itu bukanlah orang sembarangan. Hilmi Aminuddin adalah ideolog PKS, anak dari Danu Muhamad, pangilma DI/TII wilayah Indramayu. Suripto adalah mantan intelijen didikan Benny Moerdani. Hilmi dan Suripto adalah satu paket yang tidak bisa dipisahkan. Salim Segaf adalah habib yang disegani di Sulawesi. Sedangkan Sohibul adalah mantan Rektor Paramadina.

Mahfudz Siddiq, salah satu kader yang ikut mendirikan PKS, mengatakan identifikasi orang-orang dalam faksi itu sudah sangat jelas. Meski demikian, dalam kepentingan tertentu, orang-orang dalam faksi kadang juga tidak cocok. Di dalam "faksi keadilan", Hilmi dan Salim Segaf adalah dua faksi yang berbeda kepentingan.

“Kalau sekarang mereka bersatu karena memiliki musuh yang sama, yakni Anis Matta,” kata Mahfudz.

Awal Mula Konflik

Konflik yang sekarang mencuat di internal PKS tak lepas dari perbedaan pandangan tentang orientasi partai sejak lama. Menurut Mahfudz Siddiq, perbedaan pandangan pertama terjadi setelah kemenangan Pemilu 2004. Saat itu Anis Matta menjabat sebagai sekjen dan Hilmi Aminuddin sebagai Ketua Majelis Syuro PKS.

Saat itu Hilmi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di PKS punya kendali penuh atas kader-kader partai yang menjadi menteri dan pejabat publik lainnya, menurut Mahfudz. Pengelolaan sumber daya partai menjadi tertutup.

Anis Matta adalah orang yang tidak setuju atas model pengelolaan partai seperti itu. Mahfudz, yang dikenal jadi lingkaran Anis Matta, mengatakan Anis menghendaki PKS menjadi partai yang terbuka dan menyesuaikan diri dengan model negara demokrasi. Termasuk dalam pengelolaan sumber daya partai dan model pengaderan yang terbuka. Perbedaan ini terus terjadi selama sepuluh tahun PKS menjadi bagian dari pemerintah.

“Perbedaan pandangan ini yang membikin hubungan Anis Matta dan Hilmi kemudian merenggang,” kata Mahfudz.

Baca wawancara Mahfudz Siddiq:

Kasus penangkapan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq oleh KPK pada 2013 adalah puncak kegaduhan. Anis Matta yang ditunjuk Hilmi sebagai pengganti Luthfi diserang isu tak sedap: ia dituding sebagai dalang di balik penangkapan Luthfi karena kasus suap impor sapi.

Masa itu adalah masa terburuk bagi PKS. Semua kader menunduk. Anis Matta menginstruksikan agar kader dilarang berkomentar apa pun kecuali meminta maaf. Anis Matta terbukti sukses mempertahankan suara PKS pada Pilkada 2013 dan Pilpres 2014. Suara PKS tetap pada angka 7 persen seperti perolehan suara pada pemilu 2004.

Tahun 2015 menjadi tahun penting bagi PKS. Terjadi pergantian Ketua Majelis Syuro untuk pertama kali sejak PKS berdiri. Hilmi Aminuddin kalah dalam pemilihan dengan Salim Segaf Al-Jufri. Lagi-lagi, menurut Mahfudz, Anis Matta dituding sebagai orang di balik penggulingan Hilmi. Padahal setelah itu Anis Matta tidak dipertahankan oleh Salim Segaf Al-Jufri dan menunjuk Sohibul Iman sebagai Presiden PKS.

Pada 2020, PKS akan kembali menggelar hajatan besar. Mereka melakukan pemilihan Ketua Majelis Syuro. Sebuah dokumen berjudul “Mewaspadai Gerakan Mengkudeta PKS” membeberkan bagaimana upaya Anis Matta untuk menguasai PKS kembali pada 2020 mendatang. Dokumen itu sudah menyebar di jajaran DPP PKS tetapi tidak diketahui siapa pembuatnya.

Menuru Mahfudz Siddiq, dokumen ini bak model pembersihan yang sengaja dirancang ala intelijen.

"Model pengelolaan konflik di PKS sekarang ini model operasi intelijen. Jelas ini ciri khas cara kerja intelijen," ujar Mahfudz.

Infografik HL Indepth PKS

PKS dalam Pusaran Konservatisme

Konflik berlanjut. Babak baru intrik antara faksi di PKS adalah pemecatan Fahri Hamzah sebagai kader PKS. Fahri Hamzah dianggap membangkang perintah pimpinan partai dan dinilai sebagai pelanggaran. Dalam PKS dikenal dengan doktrin taat kepada Qiyadah.

Doktrin ini yang menurut Fahri Hamzah menunjukkan ada masalah pemikiran organisasi yang sejak lama dalam PKS. Ia melihat para pimpinan PKS saat ini gelagapan melihat perubahan dan menganggap PKS itu adalah partai yang berbeda dari partai lain.

“Ini adalah organisasi kejemaahan yang eksklusif, sehingga ketaatan dalam berpartai di atas segalanya bahkan konstitusi. Itulah sebabnya dalam kasus saya, mereka sangat terpukul sekali,” kata Fahri kepada Tirto, 16 Juli 2018.

Padahal, kata Fahri, seharusnya loyalitas terhadap partai itu harus sudah berhenti ketika loyalitas terhadap negara dimulai. “Dalam demokrasi itu berkembang adagium begini, 'When loyalty to my country begin, loyality to my party end',” katanya.

Kondisi PKS sekarang ini menurut Mahfudz Siddiq justru kembali ke gerakan Islam masa lalu: masih ada pemisahan antara gerakan dan negara. Padahal dalam demokrasi, ujarnya, partai sudah menjadi bagian dari negara; tidak bisa dipisahkan.

Kekhawatiran yang muncul bukan PKS tidak berkembang dan hancur, tetapi ketika PKS menjadi partai penguasa dan masih dikelola dengan model seperti sekarang, ujar Mahfudz. Maka, PKS akan kembali ke rezim otoriter dan membawa PKS menjadi partai yang makin konservatif serta tertutup.

“Konflik yang ada sekarang, caleg dipaksa mundur sebelum maju adalah bukti PKS justru setback,” ujar Mahfudz.

Menanggapi hal itu, juru bicara PKS Mardani Ali Sera menegaskan tidak ada faksi dan konflik dalam tubuh PKS. Semua kader memang sudah seharusnya taat pada partai. Sama halnya ketika Mardani diminta mundur dari calon wakil gubernur DKI Jakarta oleh partai dan ia pun menurutinya.

“Enggak ada seperti itu,” kata Mardani kepada Tirto di DPR, Jumat pekan lalu.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Politik
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam