Menuju konten utama

Konflik Afghanistan vs Taliban, Bagaimana Indonesia Harus Bersikap?

Posisi Indonesia di dunia dinilai sangat strategis dalam konflik Afghanistan. Kini, Indonesia masuk dalam kelompok Troika+ dalam kelompok G20.

Konflik Afghanistan vs Taliban, Bagaimana Indonesia Harus Bersikap?
Ratusan orang berkumpul di dekat pesawat angkut C-17 Angkatan Udara AS di sebuah perimeter di bandara internasional di Kabul, Afghanistan, Senin, 16 Agustus 2021. (AP Photo/Shekib Rahmani)

tirto.id - Kondisi Afghanistan semakin kacau setelah kelompok Taliban berhasil menguasai negara tersebut pekan lalu. Banyak warga Afghanistan berusaha meninggalkan Kabul ketika Taliban sukses menguasai ibu kota Afghanistan tersebut.

Sejumlah negara pun bergerak cepat untuk menyelamatkan warga mereka di Afghanistan. Sebut saja Amerika Serikat, Italia, Ceko, Pakistan, Selandia Baru hingga Korea Selatan. Sementara Indonesia hingga saat ini belum bersikap meski tidak memungkiri potensi untuk mengevakuasi WNI dari Afghanistan. Pemerintah masih mencari momen yang tepat untuk mengevakuasi warganya.

"Mengenai pemulangan WNI, evakuasi bagi WNI sifatnya masih terus dimatangkan. Kami mencermati berbagai perkembangan yang terjadi di lapangan dan terus mengumpulkan informasi sehingga pada waktunya evakuasi dilakukan sudah diputuskan berdasarkan informasi yang lengkap secara utuh," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah kepada reporter Tirto, Selasa (17/8/2021).

Kabar terbaru, kata Faiza, pemerintah mencatat ada 15 WNI yang berada di Afghanistan. Kini, para WNI itu tengah dilindungi oleh pemerintah. "Kondisi mereka baik. Ada yang ditampung di KBRI, namun jumlahnya saya tidak tahu persis," kata Faiza, Rabu (18/8/2021).

Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko enggan mengomentari sikap Indonesia terhadap pemerintahan Afghanistan yang kini di bawah Taliban. Akan tetapi, Moeldoko memastikan pemerintah fokus pada upaya perlindungan kepada para WNI dan mencegah terorisme.

"Saya tidak mau mendahului, bidang tugasnya menlu. Saya mohon nanti menanyakan kepada menlu, tetapi sikap dasar pemerintah kita sangat klir terhadap tindakan-tindakan terorisme dan tindakan-tindakan radikalisme," kata Moeldoko, di Jakarta, Rabu kemarin.

Bagaimana Indonesia Harus Bersikap?

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Rahardjo Jati memandang hubungan Indonesia dengan Afghanistan baik karena Presiden Jokowi menerima anugerah dari Presiden Afghanistan Ashraf Ghani pada Januari 2018. Sementara itu, posisi Indonesia dengan Taliban juga menunggu langkah negara Islam dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

Akan tetapi, Wasisto menilai, pelaksanaan evakuasi WNI dari Afghanistan penting dilakukan demi melindungi warga Indonesia di negara tersebut.

"Saya pikir evakuasi WNI yang ada adalah hal utama sampai negara itu sudah stabil kondisinya dan secara diplomatik sudah ada semacam 'pengakuan' secara internasional. Perlindungan WNI di negara lain adalah hal mutlak apalagi di kondisi negara gagal seperti Afghanistan saat ini," kata Wasisto, Rabu (18/8/2021).

Dosen Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Robi Sugara menilai Indonesia tidak akan mengambil langkah berpihak pada satu sisi dalam konflik Afghanistan. Menurut Robi, Indonesia sudah pada posisi upaya perdamaian dengan mengajak Taliban sesuai dengan prinsip politik bebas aktif.

"Indonesia masih memegang kebijakan politik luar negeri bebas aktif. Jadi tidak mungkin memihak antara Karzai atau Taliban. Sejak Indonesia terlibat dalam proses damai di Afghanistan, Indonesia selalu mengusulkan pelibatan Taliban," kata Robi kepada reporter Tirto, Rabu (18/8/2021).

Robi menekankan Taliban saat ini mengambil alih kekuasaan karena tidak menggunakan pendekatan pengambilan kekuasaan seperti momen perang dunia kedua atau perang dingin. Metode yang digunakan pun berbeda dengan cara ISIS mengambil wilayah.

Pengambilalihan wilayah Afghanistan pun dilakukan tidak secara selektif dan sporadis. Selain itu, kata dia, mereka juga tidak menyerang orang asing serta berencana memberikan amnesti kepada aparatur yang menyerah. Oleh karena itu, situasi yang terjadi berbeda.

Robi menambahkan, Indonesia juga sudah membangun komunikasi dengan Taliban, tetapi ia memandang Indonesia tetap harus menyiapkan skenario evakuasi WNI demi menghadapi skenario terburuk.

"Indonesia tentu harus mempersiapkan evakuasi untuk mempersiapkan hal yang terburuk, tapi sepertinya pihak Taliban telah takeover kekuasaan banyak menjalin komunikasi dengan negara lain termasuk Indonesia," kata Robi.

Sementara itu, dosen hubungan internasional Universitas Jember M. Iqbal memandang Indonesia berusaha berhati-hati dalam menyikapi Afghanistan. Dalam kasus penyelamatan WNI, pemerintah justru sudah progresif dengan hati-hati dalam upaya evakuasi.

Menurut Iqbal, pemerintah pun membangun komunikasi tidak hanya di Afghanistan, tetapi juga petinggi Taliban di Qatar. Menurut Iqbal, komunikasi penting dilakukan agar pelaksanaan evakuasi berjalan aman.

"Artinya jangan kemudian hanya langsung diperintah kirim satu skuadron untuk pengevakuasian tanpa ada upaya yang sangat clear kepada penguasa Taliban, lalu beberapa mereka masih di Doha, Qatar. Kalau kemudian itu tidak dilakukan, langsung kirim saja bagaimana menjamin keselamatan dari kejaran warga yang ingin juga keluar dari Afghanistan? Itu kan hal yang sangat berisiko sekali," kata Iqbal.

Iqbal mengingatkan posisi Indonesia di dunia sangat strategis dalam konflik Afghanistan. Kini, Indonesia masuk dalam kelompok Troika+ dalam kelompok G20.

Di sisi lain, kata Iqbal, Indonesia juga masuk dalam kelompok yang terlibat dalam upaya perdamaian Afghanistan antara pemerintahan yang ada dengan Taliban bersama Jerman, Norwegia, Uzbekistan, dan Qatar. Posisi tersebut membuat Indonesia seharusnya lebih mudah dalam upaya evakuasi WNI dari Afghanistan karena bisa berkomunikasi dengan kelompok Taliban maupun pemerintah resmi saat ini.

Sementara itu, sikap Indonesia dalam menyikapi pemerintahan Afghanistan pun sudah profesional. Dalam kacamata Iqbal, Indonesia sudah tepat memantau dinamika Afghanistan, apalagi Taliban akan mengumumkan kabinet serta mendeklarasikan perubahan pendekatan Taliban yang lebih moderat di masa depan.

Iqbal memandang pemerintah Indonesia justru bisa memanfaatkan momentum aksi Taliban untuk posisi di dunia internasional. Selain itu, Indonesia juga melihat aksi Taliban sebagai upaya untuk merebut ketidakadilan di Afghanistan setelah Afghanistan diporak-poranda oleh Amerika.

Keterlibatan Indonesia dalam perdamian Afghanistan, troica+ hingga hubungan baik dengan Taliban dan pemerintahan Afghanistan saat ini bisa bersinergi, apalagi Taliban dekat dengan negara besar yang kini dekat dengan pemerintahan Jokowi, kata Iqbal.

"Secara tidak langsung, Indonesia mengakui itu sebetulnya. Inilah yang harus dimanfaatkan ke depan untuk dikomunikasikan dalam posisi Indonesia di dalam Dewan Keamanan PBB. Kan Indonesia anggota tidak tetapnya sehingga seharusnya menjadi momentum untuk bisa menginisiasi itu semua dan apalagi kekuasaan Taliban saat ini tripod, Iran, Rusia dan China," kata Iqbal.

"Posisi Indonesia per hari ini, pemerintahan Jokowi berhubungan dengan sangat baik dengan pemerintahan Cina dan Rusia sehingga partnership ini seharusnya disinergikan [...] jangan sampai kemudian kita kehilangan momentum untuk memanfaatkan semua benefit ini," tutur Iqbal.

Ada Ancaman dalam Negeri

Wasisto mengaku ada dampak negatif dari kemenangan Taliban di Afghanistan. Ia khawatir potensi bangkitnya sel terorisme yang tidur di Indonesia setelah kemenangan Taliban. Ia khawatir sel tidur mantan mujahidin di Indonesia akan kembali bergerak.

"Harus kita akui ada beberapa sel tidur (sleeper cells) mantan mujahidin yang dulu ikut bergerilya di Afghanistan kini masih berada di Indonesia. Kondisi itu bisa berpotensi menimbulkan aksi ekstrimisme baru di tanah air manakala ada semacam gerakan internasionalisasi Taliban di negara-negara lain pasca pengaruh ISIS mengendur," kata Wasisto.

Wasisto pun menilai Indonesia harus tegas dalam bersikap demi mencegah kemunculan sel teroris di Indonesia. "Saya pikir pemerintah perlu bersikap tegas dari awal soal munculnya kembali Taliban sebagai penguasa Afghanistan dengan cara menarik dubes dari sana. Karena kalau ada 'pembiaran' dikhawatirkan munculnya transmisi internasionalisasi Taliban lewat jaringan Islam trans nasional," kata Wasisto.

Hal serupa diungkapkan Iqbal. Ia beranggapan, penyelesaian konflik Afghanistan tidak bisa dilepaskan untuk makna positif semata. Ia mengingatkan Kepentingan Indonesia dalam perdamaian Afghanistan tidak sebatas untuk perdamaian dunia, tetapi juga kepentingan domestik.

Iqbal mengingatkan, Taliban mempunyai afiliasi dengan kelompok teroris Al-Qaeda. Tidak sedikit warga Indonesia yang menjadi jihadis di Afghanistan, dan saat kembali ke Indonesia menjadi kelompok teror seperti Jemaah Islamiyah dan sel-sel teror lain.

"Dalam konteks GWOT (Global War on Terrorism) Indonesia ini menjadi negara cukup rentan diganggu oleh terorisme yang sel-selnya sudah sangat jelas memiliki proxy dengan kelompok di Afghanistan dalam hal Al-Qaeda. Al-Qaeda itu dunia tahu bahwa punya hubungan sangat harmonis dengan Taliban," kata Iqbal.

Ia khawatir sel-sel tidur terorisme Indonesia bangkit di Indonesia setelah kesuksesan Taliban menjatuhkan pemerintahan Afghanistan. Dugaan tersebut semakin nyata setelah polisi mulai menangkap banyak jaringan teror yang sporadis. Oleh karena itu kebutuhan komunikasi dengan Taliban menjadi penting di masa depan.

"Pemerintahan kita di sini, bukan berarti kita takut pada terorisme, tapi tentunya lebih baik kita melakukan upaya antisipasi. Caranya adalah tentu jangan sampai terulang lagi aksi-aksi terorisme itu," kata Iqbal.

Baca juga artikel terkait KONFLIK AFGHANISTAN VS TALIBAN atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz