Menuju konten utama

Kondom: Alat Pergaulan Bebas atau Pencegah HIV?

Pemakaian kondom mengurangi risiko penularan HIV empat kali dibanding tidak menggunakan kondom.

Kondom: Alat Pergaulan Bebas atau Pencegah HIV?
Ilustrasi laki-laki membuka kondom. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Di Indonesia, kondom masih terstigma sebagai alat kontrasepsi semata. Bahkan tak jarang ia dilabeli sebagai alat seks bebas atau simbol praktik prostitusi. Padahal lebih luas dari itu, penggunaan kondom sangat efektif mencegah penularan Human Immunodeficiency Virus (HIV) serta Infeksi Menular Seksual (IMS) lainnya.

Stigma kondom sebagai simbol seks bebas atau praktik prostitusi masih terlihat jelas dari beberapa kasus yang terjadi di Indonesia. Tahun lalu misalnya, BBC mengisahkan razia kondom yang dilakukan Walikota Makassar M. Ramdan di sejumlah minimarket. Aturan itu ia buat dengan maksud membatasi akses kondom pada pengguna di bawah umur.

Selain aksi razia kondom di Makassar, ada kasus lain yang tak kalah menegaskan simbolisasi kondom dengan seks bebas. Pada 2013, Majelis Ulama Indonesia (MUI), seperti diberitakan Tempo, sempat menolak Pekan Kondom Nasional yang digagas Kementerian Kesehatan. Kegiatan tersebut dianggap sebagai dukungan pemerintah terhadap seks bebas di kalangan remaja.

“Jangan seperti di Barat. Anak perempuannya pergi, ibunya malah kasih pil anti-hamil,” kata Ketua MUI, Amidan Syahberah, kala itu.

Padahal, kondom dan seks bebas tidak memiliki korelasi satu sama lain. Tanpa kondom, seks bebas akan tetap ada, malah jumlah infeksi HIV berisiko semakin meningkat. Penggunaan alat kontrasepsi ini mencegah penularan infeksi HIV. Laporan Sistem Informasi HIV-AIDS dan IMS (SIHA) Triwulan II tahun 2018 yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan pada Oktober lalu menyatakan jumlah infeksi HIV di Indonesia terus meningkat.

Data per April-Juni 2018, terdapat 10.830 laporan infeksi HIV dengan kejadian kumulatif mencapai 301.959. Dari jumlah tersebut, kasus tertinggi berada di kelompok umur 25-49 tahun sebanyak 70,3 persen, lalu umur 20-24 tahun 15,9 persen, dan umur lebih dari 50 tahun sebanyak 7,6 persen.

“Sebanyak 76,2 persen atau 3 di antara 4 orang yang terkena HIV di Indonesia disebabkan hubungan seksual yang tidak terproteksi,” tulis laporan tersebut.

Pelarangan, penolakan, dan stigma terhadap kondom justru akan membuat kelompok berisiko enggan membeli kondom karena takut atau malu.

Padahal menurut laporan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017, pengetahuan remaja tentang cara mengurangi risiko tertular HIV-AIDS dengan kondom sudah cukup baik. Sebanyak 51 persen remaja perempuan dan 58 persen remaja laki-laki mengatakan HIV-AIDS dapat dicegah dengan menggunakan kondom saat berhubungan seksual.

“Remaja pria juga lebih populer menggunakan metode kontrasepsi kondom, sebanyak 89 persen, dibanding metode lainnya,” tulis laporan tersebut. Sementara itu, metode kontrasepsi suntik KB dan pil KB masih lebih populer digunakan remaja perempuan.

Kisah-Kisah Penularan HIV

HIV diduga pertama kali muncul dan menular dari simpanse ke manusia pada 1920. Di tempat yang sekarang bernama Republik Demokrasi Kongo, asal mula penyakit zoonosis ini berkembang. Mulanya, simpanse membawa virus bernama Simian Immunodeficiency Virus (SIV). Laman Avert menyebut perburuan dan konsumsi simpanse oleh manusia akhirnya membuat SIV bermutasi menjadi HIV. Darah simpanse terinfeksi SIV kemungkinan masuk pada luka dari para pemburunya.

“Para peneliti baru menemukan strain SIV yang identik HIV pada tahun 1999,” tulis laman tersebut.

Di Indonesia, kasus HIV-AIDS pertama kali ditemukan di Bali pada 1987, pada seorang turis asal Belanda yang meninggal di RS Sanglah. Lima tahun kemudian, beberapa anggota TNI yang ditugaskan sebagai tentara perdamaian di Kamboja juga terinfeksi HIV. Penelitian Indria Sari pada 2009 menyebut tujuh dari 1.929 tentara terkena HIV di Kamboja diduga karena minim pengetahuan tentang HIV dan pencegahannya.

Sementara itu, penelitian yang disusun Krzysztof Korzeniewski dari Lembaga Kedokteran Militer, Departemen Epidemiologi dan Penyakit Tropis, Polandia, menyatakan infeksi HIV pada tentara Indonesia di Kamboja mencapai 12 kasus (rasio 3,3/1.000 tentara). Penelitian ini menyimpulkan bahwa saat itu kontak seksual personel militer dengan warga negara asing mencapai 45-56 persen selama penugasan.

“Semua tentara yang terinfeksi melaporkan kontak seksual dengan perempuan lokal,” tulis Korzeniewski. Penularan HIV bisa terjadi karena para tentara tidak menggunakan kondom saat melakukan aktivitas seksual berisiko dengan perempuan di Kamboja.

Lantaran sempat jadi epidemi, akhirnya militer di Kamboja bekerjasama dengan organisasi-organisasi internasional lain membuat panduan pencegahan HIV. Salah satunya dengan mendistribusikan kondom kepada personel militer dan mengampanyekan cara pemakaiannya.

Infografik Kondom vs HIV

Bagaimana Cara Kerja Kondom?

Kasus-kasus penyebaran HIV akibat aktivitas seksual berisiko tak perlu terjadi apabila kelompok berisiko sadar dan mau menggunakan kondom sebagai alat pencegah. Food and Drug Administration (FDA) menyebut kondom sebagai penghalang atau dinding untuk menjaga darah, air mani, atau cairan vagina berpindah antar-individu selama berhubungan seksual.

Cairan tersebut menyimpan HIV dan infeksi menular seksual lainnya. Jika tidak ada kondom yang digunakan, virus dapat berpindah dari pasangan terinfeksi ke pasangan yang tidak terinfeksi. Penelitian Carey RF, dkk pada tahun 1992 menguji efektivitas kondom lateks sebagai penghalang partikel HIV. Mereka membuat model partikel seukuran HIV, 110 nm mikrosfer.

Rancangan sistem pengujian mempertimbangkan ukuran partikel, pH, tegangan permukaan, dan waktu. Kondom disuspensi selama 30 menit dan hasilnya kebocoran terdeteksi sebanyak 29 dari 89 kondom yang diuji. Sebanyak 21 kondom bocor pada tingkat minimum 1 nl/s, lalu 7 kondom pada tingkat 1-6 nl/s, dan 1 kondom di sekitar 10 nl/s. Meski ada yang mengalami kebocoran, penggunaan kondom secara substansial mengurangi penularan HIV empat kali lebih baik dibanding tidak menggunakan kondom.

“Apalagi sekarang, teknologi makin maju, pori-pori kondom juga lebih kecil. Kondom meningkatkan peluang pencegahan infeksi HIV,” papar dr. Firman Santoso, spesialis kandungan.

Menurutnya, penggunaan kondom sebagai alat pencegah infeksi HIV akan efektif ketika digunakan dengan benar. Pastikan kondom tidak kedaluwarsa karena kondisi tersebut akan mengurangi kelenturan dan efektivitas kondom. Gunakan pula kondom yang sesuai dengan ukuran penis agar cairan sperma atau vagina tidak tercecer.

“Takutnya cairan masuk lewat luka dari aktivitas seksual, misal ketika penetrasi tidak cukup lubrikan, jadi lecet,” ungkap Firman.

Ditambahkan dr. Tirsa Verani Sp.OG dari RS. Brawijaya Antasari, ada beberapa cara mencegah penyebaran HIV. Beberapa di antaranya dengan melakukan tes status HIV serta mendiskusikan status tersebut pada pasangan. Cara ini berguna untuk menyusun rencana kehidupan jangka panjang. Individu dengan HIV masih bisa memiliki harapan hidup tinggi dengan mengonsumsi obat bernama antiretrovirals (ARV).

Ini adalah obat yang harus diminum orang dengan HIV-AIDS (ODHA) seumur hidup guna menekan jumlah virus, mengurangi risiko penularan, dan mencegah infeksi oportunistik. Dengan ARV, ODHA tidak perlu khawatir menularkan virus ke pasangan maupun anak saat berada di kandungan atau saat menyusui. Ketika harus memakai jarum suntik juga harus steril, terakhir, terus mengedukasi diri.

“Edukasi membantu mengurangi kesempatan kita terkena HIV-AIDS, dan menghindarkan kita dari anggapan salah tentang HIV-AIDS,” katanya.

Pedoman pencegahan HIV yang pertama adalah setia kepada satu pasangan seksual. Ketika melakukan kontak seksual berisiko, selalu ingat untuk menggunakan kondom.

Baca juga artikel terkait HARI AIDS SEDUNIA atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani