Menuju konten utama

Kondisi Kerja Buruh Aice Tak Semanis Iklan 'Have an Aice Day'

Satu jilatan es krim Aice adalah tiap lapis kualitas kesehatan para buruhnya yang dirampas oleh perusahaan.

Kondisi Kerja Buruh Aice Tak Semanis Iklan 'Have an Aice Day'
Buruh pabrik ice cream AICE meneriakan tuntutanya dalam demo di Gedung Kemenpora, Jakarta, Senin (27/11/2017). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Have an Aice Day. Buatlah harimu sehat dan indah dengan es krim Aice. Harganya dari Rp2 ribu hingga Rp10 ribu—tentu, sehat pula bagi kantong Anda. Namun, selagi Anda menghabiskan pelan-pelan es krim Aice, Anda perlu mengingat kondisi kerja para buruh yang memproduksinya.

Setiap lapis es krim Aice yang anda jilat adalah setiap detik mutu kesehatan para buruh yang terus terkikis. Ada sekitar 644 buruh dari total 1.233 pekerja yang melakukan mogok sejak awal November lalu lantaran kondisi lingkungan pabrik yang mengabaikan hak-hak mereka; dan jumlah buruh yang protes terus bertambah.

Anda perlu mengingat kisah Heti Kustiawati. Ia tak pernah punya riwayat pingsan atau penyakit paru-paru. Ia baru merasakan lemas, tubuhnya roboh, dan pingsan pada 14 November 2017.

Esoknya ia pergi ke Klinik Bunda Aulia di Cikarang Barat, Bekasi. Setelah ditunjukkan hasil ronsen, perasaan Heti ciut.

“Kata dokter sih bronkitis. Itu kena amonia bocor yang sering terhirup,” ujarnya.

Perempuan berusia 22 tahun ini masih belum percaya daya tahan tubuhnya dirampas gas amonia. Dengan keyakinan ia masih merasa sehat, keesokan harinya ia bekerja kembali di bagian produksi. Seperti hari-hari sebelumnya, ia memakai sarung tangan, sepatu karet semata kaki, dan masker kain tipis. Tapi Heti pingsan lagi di pabrik.

Di PT Alpen Food Industry yang memproduksi es krim Aice, ketika para buruh bekerja, pipa mesin pendingin es krim kerap bocor. Amonia tertiup mengisi penuh ruang produksi. Gas alkali tak berwarna itu menguarkan bau tajam dan khas. Zat kimia yang biasa dipakai untuk bahan pupuk ini sangat berbahaya, bisa bertahan lebih dari seminggu dalam ruangan. Ia bikin iritasi kulit, mata, hidung, tenggorokan, dan paru-paru

“Bau amonia nyengat banget dan perih ke mata. Mata berair dan suka memerah,” kata Heti, yang sengaja mencari tempat berobat murah karena khawatir biaya mahal tak bisa di-reimburse oleh perusahaan.

Heti sudah setahun lebih bekerja, tetapi ia belum mendapatkan BPJS Kesehatan. Ia tekun mengumpulkan bukti pembayaran dari klinik kesehatan. Di sisi lain, ia juga cemas biaya berobat tak diganti PT AFI seperti hari-hari sebelumnya.

Zaenal senasib dengan Heti. Ia mengidap bronkitis. Ia juga bekerja di bagian produksi.

“Kami hirup gas berbahaya di dalam. Dokter bilang, 'Suruh pindah saja, jangan dekat-dekat gas kayak gitu, berbahaya',” ungkap pria 25 tahun ini.

Sementara Acil, mata kanannya pernah meradang dan bengkak karena tepercik cairan soda api. PT AFI tak memberikan pertolongan apa pun meski ia hanya bisa melihat dengan mata kiri saja saat itu.

“Izin pulang enggak boleh. Disuruh tidur di musala. Besoknya masuk kerja,” keluh Acil, 29 tahun.

Acil bekerja di bagian tangki penyiapan cokelat. Sebelum dan ketika produksi berhenti, ia harus mencuci tangki itu. Tanpa sarung tangan, ia menuangkan berember-ember soda api dan air panas.

“Sarung tangan karet kalau ada tamu kunjungan ke pabrik baru dikasih. Setelah itu diminta lagi,” ucapnya.

Sebagai pengganti sarung tangan, setiap 15 menit, ia dan rekan kerjanya diwajibkan mencuci tangan dengan cairan kimia. Kulit di bagian punggung tangan kanannya justru rusak karena obat pencuci itu.

“Ini gatal, rusak, perih. Sudah empat bulan belum sembuh,” ungkapnya.

Seperti Heti dan Zaenal, Acil juga sudah bekerja setahun lebih. Namun, ia tak mendapatkan kartu BPJS Kesehatan. “Pakai biaya sendiri dan enggak diganti,” katanya.

Para buruh bekerja tanpa panduan rencana tanggap darurat. “SOP enggak ada. Briefing keamanan enggak ada. Saya kerja tanpa tahu bahayanya,” tegasnya.

Tidak ada pula pemeriksaan kesehatan secara rutin. Bahkan kontrak kerja tidak menyebutkan apa pun tentang kompensasi jika para buruh terjangkiti penyakit atau cedera akibat kerja.

Dalam satu peristiwa, seorang buruh bernama Ahmad Supriyanto meninggal dalam peristiwa kecelakaan di jalan saat menuju pabrik dengan mengendarai sepeda motor. Nyawanya tak tertolong karena ia tak memiliki BPJS kesehatan.

Bagaimana rasanya melihat tulang dan daging yang menganga dari jari tengah tangan kirimu sendiri?

Gugun Gumilar, 24 tahun, tak sanggup melihat potongan jarinya sendiri yang dikembalikan dokter untuknya.

Gugun bekerja di bagian produksi. Setiap hari ia mengurus pemotongan plastik pembungkus es krim Aice. Dalam sehari, ia harus memotong 12 gulungan plastik. Setiap gulungan sepanjang 1.200 meter. Jika dikalkulasi dalam sehari, Gugun memotong 14,4 kilometer plastik es krim Aice.

Selasa, 16 Mei 2017, mesin pemotong bermasalah. Ia bergegas memanggil pekerja bagian mekanik. Saat diminta petugas mekanik untuk menarik plastik yang tersangkut mesin, tanpa berpikir panjang Gugun melakukannya.

Jarinya terpotong. Darah mengucur deras. Peristiwa itu berlangsung cepat. Gugun dibawa ke rumah sakit terdekat, Rumah Sakit Aprilia Medika di Setu, Cikarang.

Kini jarinya yang terpotong sering ngilu. Ia kehilangan kekuatan untuk menggenggam.

Infografik HL Indepth Aice

Aturan Hukum dan Bantahan Perusahaan

Dalam kontrak kerja dengan PT AFI, setiap buruh berhak mendapatkan lima jenis asuransi kesehatan maupun jaminan hari tua. Peraturan ini tercantum dalam Pasal 2 soal jaminan sosial buruh. Isinya, perusahaan menegaskan akan memberikan fasilitas BPJS kecelakaan kerja, kematian dan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan pemeliharaan kesehatan.

Tapi tak semua buruh mendapatkan haknya. Mereka yang izin sakit justru dipotong upahnya sejumlah hari mereka absen kerja.

Padahal, sesuai Pasal 14 UU 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, setiap orang termasuk orang asing yang bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia, wajib menjadi peserta program jaminan sosial. Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta BPJS sesuai program jaminan sosial.

PP 84/2013, yang merevisi program jaminan sosial tenaga kerja, menyebutkan bahwa pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 10 orang atau lebih, atau membayar upah paling sedikit Rp1 juta per bulan, wajib mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam program jaminan sosial tenaga kerja. Jika tidak, pemberi kerja bisa dikenai sanksi administratif. Isinya teguran tertulis, denda, dan tak mendapatkan pelayanan publik tertentu dari pemerintah.

Jaminan sosial terdiri lima hal. Ia mengatur soal jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, dan kematian. Ini tercantum dalam pasal 18 Undang-Undang 40/2004 tentang sistem jaminan sosial nasional.

Perusahaan juga wajib memberi pelayanan pemeriksaan kesehatan bagi para pekerja. Sejak semula pekerja diterima, cek kesehatan berkala, hingga "gangguan kesehatan" atau sakit "kambuhan tanpa diduga". Seluruh biaya ini ditanggung oleh perusahaan.

Namun, bila Anda bekerja di PT Alpen Food Industry, kecelakaan kerja ditanggung buruh sendiri. Hal ini tegas tertulis dalam pasal 10 poin 2 kontrak kerja. Isinya, bila buruh mengalami kecelakaan kerja di kemudian hari dan "mengakibatkan cacat", peristiwa ini merupakan "kelalaian" si buruh semata alias "human error" dan tak bisa menuntut perusahaan.

Saat ditanya perkara kontrak kerja dan testimoni para buruh Aice yang kami kumpulkan, Sylvana Zhong Xin Yun, humas Aice Group Holdings Pte. Ltd, membantahnya.

Sylvana mengatakan bahwa PT AFI "selalu mengutamakan standar keselamatan" sebagaimana diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan di Indonesia. Sylvana bekerja di Aice Group Holdings Pte. Ltd. sekaligus PT AFI sebagai anak perusahaan dari grup itu.

Sylvana maupun pimpinan PT AFI enggan bertemu langsung dengan reporter Tirto. Mereka minta kami mengajukan pertanyaan melalui surel. Mereka hanya menjawab 6 dari 19 pertanyaan yang kami ajukan.

“Selama jam kerja berlangsung, para karyawan diberikan alat pelindung berupa pakaian pelindung kimia serta perlengkapan pelindung lain seperti sepatu bot dan masker pelindung pernapasan,” tulis Sylvana.

Setiap karyawan yang mengalami kecelakaan kerja akan dibantu dengan cepat menuju rumah sakit, menurut Sylvana. Namun ia tak menjelaskan soal ganti rugi kecelakaan dan siapa yang menanggung biaya kesehatan karyawan bersangkutan.

“Kami selalu melakukan evaluasi terhadap setiap kejadian agar kejadian tersebut tidak terulang kembali serta berusaha untuk meminimalisir kecelakaan kerja di lingkungan pabrik PT Alpen,” tulisnya.

Sylvana mengajak kami untuk melihat langsung ke dalam pabrik untuk mengecek standar keamanan kerja agar "ada keterbukaan." Kami menyetujuinya, tetapi belakangan ia menggagalkan rencana tersebut. Alasannya, "karena suasana belum kondusif."

Saat kami mengonfirmasi penjelasan Sylvana, ramai-ramai buruh PT AFI membantahnya.

Agus, yang bekerja di bagian logistik, mengatakan PT AFI berbohong. “Kalau bagian logistik memang pakai sepatu bot. Tapi kalau di produksi, memang enggak ada sepatu bot atau pelindung kimia, hanya ada masker,” tegas pria berusia 25 tahun ini.

Agus berkata bahwa "keadaan yang paling parah" di ruang mesin. Para buruh harus menjaga mesin agar suhu tetap stabil dan tak ada kerusakan. Saat jam makan, mereka tetap harus di ruangan itu. "Mereka makan dengan mengisap amonia," ujar Agus.

Heti Kustiawati juga membantah pernyataan humas PT AFI. Ia bilang jawaban-jawaban tertulis Sylvana Zhong Xin Yun "berlebihan banget" dari kenyataan. "Pakaian pengaman warepack, sepatunya juga bukan bot, maskernya tipis," katanya.

Heti masih merasakan dadanya nyeri akibat kondisi tempat kerja. "Lambung perih, sesak napas, terkadang batuk-batuk, dan lemas," ia menambahkan.

==========

Catatan:

Pembaca, sentuhan editorial di naskah ini ada inkonsistensi nama. Semula sumber-sumber pakai nama alias, tetapi belakangan kami memutuskan semua nama pakai nama asli. Jadi, bila Anda telah membaca dan menangkap layar nama-nama alias tersebut, nama sumber versi pembaruan yang dirilis terakhir ini adalah nama asli mereka. Mohon maaf atas inkonsistensi ini dan telah bikin Anda bingung.

— Fahri Salam, editor

Baca juga artikel terkait AICE atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Hukum
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana & Felix Nathaniel
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam