Menuju konten utama

Kondar Sulit Dibeli: Bukti Keputusan Tubuh Perempuan Kerap Dibatasi

Kontrasepsi darurat digunakan pascaaktivitas seksual tanpa pengaman. Namun, ia bukan kontrasepsi yang dapat digunakan secara rutin.

Kondar Sulit Dibeli: Bukti Keputusan Tubuh Perempuan Kerap Dibatasi
Ilustrasi Postcoital. iStockphoto/Getty Images

tirto.id - Masalah perencanaan kehamilan memang selalu jadi perkara tidak mudah bagi perempuan. Ketika memilih kontrasepsi, perempuan dihadapkan persoalan efek samping. Saat kontrasepsi yang dipilih gagal melindungi, perempuan kembali kejatuhan puntung.

Perempuan hampir selalu menjadi pihak yang bersalah ketika terjadi peristiwa “kebobolan”. Entah disudutkan karena hanya menggunakan perhitungan tanggal untuk menentukan masa tidak subur atau sekadar disindir “hamil terus sih” oleh tetangga atau kerabat.

Belum lagi menyoal kasus perkosaan. Korban yang mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) masih sulit mengakses layanan aborsi legal. Padahal, hal itu sejatinya diperbolehkan menurut Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan.

Aturan tersebut juga sangat membatasi—jika tak mau dibilang percuma—sebab aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan maksimal di usia kehamilan 40 hari sejak hari pertama haid pada periode terakhir. Jika sudah begitu, korban pun menanggung derita berlipat-lipat pascaperkosaan, yaitu trauma, beban ekonomi, dan beban psikologis.

Andai saja akses informasi terkait alat kontrasepsi sudah mumpuni, kesusahan-kesusahan seperti itu mungkin bisa ditekan. Misalnya dengan memakai kontrasepsi darurat (kondar).

Kondar bukanlah jenis kontrasepsi anyar. Kondar jenis postpill merek Andalan, misalnya, sudah beredar sekitar satu dekade belakangan di Indonesia. Sebelumnya, sudah ada pula merek lain bernama Postinor. Tapi, gaung informasinya seolah tak terdengar oleh masyarakat.

Selama ini, kita justru lebih mengenal jenis-jenis kontrasepsi yang digunakan sebelum berhubungan seksual dengan tujuan mencegah pertemuan sperma dengan ovum. Kondar adalah pelindung yang digunakan pasca terjadinya penetrasi vagina tanpa pengaman.

Kontrasepsi ini tentunya juga dapat membantu korban perkosaan keluar dari lingkaran keterpurukan akibat KTD. Ia juga bisa menjadi solusi bagi perempuan untuk mencegah KTD akibat kegagalan kontrasepsi tanpa aborsi.

Yang masih jadi persoalan kini adalah asksesibilitas pembelian kondar karena sulitnya minta ampun. Seminggu lalu, saya menjajal mengelilingi apotek-apotek di daerah Cinere, Depok, untuk mencari kondar. Lima apotek yang saya datangi bilang tidak menjual jenis kontrasepsi tersebut.

Lucunya, ketika saya menanyakan ketersediaan kondar—saat itu postpill merek Andalan, hampir semua apotekernya mengernyitkan dahi dan menatap saya sekian detik. Satu apoteker lain malah tidak tahu jenis obat tersebut.

Saya kemudian mencoba memesan kondar di satu apotek di daerah Ciputat melalui aplikasi pengantar obat. Sayangnya, apotek tersebut meminta salinan resep dokter sebagai syarat pembelian. “Obat keras,” begitu keterangan dari apotek tersebut.

Di saat bersamaan, saya juga menjajal membeli pil kontrasepsi reguler dan berhasil. Padahal, pil kontrasepsi reguler juga termasuk dalam golongan obat keras. Lain itu, baik kondar maupun kontrasepsi reguler sebenarnya punya fungsi dan komposisi hormon progesteron yang sama.

Bukan Obat Aborsi

Situs WebMD menyebut kontrasepsi darurat atau kontrasepsi postcoital sebagai kontrasepsi perempuan yang dikonsumsi ketika mengalami hubungan seks tanpa pengaman atau kegagalan kontrasepsi. Misalnya terjadi kondom robek atau lepas saat aktivitas seksual atau absen minum pil kontrasepsi reguler.

Sebagaimana kata “darurat” yang tersemat pada namanya, kodar hanya boleh digunakan pada kondisi tertentu dan bukan metode pengendalian kelahiran teratur. Kontrasepsi ini menghalangi ovulasi pascaaktivitas seksual dengan cara mengganggu kerja normal hormon progesteron yang berperan mempersiapkan rahim sebagai tempat tumbuh janin.

Mengonsumsi pil kondar di rentang 24 jam setelah hubungan seksual dapat mengurangi risiko kehamilan hingga 95 persen. Efektifitasnya bakal turun menjadi 90 persen jika dikonsumsi dalam jangka waktu 72 jam (6 hari). Semakin jauh rentang konsumsi kondar pascaaktivitas seksual, maka efekivitasnya juga semakin berkurang.

Infografik Kontrasepsi Darurat

Infografik Kontrasepsi Darurat. tirto.id/Fuad

Lantaran fungsi daruratnya itu, awam sering mempersepsikan cara kerja kondar seperti pil aborsi. Padahal, pembentukan janin membutuhkan waktu 3 sampai 5 hari dan kodar bekerja pada rentang waktu tersebut.

Konsumsi kodar setelah periode waktu tersebut—artinya setelah janin terbentuk—akan sia-sia belaka. Progesteron dalam kandungan kodar justru akan menguatkan janin, bukan mengugurkannya. Jadi, kodar bukanlah pil aborsi.

Apoteker sering kali meminta resep saat orang membeli kondar karena takut disalahgunakan oleh orang yang belum menikah,” terang Aditya Anugrah Putra, Head of Strategic Planning and Development DKT Indonesia, pionir pemasaran sosial kontrasepsi di Indonesia sekaligus mitra Kemenkes RI dan Komisi Penanggulangan AIDS.

Padahal, perkara dipakai oleh siapa mestinya bukanlah urusan penjual. Lain itu, pengguna kontrasepsi harusnya tak dikelompokkan berdasarkan status pernikahannya.

Di satu sisi, pembelian obat keras idealnya memang harus memakai resep dokter. Namun di sisi lain, syarat ini membikin kondar jadi sulit diakses dan lagi-lagi berujung pada sulitnya perempuan memilih kontrasepsi terbaik bagi tubuhnya.

Aditya kemudian memberi beberapa tip membeli kondar dengan cara cepat, yakni melakukan konsultasi cepat via telemedis dan kemudian meminta dokter kandungan meresepkan kondar. Selanjutnya, pesan obat lewat aplikasi atau langsung datang ke apotek K-24 yang merupakan salah satu penyedia kodar.

Jika cara tersebut masih sulit, alternatif lainnya minum saja pil KB biasa sebanyak 5 butir. Itu setara satu kali dosis kodar,” tutur Aditya.

Baca juga artikel terkait KONTRASEPSI atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi