Menuju konten utama

Konco-konco Prabowo dari Lembah Tidar

Beberapa kawan dekat Prabowo Subianto zaman di Akabri belakangan jadi jenderal.

Konco-konco Prabowo dari Lembah Tidar
Prabowo Subianto. FOTO/REUTERS/Tim Chong

tirto.id - Seharusnya Prabowo Subianto Djojohadikusumo sudah jadi letnan dua setelah Desember 1973, seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Agus Wirahadikusumah, dan Glen Kairupan. Ketika SBY dan kawan-kawan masih di Akabri, belum ada pembukaan korps baret merah alias Kopassandha (kini Kopassus). Kesatuan mentereng Angkatan Darat yang bisa segera mereka masuki adalah Kostrad. SBY masuk korps baret hijau elit itu.

Prabowo baru lulus pada tahun berikutnya, 1974, bersama Ryamizard Ryacudu. Yang juga lulus tahun itu adalah Sjafrie Sjamsoedin. Ryamizard masuk Kostrad. Sementara Sjafrie dan Prabowo masuk korps baret merah. Menurut Salim Said dalam Menyaksikan 30 tahun pemerintahan otoriter Soeharto (2016, hlm. 236), ketika lulus Akabri, dari tiga pilihan karirnya di Angkatan Darat Sjafrie hanya menulis "Kopasandha". Setelah lulus, Sjafrie mengamankan tokoh Islam Aceh Daud Beureueh dan Prabowo bertugas di Timor Timur (kini Timor Leste).

Selain Sjafrie, orang yang juga cukup dekat dengan Prabowo adalah Glen Kairupan. Glen berbaret merah, tapi bukan Kopassus. Ia seorang pilot helikopter yang bertugas di Pusat Penerbang Angkatan Darat (Penerbad). Prabowo dan Glen sama-sama punya darah Minahasa, Sulawesi Utara. Garis Minahasa Glen berasal dari ayahnya, sementara Prabowo dari ibunya, Dora Sigar.

Ayah Sjafrie penandatangan piagam Permesta, ayah Prabowo pernah jadi menteri PRRI. Salah satu hal yang membuat Sjafrie sering bertemu dengan Prabowo adalah posisi Sjafrie sebagai ajudan Presiden Soeharto.

Meski para perwira kerap disatukan karena seangkatan sependeritaan di Akabri, Prabowo juga dekat dengan beberapa senior. Kivlan Zen, misalnya, yang lulus Akabri pada 1971, atau (almarhum) Ismed Yuzairi Chaniago dari tahun lulus yang sama. Kivlan pernah di Kostrad, begitu juga Ismed Yuzairi. Keduanya berasal dari daerah yang menjadi basis perlawanan PRRI Sumatra pada akhir 1950-an.

Ketika masih berpangkat mayor dan setelah menikahi Siti Hediati Harjadi, putri daripada Presiden RI Jenderal Soeharto, Prabowo pernah mengumpulkan kawan-kawan dekatnya di rumahnya. Dalam Konflik dan Integrasi TNI AD (2004, hlm. 71), Kivlan mengisahkan pertemuan Mayor Prabowo Subianto dengan koleganya sesama perwira menengah, antara lain Mayor Ismed Yuzairi, Mayor Sjafrie Sjamsoedin, Mayor Glen Kairupan, dan Kivlan sendiri. Mereka berkumpul di rumahnya Prabowo di Lembang, Bandung, 1985.

Menurut Kivlan, pertemuan yang tak hanya sekali itu diadakan “dalam rangka penguatan diri untuk menghadapi Jenderal Benny Moerdani", kawan Prabowo di militer yang jadi perwira di sebuah batalyon.

Prabowo tak suka melihat naiknya Benny Moerdani sebagai panglima ABRI. Tapi Benny Moerdani tentu bukan lawan yang mudah. Selain berkuasa, Moerdani juga punya pengikut yang tidak boleh dianggap enteng.

Seperti dicatat Kivlan, jelang Sidang Umum MPR 1988, Prabowo khawatir akan adanya gerakan pengacauan oleh Jenderal Moerdani. “Untuk mengantisipasi, Prabowo Subianto kemudian mempersiapkan satu batalyon Kopassus, Batalyon Infanteri Linud 328, batalyon Infanteri 303, Batalyon Infanteri 321, dan batalyon infanteri 315,” tulis Kivlan Zen (2004, hlm. 74).

Kivlan tidak menjelaskan siapa saja yang akan menggerakkan batalyon-batalyon itu. Namun, pada 1988, Prabowo adalah komandan Linud 328 di Cilodong, Depok. Kawan-kawannya juga punya posisi di sejumlah batalyon lain. Kivlan pernah memimpin Batalyon 303 di Garut. Izmed pernah jadi komandan Batalyon 321 di Majalengka. Di Batalyon 315 Bogor, ada kawan bernama Ampi Nurkamal Tanujiwa yang menjadi komandan batalyon tersebut setelah 1988. Di Kopassus ada Sjafrie.

Setelah tak lagi khawatir akan Benny, Prabowo dkk mendekati para senior, misalnya Feisal Tanjung, Raden Hartono, Wiranto, dan Wismoyo Arismunandar. Yang terakhir disebut adalah ipar daripada ibu Tien Soeharto. Setelah jadi panglima Kostrad sejak 1991, Wismoyo akhirnya menjabat kepala staf Angkatan Darat (KSAD).

Kalangan sipil juga didekati. Pada 1990, dua minggu setelah Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) berdiri, Habibie ditemui Prabowo di IPTN Bandung. Seingat Kivlan, kawan-kawan Prabowo yang ikut menemui Habibie adalah Izmed, Sjafrie, Ampi Nurkamal, dan Sunarto. Dibanding yang lainnya, Sunarto lebih senior.

Pada 1991, Benny Moerdani masih menjabat menteri pertahanan, Jenderal Try Sutrisno jadi panglima ABRI, Jenderal Edy Sudradjat menjabat KSAD, dan Soeharto hendak naik haji. Prabowo, seperti dicatat Kivlan Zen, mengumpulkan kawan-kawannya untuk membahas kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi ketika Soeharto sedang berada di tanah suci. Di antara kawan-kawan Prabowo yang hadir saat itu adalah Sjafrie, Glen, Ampi, dan Kivlan sendiri. Ada pula Ryamizard Ryachudu. Pada masa itu mereka seharusnya sudah melampaui mayor. Setidaknya Letnan Kolonel.

Mengundang Ryamizard untuk membicarakan 'bahaya' kelompok Benny ini agak aneh. Pasalnya, sejak lama Benny berkawan akrab dengan Try Sutrisno. Adapun Ryamizard kala itu baru saja menikahi Nora Trystyana, putri Try Sutrisno.

Infografik sobat prabowo di Akabri

Infografik sobat prabowo di Akabri

Setelah Benny tersingkir, catat Salim Said (2016, hlm. 198), Soeharto mempercayakan jabatan-jabatan penting di militer ke sejumlah orang yang dikenalnya secara pribadi. Salah satunya Sjafrie, sang mantan ajudan. Mantan ajudan lain (dari Kopassus) yang cukup penting saat itu adalah Subagyo HS. Di luar orang dekat yang bekas ajudan, ada Feisal Tanjung.

Naiknya Feisal ke kursi panglima TNI tak lepas dari bantuan kawan-kawan Prabowo. Kolonel Izmed Yuzaeri dan Kolonel Kivlan Zen, catat Salim Said (2016, hlm. 153) adalah orang-orang yang diminta merekam pendapat orang-orang dekat Feisal—misalnya Mayor Jenderal ZA Maulani dan Mayor Jenderal Azwar Anaz—untuk kemudian diperdengarkan Soeharto.

Ketika Feisal Tanjung jadi panglima ABRI pada 1993, Prabowo kembali ke Kopassus dan jadi petingginya. Kawan-kawannya yang di Kostrad sudah jadi orang penting. Dia sudah berpangkat kolonel pada 1995, begitu juga kawan-kawan dekatnya lainnya.

Ketika Prabowo menjabat komandan jenderal Kopassus (sejak 1996), Sjafrie yang sempat duduk di kursi komandan Korem Surya Kencana di Bogor naik jadi kepala staf Kodam Jakarta Raya. Setahun kemudian, Sjafrie naik jadi panglima Kodam ibukota dengan pangkat mayor jenderal. Pada 1995, Izmed sudah jadi Panglima Divisi Infanteri I Kostrad dan belakangan menjabat kepala staf Kostrad.

Pada 1997, Kivlan Zen menjadi panglima Divisi Infanteri II dan belakangan jadi kepala staf Kostrad. Jabatan Prabowo saat itu adalah panglima Kostrad. Ketika Kivlan menjabat kepala staf, Ryamizard menjadi panglima divisi menggantikannya. Saat Prabowo jadi panglima Kostrad, orang nomor satu di Kopassus penggantinya adalah Mayor Jenderal Muchdi PR, senior Prabowo yang satu angkatan dengan Subagyo HS.

Seperti dicatat Hendro Subroto (2009, hlm. 9), Muchdi bersama Kivlan menjelang dicopotnya Prabowo dari jabatan sebagai sebagai panglima Kostrad. Adapun Glen tak segemilang kawan-kawan Prabowo lainnya meski lancar naik pangkat. Dia menjadi staf di departemen pertahanan.

Setelah Soeharto lengser, bintang Prabowo meredup. Dia diberi jabatan, tapi tak memimpin pasukan. Belakangan ia bahkan tak terlihat lagi di ABRI yang sudah ganti nama jadi TNI. Kawannya, Kivlan Zen, juga tidak begitu baik kabarnya. Dia tak di Kostrad lagi.

Izmed beruntung dapat posisi sebagai Panglima Kodam Bukit Barisan dan terakhir jadi Inspektorat Jenderal TNI AD. Ryamizard bisa naik jadi panglima Kodam Jakarta Raya, lalu panglima Kostrad lalu KSAD di era Megawati hingga awal periode kepresidenan SBY.

Pada era SBY, Sjafrie diangkat sebagai sekretaris jenderal Departemen Pertahanan lalu wakil menteri pertahanan. Setelah SBY lengser, Ryamizard menjabat menteri pertahanan. Sementara Prabowo Subianto jadi oposisi dari presiden yang menaikkan kawan seangkatannya jadi menteri, yakni Jokowi.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Windu Jusuf