Menuju konten utama

Komunitas Indo di Festival Europalia

Musisi, seniman, pembuat film, dan penyair tradisional dari Indonesia tampil di beberapa kota Eropa untuk meramaikan festival seni-budaya dua tahunan Europalia.

Komunitas Indo di Festival Europalia
Publikasi festival seni Europalia di sekitar gedung Museum La Boverie, kota Liège, Belgia, yang menghadirkan beberapa karya dan pertunjukkan seniman Indonesia sejumlah negara Eropa. tirto.id/Windu Jusuf

tirto.id - “Ada 90 ribu orang di kota ini dan beberapa dari mereka punya hubungan dengan Indonesia,” Johan Bunt menjelaskan awal mula keterlibatannya di Europalia. Bunt adalah satu dari sekian warga lokal Deventer, Belanda, yang terlibat dalam pentas kesenian Indonesia yang digelar antara November-Januari 2017 dalam program besar bertajuk Europalia.

Europalia adalah festival kebudayaan dua tahunan yang diselenggarakan sejak 1969, dengan puluhan venue yang tersebar di beberapa negara Eropa. Dari Asia, tercatat Jepang, China, India, Turki, dan Indonesia pernah bermain di sana. Setelah Turki pada 2015, kini undangan jatuh ke Indonesia.

Kehadiran Indonesia di Europalia berlangsung hingga 21 Januari 2018, sebagai tindak lanjut dari penandatanganan MoU Kemendikbud dan Europalia pada Juli 2015 lalu. Acara ini dibuka secara resmi di gedung kesenian Bozar, Brussels, Belgia pada 10 Oktober. Puluhan seniman asal Indonesia dikirim ke Eropa atas dukungan penuh Direktorat Warisan Diplomasi Budaya dari Kenterian Pendidikan dan Kebudayaan.

“Misi Europalia ini memperkuat relasi people to people,” ujar Dede Setiadi, tim komunikasi Europalia di Belanda dan Belgia. “Kalau nanti ada lembaga atau venue lokal cari seniman asal Indonesia, dengan Europalia Indonesia mereka dapat gambaran tentang perkembangan kesenian Indonesia. Jadi, pandangan mereka lebih luas, lebih holistik. Sebaliknya, seniman Indonesia mendapat gambaran tentang industri budaya Eropa, kebiasaan dan standar mereka. Dan semua itu terbentuk dalam hubungan tatap muka, relasi yang konkret, ada interaksi.”

Tirto mengunjungi beberapa kota di Belanda dan Belgia,yang menjadi pusat acara-acara yang digelar Europalia.

Di Museum La Boverie, Liège, Belgia, diselenggarakan pameran bertajuk "Les Royaumes de la mer" (Kerajaan-Kerajaan Bahari) yang menampilkan temuan-temuan arkeologis terkait masa lalu maritim Indonesia. Sebagian besar koleksi dipinjam dari Museum Nasional (Indonesia), selebihnya dari Museum Wereldculturen (Belanda) dan Musée Royal Mariemont (Belgia).

Salah satu item pameran yang paling mencolok adalah kapal Padewakang yang bahan-bahan bakunya dibikin di desa Tanah Beru, Sulawesi Selatan, dan sampai di Liège pada Agustus 2017. Perakitan Padewakang menghabiskan waktu tiga bulan oleh para pembuat kapal yang juga dikirim langsung dari Indonesia.

Di Brussels, ibukota Belgia, diadakan pameran seni rupa di Bozar, sebuah sentra seni rupa yang menanggap kelompok-kelompok musik seperti Nam Jombang (Sumatera Barat) dan Voices of Papua (Papua) sepanjang akhir pekan perdana Desember. Di Bozar juga diselenggarakan pameran seni rupa Indonesia bertajuk “Power and Other Things”.

“Ini kebetulan yang menyenangkan. Karya saya tentang sejarah dari daerah rekaan yang dikenal sebagai “Tanah Runcuk”. Saya berangkat dari Max Havelaar karya Multatuli. Dan kebetulan, Multatuli menulis novel itu di Brussels,” ujar seniman Timoteus Anggawan Putra via telepon.

Ragam Panggung

Di luar pameran, sebagian acara pertunjukkan musik yang dihadiri Tirto di Belanda diselenggarakan di klub kecil. Pada 8 Desember, dua kelompok dari Sumatera Barat, Sinar Barapi dan Kilek Barapi, mementaskan Salawat Dulang di De X, sebuah gedung pertunjukan mini di kota Leiden yang biasa digunakan untuk seni lintas disiplin, mulai dari musik tradisional dunia, jazz dan rock, serta pembacaan puisi.

Salawat Dulang adalah kesenian tradisional bertema religius dari Sumatera Barat yang biasa dimainkan dengan kombinasi syair dan tabuhan nampan kuningan dalam acara yang diadakan di hari-hari besar Islam di masjid atau mushola.

“Tapi Salawat Dulang ini bisa dimainkan di mana saja, asalkan itu ruang publik. Soalnya layak atau nggak, ujar John Cakra dari Sinar Barapi sebelum pertunjukan berlangsung.

Di Den Haag, Belanda, Nieuw Kerk diset sebagai panggung untuk Jogja Hiphop Foundation dan Mataniari, kelompok musik tradisional dari Toba. Nieuw Kerk, salah satu gedung tertua di Den Haag, dibangun antara 1649-1656 karena gereja lama Grote Kerk dirasa tak cukup menampung jamaat. Gereja ini memiliki aula konser yang telah mementaskan berbagai macam pertunjukan. Mulai dari biduan orkestra Jasper Schweppe, DJ Alankara, hingga penyanyi folk India Vasuda Sharma pernah manggung di Nieuwe Kerk.

Penampilan dari seniman Indonesia Mataniari (Mataniari, Jogja Hiphop Foundation, dan Filastine & Nova) di Nieuw Kerk tak lepas dari peran Arnaud Kokosky Deforchaux, Direktur Artistik Tong-Tong Fair, sebuah festival tahunan seni dan budaya Indonesia yang diorganisir oleh orang-orang keturunan Indonesia, khususnya warga Maluku yang berbondong-bondong direpatriasi ke Belanda pada 1952, tujuh tahun sebelum Festival Tong-Tong pertama digelar.

Tong-Tong diinisiasi oleh Tjalie Robinson alias Jan Boon, seorang penulis Indo-Belanda yang lahir di Jatinegara, Jakarta pada 1911 dan meninggal di Nijmegen, Belanda pada 1974. Pada 1955 ia hijrah ke Den Haag. Dalam literatur-literatur tentang diaspora keturunan Indonesia di Belanda namanya tak pernah luput disebut sebagai promotor utama seni-budaya Indo sejak 1950an.

“Tong-Tong diminta bantuan karena sudah sering bekerja sama dengan artis-artis Indonesia. Bahasa Indonesia saya juga cuku fasih, makanya dimintai tolong.” ujar Arnaud, pria berdarah Belanda, Rusia, dan Manado, yang membantu pengorganisiran Europalia di Den Haag.

“Pegiat Tong-Tong kini sudah masuk generasi ketiga. Ada tiga cucu Tjalie Robinson yang kerja di Tong-Tong.”

Lumrah jika komunitas-komunitas diaspora—dari Rusia hingga orang-orang Maghribi—di Belanda merayakan seni dan budaya dari negara asal. Namun ada perbedaan mencolok untuk acara-acara kebudayaan yang diselenggarakan orang-orang keturunan Indonesia.

“Jelas beda. Belanda dan Indonesia punya ikatan historis yang lebih dalam,” kata Arnaud seraya menunjukkan kepopuleran kultur dan produk dapur Indonesia yang dibawa oleh orang-orang Belanda dan Indonesia yang direpatriasi ke negeri kincir angin itu pada awal 1950an. Bersama dengan kehadiran komunitas-komunitas etnis dari seluruh dunia, orang-orang keturunan Indonesia ini tergolong dalam apa yang Arnaud sebut “Orang Belanda Baru.”

Infografik Europalia

Lebih Guyub di Deventer

Dari pengamatan Tirto di sejumlah kota, sambutan paling meriah datang dari kota Deventer, Deventer, Belanda.

Rabu malam itu (6/12) kompleks Burgerweehuis jadi saksi permainan Svara Samsara. Akustik bar kecil dalam kompleks Burgerweehuis yang kapasitasnya tak sampai seratus penonton itu rupanya cocok dengan karakter musik perkusi Svara Samsara. Puluhan orang berkerumun di depan panggung, rata-rata warga setempat.

Penampilan prima Svara Samsara diikuti keesokan harinya oleh Jogja Hiphop Foundation di bangunan seberang bar, di mana band-band cadas kelas dunia seperti Soundgarden dan Turbonegro pernah bermain di awal-awal karir.

“Europalia tur terbaik kami. Kami tampil di lima kota sebanyak tujuh kali. Dua di Deventer dalam satu hari,” ujar Pele, personel kelompok perkusi asal Depok yang berdiri sejak Januari 2015. Kendati demikian Pele menyayangkan kesalahpahaman dengan panitia lokal Europalia terkait pengiriman kargo berisi alat-alat musik yang semestinya sudah pulang ke Indonesia. “Belum sampai. Katanya malah dikirim setelah tahun baru.”

Rabu itu Svara Samsara manggung di dua tempat berbeda, siang di gedung pertunjukkan Deventer Schouwburg dan malamnya di Burgerweehuis. “Penontonnya usia 30-40. Mereka kelihatan antusias. Merchandise kami pun cukup laku. Kami jual 30 CD malam itu.”

Keesokan harinya Svara Samsara mengadakan lokakarya di Etty Hillesum Lyceum, sebuah sekolah setaraf SMA terkemuka di Deventer, bersama sekitar 12 murid yang menggeluti studi musik.

Berbeda dari Svara Samsara yang instrumental, musik Jogja Hiphop Foundation berlirik bahasa Jawa. Namun penampilannya pada Kamis (7/12) cukup disambut meriah. Wajah-wajah Melayu nampak berkerumun di hadapan panggung.

“Sebenarnya saya lebih suka hiphop ala Amerika yang sound-nya mentah, tapi cara mereka [Jogja Hiphop Foundation] memanfaatkan gaya dan bahasa sendiri juga sangat hiphop. Saya tahu mereka sedikit dari Youtube,” terang Herald ten Kate, seorang pemuda setempat Deventer ketika diminta pendapatnya seusai tirai Jogja Hiphop Foundation ditutup.

“Untungnya ada subtitles di video mereka. Jadi saya bisa sedikit paham. Bagi saya tak mudah untuk tahu konteksnya. Indonesia sangat sedikit muncul di media-media lokal.”

Namun, awal musim dingin dan kedatangan salju yang lebih cepat di Den Haag dan Deventer disebut-sebut oleh seniman dan panitia sebagai penyebab berkurangnya penonton.

Deventer, kota kecil dan salah satu yang tertua di Eropa, terletak di sebelah timur Belanda dan dipenuhi bangunan-bangunan tua yang sebagian berasal dari abad pertengahan.

Pada 2006 penduduk kota seluas 134.4 km² ini berjumlah 96.458 jiwa, terdiri dari 78,9% warga lokal, 12,4% pendatang dan 8,6% komunitas etnis Eropa non-Belanda. Dari 12,4 persen, warga Turki adalah pendatang dengan persentase terbesar (6,7%). Lebih dari separuhnya (60%) telah memegang kewarganegaraan ganda. Bisnis retail jadi primadona utama di tengah kota yang disesaki butik. Lainnya adalah firma-firma desain dan arsitektur dan bangunan, salah satunya Witteveen+Boss, perusahaan konsultan yang turut merancang proyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta.

Kendati tak sebanyak imigran Turki, kehadiran warga keturunan Indonesia yang telah tinggal puluhan tahun di Deventer cukup terasa selama Europalia digelar.

Dian Paramita, sosiolog dan mantan dosen Universitas Gadjah Mada (1989-1998) yang kini tinggal di Deventer menjelaskan bahwa orang-orang keturunan Indonesia di Deventer datang dalam tiga gelombang: sebelum tahun 1970, 1970-1990, 1990 ke atas.

“Kita mengenal orang yang dulu lahir dan pernah tumbuh di Indonesia kemudian terpaksa/dipaksa untuk ke Belanda. Kemudian ada kelompok Maluku yang orangtuanya pernah bekerja sebagai tentara KNIL, mereka ke Belanda karena situasi politik di Indonesia. Mereka semula berharap bisa kembali ke Indonesia,” ujar Dian. Namun ia juga menjelaskan bahwa di kalangan warga Maluku di Belanda, harapan itu semakin menipis, bahkan hilang.

“Di antara mereka, ada 3 orang yang ikut mengorganisasi Europalia di Deventer.”

Salah satunya Frans Latupeirissa. “Saya datang sebagai perwakilan Maranatha. Ada 3-4 orang Maluku yang membantu acara ini, mulau dari mengurus panggung, publikasi, menghimpun penonton, sampai masak,” ujar Frans yang mengaku senang bertemu “saudara-saudara dari Indonesia”.

“Usia mereka rata-rata 60 tahunan. Orang muda keturunan Maluku yang membantu. Turki juga.” Frans adalah pegiat Maranatha, sebuah gereja Maluku di Deventer yang dibangun pada 1992. “Tolong kirimkan saya tulisannya jika sudah terbit di Tirto. Saya mau kasih link-nya ke saudara-saudara saya di Maluku dan Pasar Minggu,” kata Frans lewat telepon.

Dalam sebuah laporan riset bertajuk “Spatial Characteristics of Social Exclusion of The Turkish Community in Deventer, The Netherlands” (2010), Özlem Güzey dkk. memaparkan bahwa imigran Turki merupakan kelompok etnis yang paling terkonsentrasi dan tersegregasi di Deventer akibat persoalan ekonomi dan akses perumahan.

“Generasi Turki kedua dan ketiga yang memiliki tingkat pendidikan dan pendapatan tinggi akan tinggal di area perumahan beli dan hidup di lingkungan yang sama dengan warga Belanda lainnya,” demikian Dian merespons dinamika internal komunitas Turki di Deventer beberapa tahun terakhir.

Ia membenarkan bahwa sekat-sekat hunian jadi faktor utama integrasi pendatang alih-alih faktor kultural bawaan seperti agama, yang sering dibicarakan dalam diskusi-diskusi seputar imigrasi di Eropa Barat. Khususnya sejak peristiwa serangan teroris 11 September 2001.

“Ketika ada ribut-ribut soal Islam di Belanda, penduduk setempat langsung menoleh ke imigran Turki. Padahal Islam hadir di kepala orang Belanda lewat Indonesia, lewat kolonialisme,” terang Johan Bunt seraya menjelaskan bahwa sejarah tentang kolonialisme di Indonesia baru-baru ini saja dibicarakan secara luas di Belanda, setelah bertahun-tahun terabaikan.

“Lima tahun terakhir perbincangan tentang kolonialisme baru mengemuka di Belanda, bersamaan dengan kemunculan isu-isu seperti imigrasi. Selama lima tahun belakangan juga dialog dan polemik terjadi di kota ini."

Baca juga artikel terkait BELANDA atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Windu Jusuf
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Maulida Sri Handayani