Menuju konten utama

Komunisme Bangkit Cuma Komoditas Politik, Militer Jangan Reaktif

Isu kebangkitan PKI sudah muncul sejak Pemilu 2014 dan kini berulang kembali.

Komunisme Bangkit Cuma Komoditas Politik, Militer Jangan Reaktif
Seorang warga nonton bareng pemutaran film pengkhianatan G30S/PKI di Kelurahan Kejambon, Tegal, Jawa Tengah, Jumat (22/9/2017). ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah

tirto.id - Hanya karena alasan kreatifitas politikus Partai Gerindra Fadli Zon mengunggah sebuah video di akun Twitter miliknya pada Jumat 21 September 2018 pukul 15.09 WIB. Isi video itu adalah tiga orang laki-laki dan enam perempuan menari menggunakan topeng penguin sembari menyanyikan lagu berjudul "Potong Bebek Angsa PKI" dengan nada lagu "Potong Bebek Angsa" yang diubah liriknya. Kreatifitas yang dimaksud Fadli seperti mengajak orang percaya bahwa PKI masih ada. Namun seberapa serius sebenarnya isu tentang PKI ini?

Direktur Imparsia Al Araf menilai kalangan militer Indonesia dan masyarakat tidak perlu reaktif terhadap berbagai isu tentang kebangkitan komunisme. Sebab isu komunisme bukanlah ancaman serius, melainkan hanya isu yang diciptakan untuk kepentingan politik.

"Isu komunisme yang berkembang saat ini sejatinya hanyalah isu yang sifatnya politis. Politisasi terhadap isu komunisme hanya menjadi komoditas politik untuk bertarung memenangkan kekuasaan jelang Pemilu 2019 nanti," kata Al Araf kepada wartawan di Kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (4/9/2-18) seperti diberitakan Antara.

Al Araf mengatakan isu bangkitnya komunisme bukan baru terjadi jelang Pilpres 2019. Isu serupa juga mewabah di pemilu 2014. Dampak dari isu ini menurut Al Araf adalah lambatnya penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Sehingga menjadi penting bagi TNI untuk bersikap profesional di dalam mengidentifikasi isu yang dianggap sebagai ancaman.

Isu komunisme tak perlu jadi kekhawatiran militer dan masyarakat karena menurut Al Araf sejak berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet, komunisme bukan lagi menjadi ideologi yang menakutkan dan mengancam negara-negara di dunia. Sebagian besar negara-negara-satelit Uni Soviet menurut Al Araf sudah mengubah ideologi dan sistem politiknya dari komunisme menuju demokrasi. Apalagi, di Indonesia tidak ada partai politik yang mengusung ideologi komunisme dalam Pemilu 2019.

"Bahkan, sampai saat ini larangan komunisme yang berpijak pada ketetapan MPR masih berlaku. Jadi bagaimana mungkin komunisme dapat dianggap sebagai ancaman nyata saat ini jika organisasinya saja tidak jelas dan dilarang," kata Al Araf.

Hak Masyarakat

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid juga sempat mengingatkan soal politisasi dalam isu komunisme. Ia salah satunya menyoroti soal ajakan nonton bareng film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI baik oleh elite politik maupun TNI.

"Pilihan untuk menonton bareng atau tidak film tersebut adalah hak setiap warga. TNI seharusnya tidak dipaksa mengambil tindakan yang rawan disalahgunakan oleh kelompok elit politik tertentu," kata Usman 28 September 2018 lalu.

Usman menyesalkan tuduhan terhadap Panglima TNI dan KSAD yang dikesankan sebagai sosok penakut hanya karena tidak memerintahkan anggotanya nonton bareng film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI. Menurutnya tuduhan semacam itu merupakan upaya mempolitisasi TNI. Usman mengingatkan pada masa Panglima TNI Gatot Nurmantyo ada kelompok masyarakat yang terpengaruh oleh isu bangkitnya PKI dan terlibat aksi penyerangan dan perusakan kantor Yayasan LBH Indonesia.

"Ini adalah intimidasi terhadap pembela HAM," kata Usman.

Pada era Presiden BJ Habibie, Mendikbud Juwono Sudarsono membentuk tim khusus untuk meninjau ulang seluruh buku sejarah dalam versi G30S/PKI. Keputusan tidak mewajibkan memutar film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI dilakukan oleh Menteri Penerangan Letnan Jenderal (Purn) Yunus Yosfiah. "Ini adalah bukti bahwa sejarah peristiwa 30 September 1965 ditinjau ulang dan direvisi oleh pemerintah," kata Usman.

Jadi, kata Usman, adalah hak setiap orang apakah mau menonton film karya sutradara Arifin C. Noer itu atau merujuk film dan literatur lainnya. Usman pun merujuk survei nasional SMRC 2017 dan 2018 yang menemukan bahwa mayoritas warga, 86 persen, tidak setuju bahwa PKI sedang bangkit. Yang setuju hanya 12 persen.

"Jadi, sebenarnya isu anti-PKI ini kecil, tapi dibesar-besarkan untuk membela kepentingan elit-elit yang membesar-besarkannya, menyudutkan korban dan penyinta 1965, bahkan membungkam aksi aktivis, dosen, dan petani yang tengah memperjuangkan hak-hak dasar mereka," kata Usman.

Infografik CI Jokowi Takut isu PKI

Respons Jokowi Soal Isu PKI

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat merespons soal isu kebangkitan PKI yang beberapa di antaranya menyudutkan dia. "Perlu saya tanggapi isu yang belakangan banyak mengatakan saya PKI. Kalau isu seperti itu dibiarkan dan tidak saya jelaskan maka akan kemana-mana," kata Jokowi pada 21 Mei 2018 lalu saat meresmikan Kereta Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, Senin.

Presiden mengatakan kalau dirinya lahir tahun 1961 dan PKI meletus tahun 1965. "Mana mungkin balita ikut PKI," katanya. Tapi, kata Presiden, isu tidak berhenti di situ saja dan giliran orang tuanya yang dituduh PKI. Di Solo, katanya, banyak ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah yang bisa dicek kebenaran isu itu.

"Silakan cek dan tanyakan kebenaran isu itu ke sejumlah ormas Islam yang banyak di Solo," kata Presiden.

Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya Senin 20 November 2017 Jokowi sempat bereaksi keras soal politisasi isu kebangkitan PKI. Jokowi mengingatkan isu bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai manuver politik yang tidak beretika. Sebab menurutnya hukum di Indonesia tidak memberi tempat bagi PKI.

"Coba lihat masih banyak yang teriak-teriak antek asing, antek aseng, mengenai PKI bangkit. Kalau saya, PKI bangkit gebug saja sudah, gampang. payung hukumnya jelas, TAP MPRS masih ada, ngapain banyak-banyak masalah ini. Juga mengenai anti Islam, anti ulama, Cara politik yang beretika harus mulai kita sampaikan," kata Jokowi dihadapan para senior PPAD (Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat), FKPPI (Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri dan Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB), saat membuka Simposium Nasional Kebudayaan Tahun 2017 di Jakarta.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019

tirto.id - Politik
Sumber: antara
Penulis: Muhammad Akbar Wijaya
Editor: Muhammad Akbar Wijaya