Menuju konten utama

Komunis Cina Bikin Perut Rakyat Kenyang agar Tetap Tenang

Cina bisa saja memacu ekonomi karena berambisi menyaingi AS. Tapi ada pembacaan lain: meninabobokan rakyat untuk tidak berbuat onar.

Komunis Cina Bikin Perut Rakyat Kenyang agar Tetap Tenang
Ilustrasi perekonomian cina. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pada akhir 1970-an, demi memperbaiki ekonomi yang porak-poranda akibat kekuasaan absolut Mao Zedong, Pemerintah Cina di bawah kendali Deng Xiaoping melakukan reformasi besar-besaran. Demi meningkatkan penghasilan kaum tani--yang menopang lebih dari 80 persen rumah tangga perdesaan--Beijing memberikan subsidi pertanian dan memberikan kolektif petani hak atas tanah (semenjak Mao berkuasa pada 1946, tanah tak boleh dimiliki secara privat). Dua kebijakan ini berhasil mencapai tujuan.

Ingin bergerak lebih jauh, Beijing memperkenalkan konsep bisnis bernama Town and Village Entreprises (TVE). TVE mengharuskan pemerintah daerah membangun usaha sesuai dengan kekuatan masing-masing, alih-alih menunggu pusat membuka lapangan kerja. Lewat program ini muncullah pabrik-pabrik skala rumahan. Orang-orang yang semula bekerja sebagai petani, juga para pengangguran, bertransformasi menjadi buruh yang memproduksi pelbagai produk, mulai dari tekstil, furnitur, hingga mesin-mesin sederhana.

Cina perlahan memberikan keleluasaan kepada TVE. Awalnya hanya dimiliki oleh pemerintah daerah, tapi lantas menjadi perusahaan swasta yang dapat menjalin hubungan bisnis dengan korporasi lain, bahkan dari luar negeri.

Semenjak TVE muncul, sebagaimana dituturkan George Magnus dalam Red Flags: Why Xi's China is in Jeopardy (2018), ekonomi Cina menggeliat--dibuktikan oleh Produk Domestik Bruto (PDB) yang melonjak lebih dari 26 persen. Setidaknya 135 juta lapangan pekerjaan baru pun lahir.

Beijing pun membuka negerinya untuk dijadikan tempat manufaktur pelbagai perusahaan internasional dengan cara menjatuhkan nilai renminbi terhadap dolar. Itu membuat Cina menjadi pemain terpenting dalam tata perdagangan internasional. Negara yang menjadi tempat lahirnya segala produk berlabel "Made in China"--dari botol minuman hingga iPhone--menyumbang lebih dari 12 persen total perdagangan global, mengantongi 30 persen total cadangan devisa (foreign exchange reserves) dunia.

Melalui pelbagai strategi yang diterapkan Beijing itu, ekonomi Cina melesat hingga meraih PDB senilai 11 triliun dolar AS pada 2005 padahal sepuluh tahun sebelumnya hanya menghasilkan PDB 731 miliar dolar AS. Ekonomi Cina menjadi yang terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.

Tapi Cina tak puas hanya menjadi nomor dua. Pada 2013, Presiden Xi Jinping hendak mengembalikan kejayaan jalur perdagangan dengan dunia internasional yang bermula pada 130 SM bernama Jalur Sutra dengan menginisiasi "Jalur Sutra Baru" atau "Belt and Road Initiative". Proyek berbiaya lebih dari satu triliun dolar AS ini menghubungkan Cina dengan 65 persen populasi dunia.

Melalui inisiatif ini, Cina, misalnya, memberikan uang--dalam bentuk utang--senilai 3,2 miliar dolar AS untuk membantu Kazakhstan membangun jalur kereta api di dalam negeri. Lewat jalur ini lebih dari 500 ribu ton barang "made in China" tiba di Eropa.

Inisiatif Jalur Sutra Baru pun masuk ke ranah digital, online. Cina mengucurkan uang senilai 38,9 miliar dolar AS untuk membantu 125 negara membangun infrastruktur digital. India dan Indonesia, misalnya, memperoleh pinjaman sebesar 5,9 miliar dolar AS dan 795,6 juta dolar AS.

Tentu bisa saja disimpulkan upaya Cina meroketkan ekonomi melalui inisiatif Jalur Sutra Baru atau pelbagai kebijakan lain memang bertujuan untuk mengalahkan AS sebagai negara ekonomi terbesar di dunia. Tapi ada alternatif "pembacaan" lain. Mengelaborasi apa yang disampaikan Lucian Pye, ahli politik dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) dalam buku berjudul Spirit of Chinese Politics (1968) serta Asian Power and Politics: The Cultural Dimensions of Authority (1985), Cina melakukan segala upaya meningkatkan ekonomi karena mereka sesungguhnya sangat rentan terhadap perpecahan.

Mengapa? "Cina," sebut Pye, "sejatinya adalah peradaban, bukan bangsa-negara."

Rasa Takut

Konsep "Cina" pertama kali mengemuka kira-kira 4.000 tahun lalu. "Cina" merupakan kata yang diberikan pada orang-orang yang tinggal di North China Plain (Daratan Cina Utara), daratan seluas lebih dari 400 ribu kilometer persegi yang langsung bersinggungan dengan Inner Mongolia (Mongolia Dalam), bersebelahan dengan Manchuria, dan diselingi oleh dua aliran sungai raksasa, Yellow River (Sungai Kuning) dan Yangtze River (Sungai Yangtze)--mengalir dari timur ke barat.

Keberadaan sungai ini sesungguhnya membuat North China Plain tak layak ditinggali karena sering banjir. Namun, bagaikan Sungai Nil bagi orang-orang Mesir, Sungai Kuning dan Sungai Yangtze memberi kehidupan: Membuat tanah sangat subur, dapat dimanfaatkan untuk bercocok tanam terutama padi dan kacang-kacangan dua kali per musim. Akibatnya, semenjak 1500 SM, di wilayah ini pertumbuhan penduduk meningkat pesat.

Hal ini pada akhirnya menggiring terbentuknya Dinasti Shang. Lambat laun Dinasti Shang bertransformasi menjadi Cina seperti yang dikenal saat ini.

Han mendominasi 90 persen populasi Dinasti Shang. Meskipun dianggap satu kesatuan, Han, sebagaimana diungkapkan Tim Marshall dalam buku Prisoners of Geography: Ten Maps That Tell You Everything You Need to Know About Global Politics (2015), sesungguhnya terdiri dari etnik berbeda. Pembedanya berdasarkan bahasa yang digunakan seperti Mandarin dan Kanton.

Han menjadi satu kesatuan hanya karena satu alasan: Melindungi tempat tinggal, Cina Daratan, dari musuh terutama Mongol yang sempat menguasai keseluruhan regional North China Plain melalui tangan Kublai Khan (Dinasti Mongol/Yuan) pada 1279. Mereka juga menganggap Jepang serta Eropa sebagai musuh. Dengan kata lain mereka dipersatukan oleh ketakutan terhadap musuh.

Untuk melindungi rumah dari musuh, seperti strategi yang dipraktikkan Rusia, Cina menganeksasi Tibet pada 1951 untuk dijadikan zona pelindung alamiah (natural barrier). Sebelum Tibet berhasil dianeksasi, Cina juga mengambil alih kekuasaan Xinjiang dan sempat--meskipun akhirnya menyerah--menguasai sebagian kecil kawasan Burma (Myanmar) serta Indochina (atau French Indochina alias Vietnam, Laos, Kamboja). 23 abad sebelumnya, mereka juga mendirikan Tembok Raksasa (The Great Wall/Long Wall) sebagai pelindung rekaan.

Perasaan sebagai satu kesatuan perlahan luntur dalam diri orang-orang Han (dan etnik lain) khususnya tatkala The Grand Canal--yang mempersatukan Sungai Yangtze dan Sungai Kuning--dibangun guna memodernisasi aliran sungai untuk keperluan ekonomi serta kian menjamurnya paham Konfusius (Kong Hu Cu). Terlebih, gara-gara menganeksasi Tibet dan Xinjiang, digawangi oleh orang Uighur dan orang Tibet, gejolak "tak merasa orang Cina" (dalam arti negara) kian membesar.

Pada 1946-1949, rasa kesatuan benar-benar hancur karena perseteruan kaum nasional di bawah kepemimpinan Chiang Kai-shek dan komunis di bawah komando Mao Zedong. Demonstrasi pun bermunculan karena masyarakat kecewa terhadap kondisi ekonomi dan represi. Peristiwa Tiananmen Square menjadi puncaknya.

Cina akhirnya berhasil menenangkan masyarakat melalui ekonomi, yang dimulai oleh kebijakan Deng Xiaoping menginisiasi "sosialisme dengan karakteristik Cina" atau bisa diterjemahkan ke dalam bahasa sederhana sebagai "ekonomi kapitalis yang dikendalikan seutuhnya oleh Partai Komunis".

Di bawah Deng Xiaoping (hingga Xi Jinping), Cina berupaya membuat perut masyarakat kenyang agar mereka tetap bersatu dan terutama patuh. Kembali merujuk apa yang dipaparkan Marshall, alam bawah sadar para petinggi Partai Komunis seakan membuat kesepakatan dengan rakyat yang kira-kira berbunyi: "Kami akan membuat kalian (rakyat) kenyang, [sebagai imbalan] kalian harus menuruti perintah kami."

Tapi tanah Cina kian tak layak didiami. Sungai Yangtze dan Sungai Kuning mengalami kerusakan ekologis yang sangat parah, polusi besar-besaran menggelora di seantero negeri. Didukung oleh kian mahalnya upah buruh hingga membuat perusahaan seperti Apple berpikir untuk memindahkan pabrik perakitan dari Cina, kejayaan ekonomi Cina terancam (dapat dibaca: stabilitas politik terancam).

Maka, tak ingin perut kosong menggiring demonstrasi, Jalur Sutra Baru--offline dan online--diinisiasi, menjadikan pelbagai negara di dunia pijakan untuk meninabobokan masyarakat Cina melalui ekonomi.

Baca juga artikel terkait CINA atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Rio Apinino