Menuju konten utama

Kompromi Pernikahan ala Generasi Milenial

Bagi sebagian besar pasangan muda masa kini yang akan menikah, konsep pernikahan merupakan salah satu hal yang krusial. Generasi Baby Boomer mungkin tidak terlalu dipusingkan dengan hal tersebut, sebab menikah secara tradisional hampir selalu menjadi pilihan. Namun, untuk generasi milenial, hal itu bisa menjadi soal.

Kompromi Pernikahan ala Generasi Milenial
Sepasang mempelai diusung saat melangsungkan prosesi pernikahan adat Kulawi di Olobodju, Sigi, Sulawesi Tengah, Jumat (5/8). Antara foto/Fiqman Sunandar.

tirto.id - Dilema. Kiranya itulah kata paling tepat yang dapat menggambarkan apa yang dirasakan oleh Margareta Sekarkusumo. Wanita berusia 28 tahun itu saat ini memang sedang merencanakan pernikahannya yang akan dilangsungkan pada tahun depan.

Margareta bekerja sebagai seorang staf senior di divisi SDM sebuah perusahaan teknologi di Jakarta. Ia merupakan bagian dari masyarakat kelas menengah dari generasi milenial yang menganggap pernikahan menjadi bagian dari rencana masa depannya.

Dengan penghasilan yang cukup, meski juga tidak terlalu tinggi, ia memang berharap pernikahannya besok berjalan dengan konsep yang sederhana, tidak terlalu muluk-muluk. Ia hanya ingin mengundang beberapa teman dekatnya beserta kerabat keluarga yang dekat pula untuk hadir dalam pernikahannya, sebuah konsep pernikahan modern yang saat ini sangat lazim ditemui di beberapa kota besar.

Calon suaminya pun tidak berkeberatan. Sayangnya, rencana tersebut hanya menjadi angan. “Pihak dari keluarga calon menginginkan pernikahan dengan konsep tradisional Jawa, jadi ya bagaimana lagi,” kata Margareta kepada tirto.id.

Pun demikian dengan Benoe Angger Putranto, 28. Lelaki yang saat ini bekerja pada sebuah surat kabar nasional tersebut juga menginginkan konsep pernikahan sederhana yang hanya dihadiri kerabat dan teman dekat. Ia ingin pernikahannya menjadi suatu upacara yang intim, tanpa tata cara adat yang megah.

Sayangnya rencana itu juga kemungkinan besar tidak terwujud. Namun, alasannya bukan karena tidak adanya izin dari keluarga. Angger justru tidak bisa mewujudkannya karena tidak ada tempat yang cocok sesuai dengan tanggal pernikahan yang direncanakan pada September ini.

“Tiba-tiba vendornya membatalkan karena gedungnya sedang direnovasi. Dari sana kami rombak semua rencana. Karena vendor catering, gedung, hiburan, dan dekorasi jadi satu,” kata Angger yang saat ini sedang bertugas di Lampung.

Baik Angger maupun Margareta sepakat, pernikahan dengan konsep internasional menurut mereka jauh lebih masuk akal. Tidak hanya mengenai budget yang mereka miliki, tetapi juga pada tata cara pernikahan yang jauh lebih sederhana dan tidak ribet.

“Bisa selisih hingga sekitar 40 juta,” jelas Angger ketika tirto.id bertanya seberapa besar perbedaan budget yang mungkin dihemat.

Tradisional atau Internasional?

Margareta dan Angger mungkin bisa menjadi gambaran dari apa yang menjadi preferensi generasi milenial saat ini ketika memandang pernikahan seperti apa yang mereka inginkan.

Bagi sebagian besar dari generasi tersebut, pengelolaan budget pernikahan sedapat mungkin harus rasional, tetapi juga tidak meninggalkan pernikahan impian yang mereka dambakan. Mereka lebih baik menggunakan dana yang berlebih sebagai fondasi ekonomi rumah tangga mereka ke depan.

Seperti yang dikemukakan dalam studi tentang pernikahan di kalangan generasi milenial oleh Pew Research Center, fondasi ekonomi yang solid merupakan syarat utama ketika generasi tersebut ingin masuk ke jenjang pernikahan.

Pernikahan tradisional di Indonesia yang mengedepankan tata cara sesuai adat istiadat – sehingga akan melalui berbagai macam proses – jelas bertentangan dengan preferensi mereka.

Sebagai gambaran, untuk upacara pernikahan menggunakan adat Jawa, prosesi pernikahan akan melalui sekitar enam tahapan sebelum mencapai acara puncak dari pernikahan itu sendiri. Prosesi dimulai dari serahan dan lamaran, kemudian pemasangan blektepe, siraman, paes atau ngerik, dodol dawet, hingga upacara midodareni.

Itu baru dari adat Jawa. Prosesi yang lebih panjang akan ditemui pada prosesi upacara pernikahan dengan adat Batak di mana terdapat kurang lebih terdapat sembilan tahapan. Mulai dari Mangalehon Tanda – suatu prosesi di mana kedua calon mempelai saling bertukar tanda. Sang laki-laki biasanya memberikan uang, sang gadis sebaliknya memberikan kain sarung – hingga Maningkir Tangga, prosesi setelah pernikahan selesai dilangsungkan di mana kedua belah pihak keluarga saling berkunjung.

Daftar pernikahan tradisional itu masih bisa terus berlanjut, mengingat Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan budaya.

Tentunya segala macam prosesi tersebut akan memakan biaya, setidak-tidaknya untuk biaya konsumsi. Jelas bisa dibayangkan berapa besar budget yang harus dianggarkan dalam pernikahan tersebut.

Hal tersebut masih ditambah dengan adanya mahar yang mahal serta pandangan bahwa acara pernikahan merupakan representasi dari status sosial keluarga, sehingga jumlah undangan bisa membludak – yang mana dalam hal ini keluarga biasanya juga turut campur tangan, terutama dalam masalah pembiayaan.

Dalam laporan berjudul Tren Pernikahan di Indonesia 2016 yang dilakukan oleh Bridestory, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang one-stop direktori pernikahan online, terungkap bahwa saat ini tren tersebut mulai bergeser.

Survei dalam laporan tersebut mengatakan, calon mempelai pria dan wanita saat ini merupakan penentu utama dari rencana pernikahan mereka dengan persentase sebesar 70,6 persen dari responden. Selain itu, sebanyak 52,6 persen dari responden juga menyatakan bahwa mereka membiayai pernikahan mereka sendiri.

Hal itu, menurut Bridestory, bisa jadi merupakan satu dari beberapa alasan mengapa pernikahan dengan konsep yang lebih intim dengan tamu undangan lebih sedikit, dan biasanya lebih murah dari pernikahan yang lebih besar, menjadi lebih populer di Indonesia belakangan ini.

Sebagian besar (34,5 persen) responden juga saat ini lebih memilih tema pernikahan modern jika dibandingkan dengan tema pernikahan yang lain.

Tidak semuanya memang bisa menentukan akan seperti apa pernikahan yang mereka idamkan. Kasus yang dialami oleh Margareta mungkin dapat menjadi contoh yang sesuai. Namun demikian, penyesuaian-penyesuaian juga bukan mustahil dilakukan.

Angger mengatakan bahwa ia meniadakan serangkaian acara adat seperti upacara midodareni untuk disesuaikan dengan budget yang ia miliki. Akan tetapi, untuk jumlah undangan ia berkompromi dengan permintaan dari kedua orang tuanya sehingga jumlahnya bertambah.

“Saya tetap menggunakan akses budaya Jawa untuk pakaian dan riasan. Semi modern,” tambahnya.

Dengan demikian, jika generasi milenial saat ini diberi pertanyaan konsep pernikahan apa yang paling diminati oleh para vendor pernikahan, kompromi mungkin adalah istilah yang paling tepat.

Baca juga artikel terkait SOSIAL BUDAYA atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti