Menuju konten utama

Kompolnas Desak Polri Cabut Larangan Media Siarkan Arogansi Polisi

Meski surat telegran bersifat internal tetapi punya dampak eksternal terutama media pers secara umum.

Kompolnas Desak Polri Cabut Larangan Media Siarkan Arogansi Polisi
Pengamanan ketat masih diberlakukan di depan gedung utama Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Kamis (1/4/2021) (ANTARA/Laily Rahmawaty)

tirto.id - Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengkritik penerbitan surat telegram rahasia (STR) tentang pelaksanaan peliputan. Komisioner Kompolnas Poengky Indarti melihat STR tersebut berdampak kepada pihak di luar kepolisian.

"Meski STR bersifat internal, tapi dalam STR ini ternyata berdampak pada eksternal, khususnya jurnalis," kata Poengky, Selasa (6/4/2021).

Poengky memahami maksud penerbitan STR tersebut. Ia sadar kalau ada poin menjaga asas praduga tak bersalah, upaya melindungi korban kasus kekerasan seksual, melindungi anak yang menjadi pelaku kejahatan, serta ada pula untuk melindungi materi penyidikan agar tidak terganggu dengan potensi trial by the press.

Akan tetapi, Poengky juga melihat ada perdebatan dari STR tersebut. Misalnya, kata Poengky, poin 1 tentang larangan meliput tindakan kekerasan dan arogansi polisi yang menimbulkan polemik.

"Batasan kepada jurnalis untuk meliput tindakan kekerasan atau arogansi anggota Polri itu yang saya anggap membatasi kebebasan pers serta akuntabilitas dan transparansi kepada publik," kata Poengky.

Oleh karena itu, Kompolnas meminta agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit merevisi STR tersebut.

"Kami berharap STR ini direvisi, khususnya poin-poin yang kontroversial membatasi kebebasan pers serta yang menutup akuntabilitas dan transparansi Polri kepada publik agar dicabut," kata Poengky.

Berikut isi lengkap Surat Telegram Kapolri Nomor: ST/750/Aiv/HUM.3.4.5/2021 tersebut bertanggal 5 April 2021:

  1. Media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis;
  2. Tidak menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian dan penyidikan terhadap tersangka tindak pidana;
  3. Tidak menayangkan secara terperinci rekonstruksi yang dilakukan oleh kepolisian;
  4. Tidak memberitakan secara terperinci reka ulang kejahatan meskipun bersumber dari pejabat kepolisian yang berwenang dan/atau fakta pengadilan;
  5. Tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan dan/atau kejahatan seksual;
  6. Menyamarkan gambar wajah dan identitas korban kejahatan seksual dan keluarganya, serta orang yang diduga pelaku kejahatan seksual dan keluarganya;
  7. Menyamarkan gambar wajah dan identitas pelaku, korban dan keluarga pelaku kejahatan yang pelaku maupun korbannya yaitu anak di bawah umur;
  8. Tidak menayangkan secara eksplisit dan terperinci adegan dan/atau reka ulang bunuh diri serta menyampaikan identitas pelaku;
  9. Tidak menayangkan adegan tawuran atau perkelahian secara detail dan berulang-ulang;
  10. Dalam upaya penangkapan pelaku kejahatan agar tidak membawa media, tidak boleh disiarkan secara live, dokumentasi dilakukan oleh personel Polri yang berkompeten;
  11. Tidak menampilkan gambaran eksplisit dan terperinci tentang cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak.

Baca juga artikel terkait POLRI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Zakki Amali