Menuju konten utama

Kompensasi Bagi Korban Teror Diminta Tak Tunggu Putusan Pengadilan

Komnas HAM meminta kompensasi dari pemerintah untuk korban terorisme bisa diberikan hanya dengan dasar penetapan pengadilan.

Kompensasi Bagi Korban Teror Diminta Tak Tunggu Putusan Pengadilan
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam (kiri), yang anggota Tim Pemantau kasus penyerangan Novel Baswedan, memberikan keterangan kepada media di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (9/3/2018). tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - Komnas HAM mendesak Revisi Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme (RUU Terorisme) mengatur pemberian kompensasi kepada korban teror bisa diberikan oleh pemerintah sebelum putusan pengadilan muncul.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menyatakan hal itu karena draf RUU Terorisme rilisan 14 Mei 2018 belum memasukkan ketentuan tersebut. Berdasar draf itu, pasal 36 RUU Terorisme masih mengatur bahwa kompensasi bagi korban teror baru bisa diberikan setelah ada putusan pengadilan.

"Kompensasi seharusnya cukup dengan penetapan pengadilan, bukan dengan keputusan pengadilan. Karena sifat dan karakter tindak pidana terorisme itu memungkinkan pelaku bebas atau meninggal dunia," kata Anam di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, pada Rabu(23/5/2018).

Anam juga mendesak agar RUU Terorisme menetapkan standar minimum nilai kompensasi yang diberikan oleh pemerintah kepada para korban aksi teror.

"Perlu segera dirumuskan standar minimum hak korban, khususnya item-item kompensasi yang harus diterima korban," kata Anam.

Komnas HAM Kritik Rencana Pelibatan TNI di Penanganan Terorisme

Komnas HAM juga memberikan catatan kritis terhadap ketentuan RUU Terorisme yang mengatur pelibatan TNI di penanganan kejahatan teror.

Menurut Anam, pelibatan TNI di penanganan terorisme kurang tepat. Sebab pelibatan TNI dalam penegakan hukum harus sesuai tupoksinya seperti diatur UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

"Komnas HAM pada intinya meletakkan RUU ini sebagai RUU penegakan hukum. Yang dapat menjalankan penegakan hukum hanya penegak hukum itu sendiri. Oleh karenanya pengaturan pelibatan TNI dalam RUU Tindak Pidana Terorisme kurang tepat," ujar Anam.

Selain itu, Anam juga menyoroti pasal 43 I yang mengatur pengawasan implementasi RUU Tindak Pidana Terorisme. Dia berpendapat, Komnas HAM sebagai lembaga independen negara seharusnya dilibatkan dalam mekanisme pengawasan implementasi UU Terorisme.

"Oleh karenanya penting untuk menegaskan Komnas HAM masuk dalam mekanisme pengawasan yang bekerja secara independen dan dapat bekerja sama dengan pengawasan DPR," kata Anam.

Anam menambahkan, Komnas HAM mengapresiasi langkah pemerintah mengusulkan penghapusan frasa "motif politik" dalam pasal mengenai definisi terorisme. Menurut Anam, penghapusan frasa itu membuat penanganan kasus terorisme berfokus pada penegakan hukum, bukan kepentingan politik.

"Hilangnya kata motif sangat baik bagi penegakan hukum mempermudah pemenuhan unsur tindak pidana dan mempermudah akuntabilitas," Anam menuturkan.

Baca juga artikel terkait REVISI UU TERORISME atau tulisan lainnya dari Naufal Mamduh

tirto.id - Hukum
Reporter: Naufal Mamduh
Penulis: Naufal Mamduh
Editor: Addi M Idhom