Menuju konten utama

Komnas Perempuan: Penanganan Korban Kekerasan Seksual Tak Maksimal

Komnas Perempuan akui masih banyak kasus kekerasan maupun pelecehan seksual terhadap perempuan yang tak tertangani dengan baik.

Komnas Perempuan: Penanganan Korban Kekerasan Seksual Tak Maksimal
Ilustrasi Kekerasan Seksual. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan kasus NWR merupakan sinyal darurat adanya keterbatasan layanan terhadap perempuan korban kekerasan.

"Kasus NWR yang mengemuka ini sekaligus alarm penting yang tidak boleh kita abaikan bagaimana keterbatasan layanan saat ini sudah memasuki masa genting, sehingga tidak dapat lagi menjangkau korban secepat dan dan setanggap yang dibutuhkan untuk dapat menopang pemulihan," kata Andy, dalam webinar bertajuk "Kekerasan terhadap Perempuan di Masa Pandemi COVID-19 di Indonesia Timur" yang diikuti secara daring, Kamis (9/12/2021) dilansir dari Antara.

NWR, korban kekerasan seksual di Mojokerto, diketahui pernah mengadukan kasusnya kepada Komnas Perempuan pada pertengahan Agustus 2021. Namun belum sempat ditangani oleh P2TP2A Mojokerto karena keterbatasan psikolog dan jumlah kasus yang banyak. NWR kemudian memutuskan mengakhiri hidupnya pada 2 Desember 2021.

Andy mengakui kemampuan penanganan lembaga-lembaga layanan terhadap perempuan korban kekerasan saat ini belum bisa maksimal.

Berbagai hambatan di antaranya perubahan layanan dari luring ke daring, hambatan geografis, maupun kapasitas sumber daya untuk membantu korban yang mengalami kesulitan dalam penanganan karena melonjaknya kasus kekerasan selama masa pandemi COVID-19.

Akibatnya, menurut dia, terdapat sejumlah kasus kekerasan yang dilaporkan, namun tidak tertangani dengan baik.

Andy menyebut meskipun Unit Pengaduan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan sendiri telah menambah relawan, namun upaya pembenahan kapasitas kinerja dengan memperbaiki SDM tidak mengurangi panjangnya antrean penanganan kasus.

"Sehingga hal inilah yang perlu menjadi perhatian serius untuk mengatasi hambatan dalam pelayanan terhadap korban," kata Andy.

Permasalahan yang kompleks ini, kata dia, membutuhkan respons berbagai pihak yang mendukung upaya pemenuhan hak-hak korban, termasuk melalui pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang menjadi kunci penting keberpihakan terhadap korban kekerasan seksual.

Pada kesempatan yang sama, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga mengatakan berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simponi PPA) menurut tahun penginputan, terdapat 8.803 kasus kekerasan terhadap perempuan yang sekitar 74,6 persennya merupakan kekerasan dalam rumah tangga.

Selama masa pandemi COVID-19, tercatat jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat.

Pihaknya mencatat penggunaan internet yang semakin masif selama masa pandemi telah meningkatkan risiko kekerasan berbasis gender online.

Senada dengan Komnas Perempuan, Bintang meminta semua pihak untuk mendukung pengesahan RUU TPKS di DPR RI.

"Saya memohon dukungan semua pihak untuk mendukung, mengawal dan merapatkan barisan perjuangan agar Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat segera disahkan," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL

tirto.id - Sosial budaya
Sumber: Antara
Editor: Bayu Septianto