Menuju konten utama

Komnas HAM Soroti Masih Adanya Hukuman Mati di RKUHP

Komnas HAM meminta pasal-pasal di RKUHP yang berpotensi terjadinya diskriminasi dan pelanggaran HAM untuk diperbaiki.

Komnas HAM Soroti Masih Adanya Hukuman Mati di RKUHP
Pengunjuk rasa melakukan aksi solidaritas untuk pekerja migran Indonesia Tuti Tursilawati di depan Kedutaan Besar Arab Saudi, Jakarta, Jumat (2/11/2018). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/hp.

tirto.id - Komnas HAM merespons perihal penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), terkait pencantuman hukuman mati sebagai bentuk pemidanaan alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah tindak pidana.

Komnas HAM menilai pencantuman hukuman mati sebagai bentuk pemidanaan alternatif bertentangan dengan Pasal 28 (A) UUD 1945, Pasal 9 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999, dan Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik, yakni hak atas hidup adalah hak asasi yang tidak bisa dikurangi dalam kondisi apa pun (non derogable right).

Komnas HAM menilai hukuman mati bukan lagi merupakan hukuman pokok, namun pidana yang bersifat khusus untuk pidana tertentu, dan memasukkan pengaturan masa percobaan 10 tahun untuk mengubah putusan hukuman mati. Atas hal tersebut, Komnas HAM mendesak beberapa hal.

"Satu, tindak pidana khusus, dalam hal ini genosida dan tindak kejahatan kemanusiaan, dalam RKUHP dihapuskan," kata Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihombing, di kantor Komnas HAM, Senin (5/12/2022).

Alasan penolakan itu lantaran dikhawatirkan menjadi penghalang penuntutan atau penyelesaian kejahatan yang efektif karena adanya asas dan ketentuan yang tidak sejalan dengan karakteristik khusus genosida dan kejahatan kemanusiaan.

Komnas HAM juga meminta pasal-pasal yang berpotensi terjadinya diskriminasi dan pelanggaran HAM untuk diperbaiki. Seperti ketentuan dalam pasal 300 tentang hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan; ketentuan dalam Pasal 465, Pasal 466, dan Pasal 467 tentang aborsi agar tidak mendiskriminasi perempuan; serta tindak pidana penghinaan kehormatan atau martabat presiden dan wakil presiden (rancangan Pasal 218, Pasal 219, dan Pasal 220).

Lalu tindak pidana penyiaran atau penyebaran berita atau pemberitahuan palsu, (rancangan Pasal 263 dan Pasal 264); kejahatan terhadap penghinaan kekuasaan publik dan lembaga negara (rancangan Pasal 349-350).

"Pasal-pasal tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran atas hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, berserikat dan berpartisipasi dalam kehidupan budaya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E UUD 1945 dan Pasal 15 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya," jelas Uli.

Ketiga, DPR dan pemerintah diminta untuk tetap mendengarkan dan mempertimbangkan masukan publik terhadap RKUHP untuk memastikan bahwa perubahan dan perbaikan sistem hukum pidana tersebut tetap berada dalam koridor penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.

Baca juga artikel terkait RKUHP atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Bayu Septianto