Menuju konten utama

Komnas HAM Soroti 3 Poin Terkait RUU Penyadapan

DPR dan Pemerintah saat ini tengah menggodok RUU Penyadapan. Komnas HAM pun memberikan sejumlah catatan terkait RUU ini.

Komnas HAM Soroti 3 Poin Terkait RUU Penyadapan
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik (tengah), bersama Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Beka Ulung Hapsara (kiri), Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Amiruddin Al-Rahab memberikan keterangan pers terkait debat pertama capres-cawapres 2019 di Jakarta, Jumat (18/1/2019). ANTARA FOTO/Dede Rizky Permana

tirto.id - DPR dan Pemerintah saat ini tengah menggodok RUU Penyadapan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pun memberikan sejumlah catatan terkait RUU ini.

"Memang penting untuk memperhatikan bagaimana RUU penyadapan ini direncanakan untuk dibuat karena mau tidak mau penyadapan akan sangat bersinggungan dengan HAM. Mulai dari proses awal sampai proses akhir," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam di kantornya pada Selasa (9/7/2019).

Anam mengatakan, RUU ini kelak tidak boleh berlaku diskriminatif. Ia harus berlaku untuk semua penegak hukum. Hal ini mengantisipasi seandainya ada proses yang kompleks di kemudian hari, selain itu prinsip anti-diskriminasi juga merujuk pada konstitusi yang mengatakan setiap orang sejajar di mata hukum.

Selain itu, Anam menyoroti soal prosedur penyadapan yang diatur dalam RUU ini. Dikatakan, dalam RUU ini penyidik harus lebih dulu meminta izin lembaga pemantau internal untuk melakukan penyadapan. Lembaga pemantau internal itu yang kemudian berkoordinasi dengan pengadilan.

"Problemnya adalah penyidik di sini harus meminta izin badan pemantau di masing-masing institusi. Itu harusnya enggak boleh," ujarnya.

Anam menjelaskan, lembaga pemantau bukanlah penegak hukum. Di sisi lain, dalam penyidikan kadang ada informasi yang hanya boleh diketahui oleh penyidik atau penegak hukum lainnya.

Lebih lanjut, Anam pun khawatir jika ternyata penyadapan dilakukan secara sewenang-wenang, korban penyadapan akan kesulitan untuk mengajukan praperadilan.

Alasannya, pihak yang seharusnya dijadikan tergugat dalam praperadilan adalah penegak hukum, sementara penyadapan tersebut dilakukan seizin lembaga pemantau yang bukan penegak hukum.

"Kalau kayak gitu, orang akan kehilangan haknya untuk menguji apakah yang saya lakukan [selaku penyidik] sudah sesuai prosedur atau tidak," katanya.

Karenanya, Anam menyarankan penyidik langsung berkoordinasi dengan pengadilan jika hendak melakukan penyadapan. Sementara, untuk mencegah kesewenang-wenangan, harus disusun SOP dan penerapannya diperiksa secara berkala oleh pengawas internal.

Terakhir, Anam menyoroti soal kewajiban penyidik mencantumkan substansi dan pembicaraan jenis apa yang dicari lewat penyadapan ketika hendak mengajukan izin. Anam khawatir hal itu justru merugikan penyidik karena ada potensi informasi itu bocor.

Karenanya, Anam menyarankan agar cukup mencantumkan latar belakang kasus dan nomor telepon yang hendak disadap. Hal itu untuk menjamin privasi dari orang yang disadap, di sisi lain menjamin proses penyadapan berjalan lancar.

"Kalau substansinya nanti dimasukin malah bocor ke mana-mana," katanya.

Baca juga artikel terkait RUU PENYADAPAN atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Politik
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri