Menuju konten utama

Komnas HAM Sesalkan Pernyataan Jaksa Agung

Komnas HAM menyesalkan pernyataan Jaksa Agung HM Prasetyo mengenai hasil penyelidikan lembaga itu.

Komnas HAM Sesalkan Pernyataan Jaksa Agung
Ketua Komnas HAM periode 2017-2022 Ahmad Taufan Damanik menyampaikan keterangan di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (14/11/2017). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari.

tirto.id - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyesalkan pernyataan Jaksa Agung HM Prasetyo. Pernyataan Prasetyo itu menyebut bahwa hasil kerja Komnas dalam penyelidikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu sebagai asumsi dan opini.

"Pernyataan Jaksa Agung tersebut tidak sesuai dengan koridor hukum yang ada. Penyelidikan Komnas HAM telah dilakukan secara patut sesuai dengan lingkup dan batas," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik di kantornya, Jakarta Pusat, pada Senin (4/6/2018).

Taufan mengatakan sejauh ini Komnas HAM telah melayangkan 9 berkas laporan penyelidikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat. Semuanya dibuat berdasarkan keterangan saksi dan alat bukti.

Dia juga menilai perintah Presiden Joko Widodo sudah memberikan sinyal kuat agar Jaksa Agung menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM.

Mantan pengajar Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara ini pun mengapresiasi inisiatif dan perhatian Presiden untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Perintah Presiden kepada Jaksa Agung dianggap sebagai langkah maju.

"Komnas HAM percaya bahwa Presiden akan menuntaskan janjinya untuk memastikan keadilan untuk korban," ujar Taufan.

Pada 1 Juni 2018 lalu, Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan kasus pelanggaran HAM di masa lalu sulit diselesaikan secara yudisial atau dibawa ke pengadilan. Prasetyo menyebutkan tiga alasan yang mendasari pendapatnya tersebut.

Pertama, dia berdalih salah satu kendala utama penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu adalah sulitnya pencarian bukti untuk meningkatkan penanganan kasus hingga ke tahap penuntutan.

"Dengan melihat realitas yang ada, sulitnya mencari bukti-buktinya, saksinya juga siapa lagi, kan sudah sekian lama," kata Prasetyo di Kantor Kementerian Luar Negeri, Jakarta.

Alasan kedua, menurut Prasetyo, banyak kasus pelanggaran HAM masa lalu terjadi sebelum UU Peradilan HAM terbit di tahun 2000. Karena itu, proses hukum kasus-kasus itu harus melalui keputusan politik DPR dan pembentukan peradilan HAM ad hoc. Masalahnya, Prasetyo beralasan peradilan HAM ad hoc belum ada di Indonesia.

Sementara alasan ketiga, Prasetyo mengklaim Kejaksaan Agung tidak menemukan ada bukti kuat yang bisa diambil dari hasil penyelidikan Komnas HAM. Dia mengklaim kejaksaan sudah mengkaji hasil penyelidikan itu.

"Bukan hanya perkara [Aksi] Kamisan, perkara Trisakti, tapi juga yang lain-lain. Ada 6 perkara HAM berat yang kami teliti. Akhirnya, semua menyadari bahwa yang ada itu, hasil penyelidikan itu hanya asumsi, opini saja, bukan bukti. Proses hukum kan perlu bukti, bukan opini," kata Prasetyo.

Oleh sebab itu, Prasetyo menyarankan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu menempuh jalur non-yudisial atau pendekatan rekonsiliasi.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Addi M Idhom