Menuju konten utama

Komnas HAM: Distorsi Informasi Sulut Kerusuhan Tanjungbalai

Melalui fakta-fakta yang dihimpun Komnas HAM di lapangan, kerusuhan di Tanjung disebabkan adanya penyimpangan informasi yang dilakukan pihak tak bertanggung jawab. Distorsi informasi itu lantas memancing kebencian atas dasar etnis dan agama tertentu.

Komnas HAM: Distorsi Informasi Sulut Kerusuhan Tanjungbalai
(tengah) Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Nataius Pigai membacakan hasil investigasi di Ruang Pengaduan Komnas HAM, Kamis (11/8/2016), terkait kerusuhan di Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara, 29 Juli 2016. Komnas HAM menemukan kerusuhan terjadi karena distorsi informasi dengan maksud merusak kerukunan antar umat beragama. TIRTO/Andrey Gromico.

tirto.id - Penyimpangan informasi yang disebarluaskan oleh oknum tidak bertanggung jawab dinilai telah memancing kebencian atas dasar etnis dan agama tertentu sehingga menyulut kerusuhan berbau SARA di Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengemukakan fakta tersebut melalui pengkajian semua keterangan di lapangan dan dokumen terkait peristiwa yang merusak 15 bangunan, termasuk rumah ibadah tersebut.

"Distorsi informasi itu disebarluaskan demi memicu provokasi dan memancing amarah komunitas umat Muslim," ujar Komisioner Komnas HAM yang juga Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Peristiwa Tanjungbalai Natalius Pigai di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis (11/8/2016).

Natalius melanjutkan, isu liar yang merebak pada hari kejadian, Jumat (29/7/2016), yaitu terdapat warga etnis Tionghoa yang melarang adzan, mematikan pengeras suara masjid dan lain-lain. Padahal semua itu tidak benar.

Dari fakta yang berhasi dihimpun Komnas HAM, memang ada keberatan dari seorang warga berinisial M (41 tahun), yang menurut Natalius sudah tinggal di daerah itu selama delapan tahun tanpa ada konflik, kepada tetangga dekatnya tentang suara Masjid Al-Makshum yang terdengar lebih keras dari biasa.

Percakapan sekitar seminggu sebelum kejadian itu dilakukan di sebuah warung yang dimiliki oleh anak dari penanggung jawab (nadzir) Masjid Al-Makshum.

"Semua percakapan yang dilakukan antara M dan tetangganya, tidak berkecenderungan negatif serta tidak didasarkan pada kebencian terhadap etnis dan agama tertentu," papar Natalius Pigai.

Pada 29 Juli 2016 sekitar pukul 19.00 WIB, nadzir tersebut menyampaikan keberatan dari M kepada pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) dan disaksikan beberapa jamaah. Setelah itu, beberapa pengurus masjid berkunjung ke rumah M dan terjadi sedikit perdebatan yang mengundang keingintahuan warga sekitar.

Namun, suami M menyadari kesalahan istrinya dan meminta maaf kepada pengurus masjid yang sudah kembali ke Masjid Al-Makshum.

Sekitar pukul 20.00 WIB, rumah M dikelilingi oleh sejumlah orang dan diputuskan permasalahan pengeras suara diselesaikan di Kantor Kelurahan setempat.

Persoalan tersebut kemudian bisa diselesaikan setelah dilakukan mediasi dan dialog pada pukul 21.00 WIB–23.00 WIB bersama pegawai kelurahan hingga pihak kepolisian. M dan keluarga juga meminta maaf atas keberatannya dengan suara adzan yang dirasa terlalu keras.

Ternyata, ketika itu informasi liar dan provokatif beredar di masyarakat. Lalu, pada rentang pukul 23.00 WIB sampai 03.00 WIB terjadi penyerangan, pengrusakan dan pembakaran yang dilakukan oleh 600–1.000 orang terhadap 15 gedung termasuk wihara, kelenteng, bangunan yayasan dan tempat tinggal M.

Adapun pihak kepolisian telah menetapkan 21 orang tersangka, terdiri dari delapan tersangka tindak pencurian, sembilan tersangka tindak perusakan, dan empat tersangka provokator.

Baca juga artikel terkait KERICUHAN TANJUNG BALAI

tirto.id - Hukum
Sumber: Antara
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari