Menuju konten utama

Komitmen Semu Energi Terbarukan di RUU EBT: Masih Bahas Batu Bara

Masuknya batu bara dalam draf RUU EBT memperlihatkan pemerintah belum punya solusi untuk keluar dari ketergantungan energi fosil.

Komitmen Semu Energi Terbarukan di RUU EBT: Masih Bahas Batu Bara
Teknisi sedang melakukan pemeriksaan instalasi panel surya di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (3/9/2020). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) ditargetkan rampung pada Oktober 2021. RUU EBT ini dinilai penting dan strategis karena pemerintah menargetkan bauran energi baru terbarukan mencapai 23 persen pada 2025, tapi hingga 2020 bauran EBT baru sekitar 11 persen, masih jauh dari target.

Pembahasan RUU EBT ini tergolong singkat sebab naskah akademik dan draf dibuat pada 25 Januari 2021. Selain itu, RUU EBT ternyata juga memuat soal Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dan produk turunan batu bara, yaitu gasifigasi.

Dalam drat akademik terbaru, Pasal 9 ayat 1 draf RUU EBT memuat sumber energi baru adalah nuklir, hidrogen, gas metana batu bara (coal bed methane/CBM), batu bara tercairkan (liquefied coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal).

Adapun EBT lain disebut dalam Pasal 30 draf RUU EBT. Sumber energi terbarukan, antara lain: panas bumi, angin, biomassa, sinar matahari, aliran dan terjunan air, sampah, limbah produk pertanian, limbah atau kotoran hewan ternak, gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut, dan sumber lainnya.

Pengamat energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai kebijakan yang dirumuskan dalam RUU EBT cukup adil untuk memberikan kesempatan pada industri batu bara bertahan saat banyak negara sedang berusaha lepas dari batu bara, terutama untuk pembangkit listrik.

"Saya kira logis soal itu, memang industri ini [batu bara] kan kontribusinya cukup besar di dalam penerimaan devisa maupun dalam penciptaan nilai tambah. Saya kira ini solusi yang coba ditawarkan pemerintah karena bagaimana pun akan ada sikap tertentu di mana industri yang dulu sudah berkontribusi besar pada perekonomian akan terhambat," kata Komaidi kepada reporter Tirto, Jumat (24/9/2021).

Menurut dia, selain soal isu energi ramah lingkungan, EBT juga harus mengakomodir kelanjutan atau kontinuitas industri yang sudah berjalan. Selama ini, batu bara termasuk komoditas dengan porsi sumbangan ke pemasukan negara cukup tinggi.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 6 September 2021, realisasi penerimaan negara dari sektor pertambangan mineral dan batu bara tembus Rp42,36 triliun.

Batu Bara Bukan EBT

Meski demikian, Satrio Swandiko Prilianto dari Greenpeace Indonesia mengatakan, seharusnya batu bara dalam bentuk gasified coal dan liquefied coal dalam RUU EBT tidak dilibatkan. Sebab, dalam proses pembentukan batu bara ke bentuk gas dan cair hanya memindahkan emisi dalam bentuk lain.

"Karena di dalamnya masih ada turunan batu bara seperti gasified coal kemudian batu bara tercairkan di mana yang sebenarnya ya tetap pakai batu bara dan tetap menghasilkan emisi,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto.

Satrio juga menyoroti soal energi nuklir dalam RUU EBT. Menurut dia, selain biaya yang super mahal, durasi pembangunan PLTN juga butuh waktu sekitar 1 dekade.

"Nuklir ini biayanya mahal, bukan hanya teknologinya saja yang kita harus punya. Tapi semuanya, misalnya fasilitas untuk pembuangan limbah nuklir. Kemudian butuh air yang banyak untuk mendinginkan, airnya nanti kalau sudah dipakai, airnya juga jadi limbah nuklir,” kata dia.

Berdasarkan catatan, kata dia, energi nuklir sudah dibahas di Indonesia sejak 1965. Secara global ada 13 PLTN tutup yaitu di Amerika Serikat, Swiss, Jepang, Jerman, Korea Selatan, Rusia, Swedia, dan Taiwan. Adapun sejumlah alasan penutupan, salah satunya berusia lebih 40 tahun atau misalnya Jepang merevisi keamanan dan tidak bisa mengikuti regulasi terbaru. Beberapa di antaranya memilih tutup karena kalah saing dengan energi terbarukan.

Hal senada disampaikan Peneliti Yayasan Indonesia Cerah, Wira Dillon. Jika pemerintah menyebutkan energi nuklir lebih murah, tahan lama, dan hanya perlu lahan kecil, kata dia, tapi bisa membangun PLTN, itu hanya mitos.

“Jadi biaya investasinya besar. Proyeknya juga sering mangkrak. Proses pembangunan PLTN itu sekitar 9 sampai 10 tahun di sana ada capital coast. Jadi itu mitos kalau pemerintah bilang bangun PLTN murah, tahan lama dan hanya perlu lahan kecil,” kata dia.

Selain biaya investasi yang tinggi dan proses pembuangan limbah yang lebih rigid, kata dia, bahan bakar PLTN yaitu uranium perlu diimpor karena cadangan uranium RI hanya tersedia sekitar 1.600 ton.

"Cadangan uranium kita itu kecil, 1.600 ton itu cadangan total. Sementara untuk mengoperasikan satu PLTN satu giga watt, butuh 250 ton. Intinya setelah 6 tahun buat 1 giga watt saja kita harus impor, sementara konsumsi listrik yang kita pakai adalah 70 giga watt. Kalau direalisasikan itu hanya akan menyediakan tenaga yang sangat kecil dan kita harus impor uranium dan kita harus sewa pembuangannya dari luar, jadi ini energi yang mahal, ngapain kita pergunakan,” kata dia.

Membangun Pasar Batu Bara Dalam Negeri

Peneliti Trend Asia Andri Prasetiyo mengatakan, jika alasan yang digunakan pemerintah untuk mengolah baru bara menjadi gas adalah untuk mengurangi impor gas dan subsidi yang saat ini diberikan, maka gasified coal bukan solusinya.

Gasified coal itu mahal harganya 470 sedangkan mengubah dari LPG jadi LNG itu sekitar 380 jadi secara produksi itu mahal. Kemudian untuk investasi awalnya pun mahal banget. Untuk bangun pengolahan gasified coal itu butuh biaya Rp28 triliun untuk satu proyek,” kata dia kepada reporter Tirto.

Menurut dia, masuknya batu bara dalam draf RUU EBT memperlihatkan pemerintah belum punya solusi untuk keluar dari ketergantungan energi fosil. Andri menilai pemerintah tampak tidak memiliki solusi saat banyak negara sudah mulai menyadari buruknya dampak PLTU terhadap lingkungan di saat yang bersamaan eksploitasi batu bara tengah habis-habisan dilakukan.

"Jadi pemerintah terlambat untuk exit strategi di mana batu bara mulai ditinggalkan dan demand-nya turun. Ketika demand turun harusnya logikanya harus sudah mulai mencari sumber lain kan ya, lah ini malah mengekstraksi batu bara jadi gas dan cair. Di Cina gasifikasi ini bahkan ditinggalkan karena enggak menguntungkan,” papar dia.

Sementara itu, pada awal pekan lalu, Cina mengumumkan tidak akan membiayai lagi PLTU di luar negeri untuk menekan konsumsi batu bara. Dalam sidang Majelis Umum PBB Presiden China Xi Jinping memutuskan hal tersebut untuk mengakhiri aliran bantuan untuk energi kotor yang berkontribusi terhadap krisis iklim.

Sejauh ini, Cina merupakan penyumbang dana terbesar untuk proyek batu bara di negara-negara berkembang seperti Indonesia, Vietnam dan Bangladesh saat melakukan pembangunan infrastruktur global di bawah skema Belt and Road Initiative.

Komitmen tersebut menjadi langkah awal Cina setelah kualitas udara terus memburuk akibat limbah PLTU sampai industri yang menggunakan bahan bakar batu bara. Dilansir Reuters saat ini terdapat polusi karbon sebanyak 35 mikrogram per meter kubik di udara. Angka tersebut jauh di atas rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia untuk tingkat tahunan rata-rata tidak lebih dari 10 mikrogram.

Saat Cina berkomitmen untuk tak lagi mendanai PLTU, target dan hasil produksi batu bara RI malah tengah mencapai angka tertinggi yaitu sebanyak 625 juta ton di 2021.

Angka tersebut merupakan tertinggi sepanjang sejarah. Dari jumlah tersebut, kebutuhan batu bara dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) ditargetkan dapat mencapai 137,5 juta ton. Adapun pada 2020 sendiri, realisasi produksi batu bara Indonesia berada di angka 558 juta ton.

"Ketika kuota produksi dinaikkan, pasti logikanya ekspansif kan, tapi tren [konsumsi dunia turun] gak bisa dilawan. Karena sudah terlanjur begitu, mereka akhirnya create demand. Ketika negara lain mulai meninggalkan PLTU nah kita ini bingung kan materialnya mau kemana jadi akhirnya merka menciptakan pasar di dalam negeri,” kata Andri.

Daripada memaksakan industri yang sudah redup, yang tidak akan menguntungkan dari sisi pemasukan negara, nilai jual yang tidak kompetitif hingga kerusakan lingkungan, Andri menyarankan, sebaiknya poin batu bara dihapus dari RUU EBT.

“Batu bara harus dihilangkan dalam bentuk turunan apa pun itu clear. Karena gak menguntungkan siapapun,” jelas dia.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menawarkan solusi lain ketimbang tetap memaksakan produk turunan batu bara masuk dalam salah satu bentuk energi baru terbarukan dalam RUU EBT.

Fabby menyarankan agar batu bara dijadikan sebagai sumber material karbon maju ketimbang tetap dimanfaatkan sebagai bahan bakar seperti saat ini. Menurutnya, itu jadi solusi terbaik di tengah tingginya produksi yang berbenturan dengan kebijakan iklim dunia untuk menyediakan energi bersih yang ramah lingkungan.

“Ada beberapa jenis material kabron yang membutuhkan itu, seperti kendaran listrik, batre mobil lsitrik kemudian teknologi lain misalnya serat karbon. Sangat butuh ke depan dan kita punya batu bara digunakan untuk itu. Bukan sebagai bahan bakar. Batu bara bisa dimanfaatkan tanpa harus jadi sumber emisi gas,” terang dia.

Respons Komisi VII DPR

Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto setuju energi nuklir masuk dalam kelompok energi baru dalam RUU EBT. Menurutnya, ke depan sangat penting bagi Indonesia memiliki kemampuan membangkitkan listrik dari sumber energi nuklir ini.

Ia menyebutkan ide ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan rencana Australia bersama Inggris dan AS membentuk pakta pertahanan bersama dan membangun kapal selam nuklir.

"Rencana go nuclear Indonesia serta RUU EBT ini sama sekali bukan untuk merespons rencana Australia untuk membangun kapal selam nuklir tersebut. Ini murni aspirasi dari beberapa daerah dan sudah lama didiskusikan termasuk uji kelayakannya. Selain itu, pembangunan PLTN ini murni untuk tujuan damai, tidak untuk pertahanan keamanan," kata dia dalam rilis resmi.

Sebab selain karena stabilitasnya yang tinggi, kata dia, cocok untuk beban dasar (base load), pembangkit listrik dari sumber nuklir (PLTN) ini diminati beberapa daerah dan diperkirakan sumber bahan bakarnya tersedia, kata Mulyanto.

Doktor nuklir lulusan Tokyo Institute of Technology ini menambahkan pembangunan pembangkit nuklir sangat tepat bila dikombinasikan dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang bersifat intermitten. Sehingga bisa saling melengkapi.

Menurutnya, sampai hari ini Indonesia sudah berpengalaman dalam mengoperasikan 3 reaktor nuklir, yakni Reaktor GA Siwabesy 30 MW (panas) di Puspiptek Serpong, Banten; Reaktor Bandung 1 MW (panas) di Bandung; dan Reaktor Kartini 250 kW (panas) di Yogyakarta.

SDM operatornya dididik dan dilatih baik melalui kerja sama dengan UI, ITB dan UGM juga dalam Sekolah Tinggi Teknik Nuklir (STTN), yang sebelumnya dikelola oleh BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional).

Dengan SDM dan pengalaman operasional reaktor nuklir yang puluhan tahun, menjadi modal penting bagi Indonesia untuk go nuclear. Dan langkah ini akan semakin mengokohkan kemampuan dan penguasaan di bidang energi nuklir oleh putra-putri Indonesia.

"Jadi memang program nuklir Indonesia ini tidak ada hubungannya dengan rencana pembangunan kapal selam nuklir oleh Australia tersebut," kata mantan peneliti di BATAN ini.

Baca juga artikel terkait ENERGI TERBARUKAN atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz