Menuju konten utama

Komitmen Jokowi Selesaikan Kasus HAM Masa Lalu Dinilai Rendah

Komisioner Komnas HAM mengritik pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddi tentang penanganan kasus HAM masa lalu.

Komitmen Jokowi Selesaikan Kasus HAM Masa Lalu Dinilai Rendah
Pegiat HAM yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (2/8/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id -

Komisioner Komnas HAM Chairul Anam mengritik pernyataan Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin tentang penanganan kasus HAM masa lalu.

Menurut Anam, lambatnya penanganan kasus-kasus tersebut bukan karena belum adanya pengadilan, tetapi akibat komitmen pemerintah yang rendah dalam penanganan HAM masa lalu.

"Presiden Jokowi berkomitmen rendah dalam penyelesaian pelanggaran HAM yang berat, hal ini ditunjukan dengan pernyataan Jaksa Agung yg baru saja dipilih oleh Presiden," Kata Anam dalam keterangan tertulis, Kamis (7/11/2019).

"Padahal sangat jelas, Presiden mendapat raport merah terkait hal ini, dan memiliki kesempatan untuk memperbaikinya dengan menunjuk Jaksa Agung yg paham dan ingin melakukan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat," imbuh Anam.

Berdasarkan pernyataan Jaksa Agung, Anam berpendapat Jaksa Agung belum memahami dengan baik mengenai aturan hukum di UU No. 26 tahun 2000 tentang kewenangan Komnas HAM sebagai penyelidik dan kewenangan Jaksa Agung sebagai penyidik dalam proses hukum kasus-kasus Pelanggaran HAM yg berat.

Menurut Anam, Jaksa Agung sebagai penyidik bisa berbuat banyak. Tak hanya menyempurnakan berkas perkara, bahkan mempunyai kewenangan untuk menahan terduga pelaku.

Namun, Jaksa Agung sebagai penyidik belum pernah menjalankan tugas dan kewenangannya untuk menyempurnakan berkas perkara tersebut yang telah selesai dalam proses kewenangan Komnas HAM sebagai penyelidik.

"Kondisi ini seperti lagu lama diputar berulang kali, hanya mengganti penyanyinya saja," Kata Anam.

Anam berpendapat, solusi penyelesaian kasus HAM masa lalu adalah dengan membentuk tim penyidik independen.

Tim penyidik independen harus melibatkan tokoh HAM yang mengerti aturan-aturan HAM, baik nasional maupun internasional serta praktek yg terjadi di berbagai mekanisme di dunia. Ketentuan ini diakomodir dalam UU No.26 tahun 2000 sehingga kasus pelanggaran HAM masa lalu bisa selesai.

"Pentingnya membentuk tim penyidik independen dengan melibatkan tokoh HAM agar tingkat kepercayaan publik terbangun dan kerja kerja tim tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara hukum," Kata Anam.

Jaksa Agung sebelumnya menyampaikan sejumlah hambatan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Salah satunya adalah belum adanya pengadilan HAM ad hoc untuk memutus kasus-kasus tersebut.

"Penyelidikan yang dilakukan oleh komnas HAM sifatnya pro justisia sehingga perlu izin dari ketua pengadilan, dan juga diperiksa serta diputus perkaranya oleh pengadilan ad hoc yang sampai saat ini belum terbentuk," kata Burhanuddin dalam rapat kerja perdana dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2019).

Burhanuddin juga berdalih kesulitan memperoleh alat bukti lantaran waktu kejadiannya sudah terlalu lama. Banyak alat bukti maupun saksi yang telah berpindah tempat sehingga menyulitkan pembuktian.

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mencapai kepastian hukum soal penanganan pelanggaran HAM berat, kata Burhanuddin, adalah meninjau kembali regulasi ketentuan penyelesaian perkara.

"Lalu mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan instrumen HAM secara universal," jelasnya.

Saat ini, Kejaksaan Agung mencatat ada 15 kasus pelanggaran HAM berat yang masih dalam proses hukum. Dari 15 kasus itu, ia mengkalim tiga diantaranya sudah selesai yakni kasus Timor Timur 1999, kasus Tanjung Priok 1984 dan peristiwa Abepura pada tahun 2000.

Sementara 12 perkara yang belum diselesaikan yaitu tragedi 1965, peristiwa penembakan misterius (Petrus), peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II, penculikan dan penghilangan orang secara paksa, peristiwa Talangsari, peristiwa simpang KKA, peristiwa rumah Gedong tahun 1989, peristiwa dukun Santet, ninja dan orang gila Banyuwangi 1998.

Kemudian, setelah terbit UU nomor 26 tahun 2000 ada peristiwa Wasior, peristiwa Wamena, peristiwa Jambu Kepuk dan peristiwa Paniai 2014.

Burhanuddin menyebut enam berkas penyidikan pelanggaran HAM berat belum bisa ditingkatkan ke tahap penyidikan karena tak memenuhi syarat formil dan materiel.

"Enam berkas penyelidikan peristiwa pelanggaran ham berat itu yakni peristiwa Trisakti, kerusuhan Mei, peristiwa penghilangan orang secara paksa, Talangsari, penembakan misterius dan peristiwa 1965," tuturnya.

Baca juga artikel terkait KOMNAS HAM atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Hendra Friana