Menuju konten utama

Komisi X Kritik Omnibus Law sebab Hapus Sanksi Pidana Ijazah Palsu

Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PKS, Ledia Hanifah, mengkritik sanksi pidana bagi pemalsuan ijazah di Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang sedang gencar dibahas pemerintah dan DPR RI.

Komisi X Kritik Omnibus Law sebab Hapus Sanksi Pidana Ijazah Palsu
Massa yang menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja membawa poster saat melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor DPRD Sulsel di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (16/7/2020). foto/Dok. Ady Anugrah/LBH Makassar.

tirto.id - Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PKS, Ledia Hanifah, mengkritik salah satu pasal di ranah pendidikan yang ada di Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang sedang gencar dibahas pemerintah dan DPR RI.

Hal yang dikritik Ledia karena dihapuskannya pasal terkait sanksi pidana dari Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di dalam RUU Cipta Kerja.

“Beberapa pasal yang dihapus di dalam RUU Cipta Kerja adalah pasal 67-69 yang terkait sanksi pidana. Padahal pasal 2 RUU Cipta Kerja sendiri menjelaskan bahwa asas RUU ini salah satunya adalah kepastian hukum. Tetapi penghapusan pasal-pasal terkait sanksi pidana dari UU Sisdiknas, justru telah memunculkan ketidakpastian hukum," kata Ledia lewat keterangan tertulisnya yang diterima wartawan Tirto, Kamis (23/7/2020) pagi.

Pasal 67 sampai 69 dari UU Sisdiknas yang dihapus dalam RUU Cipta Kerja itu meliputi sanksi pidana bagi lembaga pendidikan yang mengeluarkan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak, memberikan sebutan guru besar atau profesor tanpa kesesuaian ketentuan, lembaga pendidikan yang berjalan ilegal hingga perseorangan yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi serta gelar tanpa memenuhi ketentuan persyaratan.

Ledia mengaku khawatir, dengan adanya penghapusan pasal sanksi pidana ini, praktek jual beli ijazah, jual beli gelar, penggunaan ijazah palsu, dan penyelenggaraan kampus ilegal akan semakin marak.

Apalagi, tambahnya, tak lama lagi kita akan memasuki Pilkada 2020 dan pemilihan legislatif kedepannya.

"Beberapa kali kita berhadapan dengan kasus ijazah palsu atau ilegal. Karenanya menjadi rawan terulang temuan-temuan kasus seperti ini," katanya.

Ia mengatakan bahwa kepemilikan ijazah, sertifikat, dan gelar akademik memang menjadi salah satu syarat dalam kontestasi calon kepala daerah, juga calon anggota legislasi. Selain itu, juga menjadi syarat dalam penerimaan kepegawaian baik Pegawai Negeri, BUMN maupun swasta.

Kata Ledia, kendati praktek-praktek bodong semacam ini bisa jadi tidak bisa sepenuhnya hilang, tetapi ia meyakini adanya sanksi pidana telah memberikan kepastian hukum pada masyarakat bahwa hal tersebut tertolak dan melanggar hukum.

“Kepastian hukum terkait pelanggaran dalam soal pemberian maupun penggunaan ijazah, sertifikat akademik serta gelar ilegal juga berguna untuk meningkatkan kualitas SDM bangsa kita yang tengah diusung menuju SDM Unggul berkarakter Pancasila. Karenanya menjadi tidak masuk akal pasal terkait sanksi pidana ini justru yang dibidik oleh pemerintah untuk dihapuskan," katanya.

Baca juga artikel terkait OMNIBUS LAW CIPTA LAPANGAN KERJA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Maya Saputri