Menuju konten utama

Komisi V DPR Minta Maskapai Tak Beli Pesawat yang Baru Launching

Komisi V DPR meminta maskapai tak lagi membeli pesawat yang belum teruji. Tapi Kemenhub menyampaikan, pengujian hanya bisa dilakukan oleh ortoritas penerbangan di negara asal pembuatan pesawat.

Komisi V DPR Minta Maskapai Tak Beli Pesawat yang Baru Launching
Para pekerja berjalan menuruni tangga dari pesawat Boeing 737 MAX 8 yang sedang dibangun untuk American Airlines di pabrik perakitan Boeing Co., Rabu, 13 Maret 2019, di Renton, Washington. AP / Ted S. Warren

tirto.id -

Kecelakaan pesawat tipe Boeing 737 Max 8 milik maskapai Ethiopian Airlines masih menjadi perhatian DPR.

Anggota Komisi V DPR RI Fraksi Gerindra, Bambang Haryo Soekartono meminta maskapai tak lagi membeli pesawat yang belum teruji standar keselamatannya dalam skala komersil.

Bambang menyebut keadaan pesawat yang baru diluncurkan (launching) masih perlu waktu untuk benar-benar terjamin dari kemungkinan terjadinya kecelakaan akibat persoalan teknis.

"Tidak boleh ada lagi airlines yang beli pesawat kondisinya produk launching. Kita belum tahu kelemahan dari pesawat tersebut meskipun memang harganya murah," ucap Bambang dalam rapat bersama Kementerian Perhubungan di Gedung DPR pada Senin (18/3).

"Kan perlu waktu untuk bisa tahu itu layak apa nggak diterbangkan," tambah Bambang.

Bambang mengatakan, saat ini 2 maskapai terbesar Indonesia bisa jadi sedang melalukan kesalahan. Pasalnya Garuda dan Lion Air katanya sudah sempat memesan masing-masing 100 dan 200 unit pesawat tipe Boeing 737 Max 8.

Padahal sebelum kecelakaan Ethiopian Airlines, maskapai Lion Air juga mengalami kecelakaan dan kehilangan pesawat tipe serupa. Saat ini total 11 pesawat Boeing 737 Max 8 itu pun dilarang terbang (grounded) oleh Kemenhub hingga ada perkembangan lebih lanjut dari Boeing dan Federal Aviation Administration (FAA), otoritas penerbangan sipil Amerika Serikat.

Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Polana B. Pramesti mengatakan keputusan untuk menyatakan pesawat tidak layak dijual-belikan berada di pundak FAA.

Menurutnya, setiap pesawat yang dijual oleh sebuah pabrik hanya harus disertifikasi di negara yang pembuatnya sehingga tidak bergantung pada negara pembeli. Dalam konteks Boeing, maka sertifikasi bergantung pada FAA.

"Dia kan lembaga besar. Produknya bukan dari negara kita. Kecuali produk [PT] Dirgantara itu kita yang keluarkan sertifikasi," ucap Polana kepada wartawan usai rapat bersama Komisi V DPR.

Sementara itu, negara pembeli, kata Polana, hanya memastikan bahwa sertifikasi yang telah dikeluarkan lembaga otoritas penerbangan setempat tervalidasi dengan standar yang dimiliki negara pembeli.

"Setiap pesawat yang dibeli itu misal Boeing yang mengeluarkan sertifikasi kan FAA. Jadi kami lebih ke memvalidisasi sertiifkasi FAA," ucap Polana.

Ketika ditanya mengenai kemungkinan memberi sanksi pada Boeing, Polana mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin. Sebab hal yang sama adalah wewenang FAA sebagai otoritas penerbangan di negara asal Boeing.

Kalaupun ada gugatan, kata Polana maka hal itu hanya dapat dilayangkan keluarga korban melalui pengacara di negara asal Boeing.

"Mekanismenya nggak ada. Yang bisa nuntut Boeing hanya pengacara di negara pabrikan," ucap Polana.

Baca juga artikel terkait PELARANGAN BOEING atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Agung DH