Menuju konten utama

Komisi IX DPR Jelaskan Solusi Tangani Defisit BPJS Kesehatan

"Masih ada tagihan berjalan. Karena ternyata banyak peserta mandiri dan perusahaan yang menunggak membayar. Sehingga cash flow tersendat," ujar Dede.

Komisi IX DPR Jelaskan Solusi Tangani Defisit BPJS Kesehatan
ketua komisi ix dpr dede yusuf (tengah), bersama kepala bnp2tki nusron wahid (kiri) dan ketua migrant care anis hidayah menjadi pembicara dalam diskusi legislasi di kompleks parlemen, senayan, jakarta, selasa (29/9). diskusi itu membahas revisi uu no.34 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja indonesia di luar negeri. antara foto/akbar nugroho gumay/kye/15

tirto.id - Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf menjelaskan solusi untuk menangani defisit anggaran pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, salah satunya dengan kembali memberikan suntikan dana agar pelayan kesehatan tidak terganggu.

"Memang pendanaan sudah ditalangi kemarin. Namun masih ada tagihan berjalan. Karena ternyata banyak peserta mandiri dan perusahaan yang menunggak membayar. Sehingga cash flow tersendat," ujar Dede kepada Tirto, Jumat (4/1/2019).

Menurut dia, pemerintah menyediakan dana tangan untuk menyokong rumah sakit supaya tetap beroperasi.

"Intinya tetap, meminta pemerintah melakukan bail out," ujar anggota DPR RI dari Fraksi Demokrat tersebut. "Atau mengubah aturan pelayanan."

Dede memberi usul, supaya setiap peserta yang melakukan tunggakan iuran dikenakan sanksi. Namun masih dalam taraf yang wajar.

"[memberi sanksi] bukan [dengan cara] menghalangi [peserta untuk] mengurus BPKB atau IMB. Mungkin dengan cara lain. Pemerintah mestinya lebih tahu," lanjutnya.

BPJS Kesehatan pada November 2018 memang gencar menekan defisit keuangan dengan memberikan sanksi kepada peserta yang menunggak iuran. Hal tersebut tertera dalam PP 86 Tahun 2013 tentang pengenaan sanksi administratif kepada pemberi kerja selain penyelenggara negara dan setiap orang, selain pemberi kerja, pekerja, dan penerima bantuan iuran dalam penyelenggaraan jaminan sosial.

Dalam Pasal 9 Ayat (1), sanksi itu berupa tidak mendapatkan pelayan publik tertentu kepada Pemberi Kerja selain penyelengara negara meliputi: perizinan terkait usaha, izin yang diperlukan dalam mengikuti tender proyek, izin mempekerjakan tenaga kerja asing, izin perusahaan penyedia jasa pekera atau buru, dan izin mendirikan bangunan.

Selain itu, pada Ayat (2) sanksi tidak mendapatkan pelayan publik tertentu yang dikenai kepada setiap orang, selain pemberi kerja, pekerja dan penerima bantuan iuran yang menenuhi persyaratan kepesertaan dalam program jaminan sosial meliputi: izin mendirikan bangunan, surat izin mengemudi, sertifikat tanah, paspor, dan surat tanda nomor kendaraan.

Sementara itu, Kepala Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma'ruf menjelaskan, defisit yang terus terjadi dikarenakan pendapatan iuaran yang tidak sebanding dengan pembiayaan manfaat.

"Karena setting hitungan iuran belum sesuai akuaria. Pada 2017, BPJS Kesehatan mendapatkan Rp74 triliun tapi biaya manfaatnya Rp84 triliun. Tahun 2016 juga tidak berimbang," ujar dia.

Iqbal mencontohkan setoran iuran dari peserta kelas 3 secara aktuaria seharusnya Rp53 ribu namun saat ini hanya dikenakan Rp25,5 ribu. Demikian pula iuran Kelas 2 secara aktuaria seharusnya Rp63 ribu, tapi sekarang cuma Rp51 ribu. Nilai iuran ideal, kata dia, baru di kelas 1.

Sayangnya, kata Iqbal, BPJS Kesehatan tidak punya wewenang dalam penyesuaian iuaran yang diharapkan sesuai aktuaria tersebut. "Usulan kenaikan iuran bukan kewenangan BPJS Kesehatan. Itu domain DJSN [Dewan Jaminan Sosial Nasional," ujar dia.

Baca juga artikel terkait BPJS KESEHATAN

tirto.id - Ekonomi
Sumber: Alexander Haryanto
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi