Menuju konten utama

Komisi II DPR Catat 9 Pemicu Konflik di Pilkada 2018 & Pemilu 2019

Komisi II DPR RI mengidentifikasi 9 hal yang bisa memicu konflik selama Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019.

Komisi II DPR Catat 9 Pemicu Konflik di Pilkada 2018 & Pemilu 2019
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman menyampaikan paparan disaksikan Peneliti senior LIPI Siti Zuhro dan Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy pada diskusi yang diselenggarakan Rumah Bebas Konflik (Rubik) di Media Center KPU Pusat, Selasa (7/11/2017). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

tirto.id - Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Lukman Edy mengingatkan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mewaspadai sejumlah masalah yang berpotensi memicu konflik di Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Lukman mencatat setidaknya terdapat 9 persoalan yang berpeluang besar menjadi penyebab kemunculan konflik itu.

"Pertama, ketidakpahaman terhadap Undang-undang (UU) Pilkada," ujar Lukman di sela diskusi di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jakarta, pada Selasa (7/11/2017).

Ketidakpahaman ini, menurut Lukman, tidak hanya terjadi pada masyarakat tetapi juga terjadi di tingkat pelaksana. Ia menilai, kondisi ini bisa diatasi dengan memberikan sosialisasi yang massif.

Lukman mencontohkan penerbitan surat edaran (SE) sebagaimana yang dilakukan KPU saat proses registrasi parpol adalah langkah yang baik. Saat itu, KPU mengeluarkan SE No. 580 dan SE No. 585.

"Semakin banyak surat edaran semakin baik, agar tidak multitafsir," jelas Lukman.

Potensi konflik kedua, menurut Lukman, ialah keberadaan calon petahana di Pilkada. Dia berharap pasal-pasal khusus yang mengatur pembatasan terhadap aktivitas petahana, misalnya Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016, bisa ditegakkan.

"Rasa curiga kami terhadap inkumben itu besar sekali," ujar Lukman.

Selanjutnya, menurut Lukman, keterlibatan Aparatur Sipil Negara (ASN), Polri dan TNI juga menjadi faktor pemicu konflik ketiga yang signifikan pengaruhnya. Dia menilai potensi keterlibatan ASN untuk memenangkan kandidat tertentu saat ini tergolong kuat.

Karena itu, dia mendorong ada Memorandum of Understanding (MoU) antara KPU, Bawaslu, BKN dan pihak-pihak yang terlibat untuk mengantisipasi hal ini. Dia berharap MoU seperti itu bisa memastikan bahwa ASN yang melanggar ketentuan tidak malah mengalami kenaikan pangkat usai Pilkada, seperti yang selama ini kerap terjadi.

Faktor keempat pemicu konflik ialah politik uang. Terkait masalah ini, Lukman meminta Bawaslu merancang operasi pada masa tenang dan pelaksanaan Pilkada/Pemilu.

"Kalau lebaran operasi ketupat, ini bisa disebut operasi demokrasi," jelas Lukman.

Selain itu, Lukman menambahkan permasalahan perbedaan hitungan saat pemungutan suara menjadi faktor pemicu konflik yang kelima. Dia mengusulkan Bawaslu memakai sistem elektronik untuk memantau proses perhitungan suara. Dengan begitu, data Bawaslu bisa menjadi bahan pembanding untuk perhitungan manual di KPU yang tidak bisa memakai metode elektronik.

"Kalau pengawasan Bawaslu boleh elektronik," ujarnya.

Selanjutnya, KPUD yang memihak kandidat tertentu menjadi faktor pemicu konflik keenam. "Solusinya, KPU dan Bawaslu melakukan rekrutmen KPUD dan sekretariat secara independen," kata Lukman.

Adapun untuk faktor ketujuh, menurut Lukman, ialah kemungkinan Bawaslu atau Panwaslu bersikap tidak adil dalam proses pengawasan. Pasalnya, menurut Lukman, kewenangan yang dimiliki Bawaslu saat ini cukup kuat sebab bisa mengawasi seperti polisi, menuntut seperti jaksa dan memutuskan seperti hakim.

"Kalau sampai Bawaslu tidak adil, wah besar ini," ujarnya.

Dua potensi konflik terakhir, Lukman mengimbuhkan ialah kampanye memakai isu SARA dan konflik yang terjadi antar-partai politik atau kandidat.

Direktur Rumah Bebas Konflik (Rubik) Abdul Ghofur menambahkan kemungkinan duplikasi tren konflik dalam Pilkada Serentak 2017 yang mengangkat isu SARA masih terbuka lebar. Sebab, dia menilai saat ini tingkat kompetisi dan kontestasi antar pasangan calon di Pilkada serentak 2018 sangat tinggi.

"Potensi konflik pilkada serentak 2018 memiliki kecenderungan lebih besar dari pilkada sebelumnya," ujar Ghofur.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Diana Pramesti

tirto.id - Politik
Reporter: Diana Pramesti
Penulis: Diana Pramesti
Editor: Addi M Idhom