Menuju konten utama

Kominfo Perlambat Internet di Papua: Buruk & Picu Konflik Berlanjut

Ada kesamaan antara kerusuhan di Bawaslu dengan di Papua: akses internet dibatasi. Aktivis menilainya itu melanggar hak warga menerima informasi.

Kominfo Perlambat Internet di Papua: Buruk & Picu Konflik Berlanjut
Massa melakukan aksi di Jayapura, Senin (19/8/2019). ANTARA FOTO/Gusti Tanati/wpa/ama.

tirto.id - Mikael Kudiai berkali-kali mengeluh "jaringan kurang baik" saat dihubungi reporter Tirto, Senin (19/8/2019) kemarin. Dia adalah salah satu demonstran di Manokwari.

Keluhan serupa diungkapkan yang lain saat kami hubungi.

Ini adalah imbas dari throttling atau pelambatan bandwith di beberapa wilayah di Papua Barat dan Papua yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Pelambatan dilakukan sekitar pukul 1 siang waktu Papua, dan dipulihkan kembali malam hari.

Hal serupa dilakukan Kominfo hari ini, Rabu (21/8/2019) sejak pukul 9 pagi waktu setempat. Sekarang daerah yang dikurangi akses internetnya adalah Fakfak, Papua Barat.

Beberapa jam lalu dilaporkan kerusuhan pecah di wilayah ini. Beberapa fasilitas umum dibakar.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengakui unjuk rasa besar-besaran di sejumlah kota di Papua adalah karena faktor internet, terutama munculnya "hoaks mengenai ada kata-kata yang kurang etis, mungkin, dari oknum tertentu [dalam kasus pengepungan mahasiswa Papua di Surabaya, Jumat pekan lalu]. Ada juga hoaks gambar seolah-olah ada adik kita yang meninggal, padahal tidak."

Hal serupa diutarakan Karopenmas Polri Brigjen Dedi Prasetyo. Para pendemo, katanya, "terprovokasi dengan yang disebar di akun sosmed." Karena itu Tim Siber Bareskrim akan melakukan profiling pemilik akun penyebar informasi.

Pelanggaran Hak Warga

Apa yang dilakukan polisi, menurut Damar Juniarto, Executive Director SAFEnet, jaringan relawan pembela hak-hak digital se-Asia Tenggara, adalah "pelanggaran hak warga untuk mengakses informasi." Lagipula, katanya, "bukti yang dijadikan alasan pembatasan cacat karena tidak terverifikasi dengan baik."

Pada 17 Agustus lalu, Kominfo mencap "hoaks" dan "disinformasi" kabar soal penculikan dua mahasiswa Papua di Surabaya karena mengantarkan makanan. Masalahnya informasi yang mereka cek, yaitu twitan dari pengacara publik Veronica Koman, sama sekali tidak menyebut kata "penculikan."

Dalam Cek Fakta yang dilakukan Tirto, kami menyimpulkan Kesimpulan Kemenkominfo mengandung informasi yang keliru serta mengarahkan ke tafsir informasi yang salah.

Pelambatan akses sebetulnya boleh saja dilakukan asal sesuai dengan aturan yang tercantum dalam Pasal 20 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). "Pertama, propaganda perang; kedua, penghinaan berdasar diskriminasi, kebencian," kata Damar menyebut isi pasal tersebut.

Pelambatan akses internet di Papua tak sesuai dengan aturan tersebut, kata Damar.

Hal serupa pernah dilakukan pemerintah saat meredam eskalasi demonstrasi 21-22 Mei di Jakarta. Saat itu orang-orang tidak bisa mengirim foto dan video terutama lewat aplikasi pesan instan seperti Whatsapp karena dari sana, kata pemerintah, hoaks-hoaks didistribusikan. Saat itu SAFEnet juga mengkritik. Mereka juga bilang mungkin itu jadi preseden.

Kini terbukti hal serupa dilakukan lagi oleh pemerintah.

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid juga mengkritik kebijakan ini.

Menurutnya tanpa akses internet yang normal, masyarakat akan sulit "memantau kerja aparat memberikan pengamanan setelah kejadian." Ini dikhawatirkan akan membikin aparat lebih leluasa melakukan pelanggaran-pelanggaran saat menangani massa.

Hal ini juga memicu masyarakat keluar rumah, kata Usman. Pada saat itulah justru potensi konflik horizontal meningkat.

"Dalam situasi terbaru telah terdapat fakta berlanjutnya mobilisasi massa, termasuk dengan memakai atribut bendera bintang kejora dan merah putih. Ini buruk," katanya.

"Sesuai Aturan"

Plt Kepala Biro Humas Kominfo Ferdinandus Setu mengatakan kepada reporter Tirto, throttling dilakukan atas "permintaan dari Polri." "Kami butuh peneguhan polisi yang ada di lapangan, baru kami lakukan pelambatan akses," katanya kepada reporter Tirto, Rabu (21/8/2019).

Ferdinandus memastikan instansinya sudah bekerja sesuai dengan aturan yang ada.

"Kami hargai pendapat seperti itu. Yang jelas yang kami lakukan demi kepentingan umum yang diatur dalam pasal 40 UU ITE," ujarnya. "Jika tidak dilambatkan, maka akan memperkeruh suasana, meningkatkan eskalasi kerusuhan di tempat itu."

Baca juga artikel terkait KONFLIK PAPUA atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino