Menuju konten utama

Komentar Indef Soal Laporan Keuangan Garuda yang Menuai Kontroversi

Bhima Yudhistira menilai pencatatan piutang sebagai pendapatan Garuda harus memenuhi syarat yang ketat.

Komentar Indef Soal Laporan Keuangan Garuda yang Menuai Kontroversi
Sejumlah pesawat Garuda Indonesia Boing 777-300 terparkir di hanggar seusai perawatan dan perubahan konfigurasi kursi penumpang pesawat yang akan menjadi salah satu angkutan haji 2017 di Hanggar perawatan Garuda Maintenance Facility (GMF) Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Minggu (23/7). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal.

tirto.id - Pencatatan piutang sebagai pendapatan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) di laporan keuangan tahun 2018 menjadi polemik. Meski RUPST Garuda setuju menerima laporan keuangan itu, dua komisaris, yakni Chairal Tanjung dan Dony Oskaria, menolak dan mempertanyakannya.

Seperti diketahui, berdasarkan laporan keuangan 2018, Garuda mencatatkan laba 809,85 ribu dolar AS. Catatan itu jauh lebih baik dari kinerja Garuda pada 2017 yang merugi 216,58 juta dolar AS.

Penolakan 2 komisaris itu didasari alasan bahwa pencatatan piutang sebagai pendapatan Garuda tidak sesuai dengan prinsip akuntansi. Adapun transaksi piutang tersebut berasal dari kontrak kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan dan hiburan pesawat antara PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia (anak usaha garuda).

Ekonom Institute for Development on Economic (INDEF) Bhima Yudhistira berpendapat pencatatan piutang tersebut sebagai pendapatan harus memenuhi syarat yang ketat.

"Ada syarat pemasukan [pendapatan] yang belum terjadi [ke pembukuan], disebut sebagai accrued income. Tapi, syaratnya cukup ketat, salah satunya harus ada invoice," kata Bhima kepada reporter Tirto pada Jumat (26/3/2019).

Menurut dia, jika kontrak itu belum disertai invoice, alias dokumen resmi bukti pembelian, pencatatan piutang itu sebagai pendapatan layak dinilai tidak sesuai standar akuntansi.

"Ini enggak sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) nomor 23 paragraf 28 dan 29," jelas dia.

Menurut Bhima, pada paragraf 28 PSAK tertulis: pendapatan yang timbul dari penggunaan aset entitas oleh pihak lain, yang menghasilkan bunga, royalti, dan dividen, diakui resmi.

"Jika kemungkinan besar manfaat ekonomi sehubungan dengan transaksi tersebut akan mengalir ke entitas dan jumlah pendapatan dapat diukur secara andal. Kalau enggak ada invoicenya, enggak bisa dimasukan ke pendapatan," Bhima melanjutkan.

Dia menyarankan Garuda Indonesia menyelesaikan polemik internal dan segera memberi klarifikasi soal dugaan manipulasi akuntansi dalam laporan keuangannya kepada publik. Sebab, kata dia, isu tersebut bisa merugikan kredibilitas Garuda.

Setelah isu ini muncul, saham Garuda memang anjlok 7,6 persen menjadi Rp462 per saham pada 25 April atau sehari usai RUPST. Sehari kemudian saham Garuda memang menguat lagi, namun hanya 1,73 persen ke posisi Rp470 per saham.

Sementara Direktur Keuangan Garuda, Fuad Rizal mengakui perusahaannya memang belum menerima pendapatan dari kerja sama dengan Mahata. “Jadi memang seharusnya dicatatkan di [laporan keuangan] 2018, tapi belum ada pendapatan yang diterima,” kata Fuad usai konferensi pers hasil RUPST pada 24 April lalu seperti dikutip Antara.

Meski demikian, Fuad menegaskan Laporan Keuangan Garuda Indonesia tahun 2018 telah diaudit oleh auditor independen dan mengantongi status wajar tanpa pengecualian (WTP). “Ini hanya perbedaan pendapat saja antara dua pemegang saham, semua komisaris mengesahkan laporan keuangan kita,” ujar dia.

Baca juga artikel terkait GARUDA INDONESIA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Addi M Idhom