Menuju konten utama

Kodok, Kian Banyak di Meja Makan, Kian Sedikit di Alam Bebas

Kebutuhan akan daging kodok terus meningkat tanpa ada pembudidayaan yang serius. Ini memunculkan kekhawatiran seputar keberadaan spesies kodok.

Kodok, Kian Banyak di Meja Makan, Kian Sedikit di Alam Bebas
Budidaya katak lembu untuk diekspor. ANTARA FOTO/Arief priyono

tirto.id - Dalam acara Great Chefs of the World episode 182, Bernard Loiseau tampil berseri. Wajahnya dipenuhi aura bersemangat. Bernard memang nyaris persis seperti apa yang pernah digambarkan kontributor kuliner untuk The New Yorker, William Echikson.

"Wajahnya merah merona, kepala botak, senyum lebar, dan ada rambatan kerut-kerut dari sudut matanya."

Hari itu Bernard sudah mengenakan pakaian kerjanya kebanggaannya: baju koki lengan panjang berwarna putih dan apron senada yang melilit bagian pinggang hingga lutut. Sama seperti episode sebelumnya yang menampilkan juru masak jempolan dunia membagikan resep andalan, begitu pula yang akan dilakukan Bernard hari itu.

"Dari semua resep milikku, ini yang paling aku suka," ujarnya dengan senyum lebar ke kamera.

Nama resepnya: Frog Legs with Garlic and Parsley Sauces. Kaki kodok dengan puree bawang putih dan saus parsley. Sedikit mengejutkan karena ini bukan tipikal masakan dengan proses panjang dan berbelit. Masakan ini sederhana. Hanya perlu sedikit keribetan dalam mengolah puree bawang putih. Untuk kaki kodoknya, tentu diperlukan kaki kodok segar yang sudah dikuliti.

Bagi yang belum tahu bagaimana rupa kaki kodok, bayangkanlah sayap ayam. Bagiannya serupa. Ada drum yang merupakan bagian penuh daging; ada wingette yang berbentuk pipih dan punya rasa paling gurih; serta tip, alias ujung, yang nyaris tak bisa disantap kecuali dikremus.

Begitulah Bernard membagi kaki kodok. Sisihkan bagian wingette dan tip yang tak banyak daging. Pakai hanya bagian drum yang dagingnya tebal, sisakan ujung tulang untuk pegangan. Setelah siap, bumbui dengan garam dan lada. Lalu pupuri dengan tepung terigu. Diamkan sejenak. Kemudian goreng dalam lelehan mentega.

Selagi menunggu kaki kodok matang, Bernard menyiapkan puree bawang putih. Pertama, rebus bawang putih bersama kulitnya. Setelah mendidih, tiriskan dan sisihkan. Buang air, kupas kulit bawang. Lalu masukkan air dingin ke dalam panci, taruh kembali bawang putihnya, kemudian rebus. Ulangi proses buang air-isi air-rebus hingga 5 kali. Hasilnya adalah bawang putih yang lunak hingga gampang lumat. Bernard menghaluskannya dengan campuran sedikit air agar teksturnya pas: tak terlalu kental, namun tak pula cair. Air juga membuat rasa bawang putih tak terlalu kuat.

Untuk saus parsley, cukup jus daun parsley dengan air dingin. "Tak ada tambahan krim. Hanya parsley. Sangat alami dan segar," katanya.

Saat kaki kodok sudah berwarna cokelat keemasan, tiriskan. Di sini lah Bernard mewanti-wanti. "Seka lumuran mentega hingga kering. Kita ingin memberikan rasa alami kaki kodok," katanya.

Setelah kering, maka langkah selanjutnya adalah menata di atas piring. Langkah pertama, tuangkan saus parsley hingga membentuk lingkaran. Kemudian tuang satu sekup puree bawang putih ke bagian tengah. Di sisi pinggir, barulah ditaruh potongan kaki kodok.

"Voila! Inilah masakan kebanggaanku!" ujar pria yang sosoknya mengilhami film animasi Ratatouille ini.

Bagaimana Kaki Kodok Menginvasi Eropa

Apa yang disajikan oleh Bernard sejatinya mewakili bagaimana jejak mula gastronomi Perancis: sederhana, tak perlu proses ribet, namun penuh kekayaan cita rasa. Ratatouille, makanan yang kerap dianggap sebagai identitas makanan Prancis, hanya berupa sayur mayur yang ditumis. Bahan bakunya bisa dipetik kapan saja dari kebun belakang rumah.

Sedangkan kodok, bisa ditemukan dengan mudah, apalagi di Perancis abad 12. Saat itu biarawan gereja Katolik di Perancis dilarang memakan daging. Ada yang bilang itu berkaitan dengan agama, ada pula yang bilang kalau biarawan Perancis saat itu mengalami obesitas.

Namun biarawan ini cerdik dan mencoba untuk negosiasi dengan pimpinan gereja: kalau kaki kodok boleh lah, toh kodok gak termasuk daging merah dan masuk dalam golongan ikan. Rupanya negosiasi komikal itu berhasil. Abad 12 dianggap sebagai penanda bagaimana orang Perancis gemar menyantap kaki kodok. Untuk perkara menyikat kaki kodok ini, orang-orang Inggris punya julukan sekaligus ejekan bagi orang bangsa musuh bebuyutannya ini: frog eater. Bangsa pemakan kodok.

Orang Perancis punya berbagai cara untuk memasak kaki kodok. Misalkan basis masakan Bernard: kaki kodok yang dibumbui dengan garam dan lada, dipupur tepung, lalu digoreng dalam lelehan mentega. Resep ini berasal dari kawasan Dombes, walau yang dipakai oleh Bernard berasal dari Provencale.

Resep lain adalah French frog legs au poivre. Menu ini juga simpel. Awalnya adalah tumis lada bersama minyak zaitun, tambahkan anggur merah, krim, dan mentega. Lalu panggang kaki kodok dalam oven bersuhu 350 derajat selama 7 hingga 12 menit. Di teflon lain, tumis bawang merah dan jamur hingga layu. Tata dengan kaki kodok berada di posisi paling atas. Lalu kucuri dengan minyak jamur truffle.

Di luar nama itu, ada banyak makanan Perancis yang melibatkan kaki hewan malang ini. Mulai dari pizza, quiche, tourte, omelet, hingga cassolette grenouille. Di restoran, seporsi kaki kodok yang disajikan di atas piring kertas dan disertai kentang goreng, dihargai sekitar 7 Euro. Jika tambah bir, jadi 9 Euro.

Dengan sejarah menyantap kaki kodok selama 9 abad lamanya, wajar kalau Perancis kini adalah salah satu pengimpor terbesar kaki kodok di dunia. Menurut data PBB, sejak 1995, negara asal Alexandre Dumas --yang pernah menulis kitab berjudul Grand Dictionnaire de Cuisine, alias kamus besar masakan-- mengimpor 2.500 hingga 4.000 ton daging kodok setiap tahun.

Namun, Perancis tidak sendirian sebagai bangsa Eropa pemamah kodok. Belgia, Luxemburg, dan Belanda juga dikenal sebagai bangsa yang suka makan kaki kodok. Jika ditotal, seluruh Uni Eropa mengimpor 4.234 ton kaki kodok pada 2015. Kaki kodok itu diperkirakan berasal dari sekitar 84 hingga 200 juta ekor kodok.

Kaki kodok yang diimpor ke Eropa sudah berbentuk kemasan beku. Kulit sudah disiangi, dan dikemas dalam pak seperti orang Indonesia melihat kemasan nugget ayam atau sosis. Bedanya, kaki kodok dihargai lebih mahal dan dianggap sebagai barang mewah. Pada 2014 silam, kepolisian Perancis menangkap tiga orang pemburu kodok. Mereka didakwa menangkap 1.100 kodok yang ditangkap secara ilegal. Satu ekor kodok dihargai 1,2 dolar, atau sekitar 15 ribu.

Perancis memang lihai, kalau tak mau dibilang culas. Karena perburuan yang meningkat drastis dan membahayakan populasi kodok, pada 1976 pemerintah prancis memasukkan kodok dalam hewan yang dilindungi. Pada 1980, peternakan kodok untuk keperluan komersial resmi dilarang. Memang masih ada beberapa daerah di Prancis yang membolehkan penangkapan kodok dalam jumlah terbatas, dan hanya untuk konsumsi pribadi. Yang melanggar hukum ini, akan dikenakan denda sekitar 10.000 Euro, atau berkisar Rp142 juta.

Lantas, dari mana warga Prancis mendapat pasokan daging kodok? Impor, tentu saja. Dari negara mana? Coba tebak.

Ya, betul.

Indonesia.

Kodok di Meja Makanmu Berasal dari Indonesia, Monsieur

Sebenarnya budaya makan kodok tidak hanya terdapat di Eropa. Kaum Asia yang juga punya kultur memakan apa yang berdaging, juga punya catatan panjang tentang makanan berbahan baku daging kodok. Di Cina, diperkirakan kaki kodok sudah disantap sejak abad ke 1.

Indonesia juga punya kuliner berbahan baku kodok: swikee. Ada pula yang menulisnya swike. Istilah itu berasal dari bahasa Hokkian. Swi berarti air, ke berarti ayam. Diperkirakan ini adalah penggambaran tentang bagaimana rasa dan tekstur daging kodok mirip dengan ayam. Namun konsumsi kodok di Indonesia tentu tak sebanyak di Eropa atau di Cina. Sebabnya, mayoritas warga Indonesia adalah umat Islam yang menganut mazhab Syafi'i yang mengharamkan daging kodok.

Meski demikian, Indonesia memegang peranan penting dalam bisnis daging kodok dunia sebagai pengekspor. Sebenarnya hingga 1987, India dan Bangladesh masih menjadi dua eksportir terbesar daging kodok. Hingga akhirnya dua negara ini sadar bahwa populasi kodok di negaranya merosot drastis dan membawa kekacauan di alam. Maka pada 1987 India melarang ekspor daging kodok. Menyusul Bangladesh pada 1989.

Posisi puncak eksportir kodok kemudian diduduki oleh Indonesia. Setiap tahun Indonesia mengekspor 28 hingga 142 juta ekor kodok, atau sekitar 5.000 ton daging kodok. Pada 2014, Kementerian Pertanian mencatat nilai ekspor kodok Indonesia adalah 22,5 juta dolar.

Infografik Kodok Indonesia

Spesies yang paling dicari adalah kodok batu (Limnonectes macrodon), atau kerap disebut giant Javan frog. Menurut laporan Canapes to Extinction: The International Trade in Frog's Legs and Its Ecological Impact yang dirilis oleh tiga lembaga konservasi, tiga spesies lain yang jadi primadona untuk disantap adalah: kodok sawah (Fejervarya cancrivora), kodok tegalan (Fejervarya limnocharis), dan kodok lembu (Lithobates catesbeianus).

Popularitas kodok batu ini membuat populasinya di alam bebas menurun drastis. Salah satu indikatornya adalah penipuan label daging kodok yang dijual di supermarket Perancis.

Pada rentang 2012 dan 2013, dua peneliti biologi dari Universitas Sorbonee, Annemarie Ohler dan Violaine Nicolas, membeli 209 kaki kodok beku yang dilabeli sebagai kodok batu. Kemudian dua peneliti ini melakukan uji DNA untuk mengetahui spesiesnya. Ternyata hasil tesnya adalah, 206 spesies ternyata kodok sawah.

Ini menunjukkan paling tidak dua hal. Pertama, kodok batu masih menjadi buruan utama di Perancis. Kedua, karena makin minimnya pasokan daging kodok batu, akhirnya penjual memberi label yang salah. Toh pembeli tak akan tahu apa spesies kodok yang sudah jadi daging beku ini.

"Hilangnya kodok batu dari supermarket ini mungkin jadi indikasi langkanya populasi hewan ini di alam bebas. Juga merupakan fakta kalau populasi alamiahnya menurun drastis," ujar Ohler pada Deutsche Welle.

"Bahkan menurutku populasi kodok batu di alam liar hanya tinggal segelintir."

Menurut lembaga konservasi International Union for Conservative of Nature (IUCN), kodok batu kini dianggap masuk dalam golongan spesies yang rentan punah. Selain jadi konsumsi manusia, hilangnya habitat alami dan polusi air juga menjadi penyebab populasi kodok batu menurun.

Perdagangan kodok yang tak terkontrol ini tentu menimbulkan kekhawatiran. Kodok adalah pembasmi hama alami. Hilangnya kodok tentu akan membuat petani amat bergantung pada pestisida untuk membasmi hama.

"Jika pasar tetap tidak terkontrol, hanya tinggal tunggu waktu sebelum populasi kodok akan punah," ujar Sandra Altherr, yang ikut menulis Canapes to Extinction.

Repotnya, kehilangan kodok tidak semenggugah ketika dunia kehilangan, misalkan, harimau atau badak bercula satu. Padahal kodok juga punya peranan yang amat penting, terutama bagi negara agraris. Lembaga-lembaga konservasi dunia kemudian menyerukan pengontrolan perdagangan daging kodok. Juga membatasi impor daging kodok bagi Uni Eropa. Solusi lain yang ditawarkan adalah lebih menggiatkan peternakan kodok, alih-alih memburu dari alam liar. Untuk sekarang, masih belum ada penelitian yang mengkaji dampak berkurangnya populasi kodok terhadap alam bebas di Indonesia.

Tapi tentu lebih baik kita belajar dari India dan Bangladesh sebelum semuanya terlambat.

Baca juga artikel terkait KODOK atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti