Menuju konten utama

Koboi dan Orang Tua yang Mengajari Cara Menjadi Pria Sejati

Kesengsaraan apa yang asing bagi seorang orang tua, penderitaan apa yang belum melindasnya? Inilah rekomendasi film-film Clint Eastwood.

Koboi dan Orang Tua yang Mengajari Cara Menjadi Pria Sejati
Aktor Hollywood Clint Eastwood. SHUTTERSTOCK

tirto.id - Menurut para ninik mamak Colonus dalam lakon Sophocles, Oedipus at Colonus, urut-urutan nasib manusia, mulai dari yang terbaik sampai yang paling mengenaskan, adalah tidak pernah dilahirkan, mati muda, dan hidup sampai tua. “Kesengsaraan apa yang asing bagi seorang orang tua, penderitaan apa yang belum melindasnya? Dalam ketuaan, terkandung segala jenis jentaka,” ujar mereka.

Benar, tetapi mereka lupa menyatakan bahwa ketuaan tidak seragam. Demi masa, sesungguhnya tak ada kewajiban pada siapa pun untuk mengikuti jejak, katakanlah, Amien Rais atau Taufiq Ismail. Dunia ini cukup luas untuk menampung orang-orang tua yang gembira dan menggembirakan.

"Saya, sih, mau-mau saja menjadi tua sebagai Clint Eastwood," tulis kritikus film Roger Ebert pada 2008. "Eastwood sang sutradara, Eastwood sang aktor, Eastwood yang tak tertandingi, Eastwood si gaek."

"Sepanjang sejarah sinema, berapa banyak orang yang telah jadi aktor selama 53 tahun, sutradara selama 37 tahun, memenangkan dua Oscar untuk penyutradaraan dan dua lagi untuk film terbaik ditambah Hadiah Thalberg, dan pada usia 78 masih sanggup menyutradarai dirinya sendiri dan tampak lebih jahat ketimbang neraka? Selain Eastwood, tidak ada," Ebert melanjutkan.

Roger Ebert meninggal dunia dalam usia 70 tahun pada 2013, sedangkan Eastwood bertambah uzur, tampak makin jahat, dan terus memperpanjang daftar hasil kerjanya. Ia tak terhentikan. Barangkali, maut pernah mampir ke bioskop pada 1971 dan menyaksikan bagaimana Eastwood menghabisi kawanan perampok bersenjata sambil makan roti tangkup.

Eastwood mulai sebagai pemain film kelas dua, dengan peran-peran yang tak tercatat dalam credit title. Namun, karier aktor yang di kemudian hari dikenal sebagai simbol kejantanan itu berpindah ke jalur yang tepat saat ia berumur 34 tahun, berkat peran Pria Tanpa Nama dalam film koboi karya Sergio Leone, A Fistful of Dollars.

Dalam sebuah gelar wicara di televisi pada 1969, Muhammad Ali mengatakan bahwa kebanyakan bintang film koboi “harus berkuda dan menembak ke sana kemari untuk membetot perhatian penonton.” Lalu ia mengerling ke Eastwood yang duduk di sebelahnya dan melanjutkan: “Sedangkan kau hanya perlu turun ke kota, bercukur, dan menyalakan sebatang rokok hitam,” katanya sambil meniru airmuka khas Eastwood, dengan mata yang menyipit dan satu ujung bibir tertarik ke atas.

Setelah memantapkan kedudukannya sebagai aktor, Eastwood menyutradarai film pertamanya, Play Misty for Me. Hingga kini, ia telah menyutradarai dan menjadi pemeran untuk puluhan film lain; dan dalam beberapa di antaranya, ia berada di depan sekaligus di belakang kamera. Tentu ada banyak hal menarik yang dapat dibicarakan tentang karier Clint Eastwood yang terentang selama enam dekade, tentang bermacam-macam film yang ia telah hasilkan.

Tirto menyusun daftar pendek berikut sebagai pengantar bagi pembaca yang berminat mengenal dunia sinematik Eastwood, mulai dari film yang memperkenalkannya kepada khalayak hingga yang ia ciptakan di masa tua, masa ketika kata “sukses” telah jadi terlampau sepele buat diucapkan dalam satu embusan napas dengan namanya.

Clint Eastwood Pilihan Tirto.id

The Good, the Bad, and the Ugly (Sergio Leone, 1966)

Eli Wallach sedang berada di California saat ia menerima kabar dari agennya: seorang sutradara Italia hendak membuat film koboi dan menginginkan dia memerankan salah satu karakter dalam film itu.

“Ah, yang betul?” kata Wallach. “Ya. Film spaghetti-Western, istilahnya,” ujar si agen. “Apaan, tuh, kok kayak pizza ala Hawaii? Saya belum pernah dengar,” kata Wallach lagi.

Sutradara itu adalah Sergio Leone dan ia membuat film-film koboi yang lebih bagus ketimbang kebanyakan film koboi bikinan orang mana pun. Andai Wallach hanya mau mempercayai hal-hal yang telah ia dengar, ia tentu sudah kehilangan salah satu kesempatan terbesar dalam kariernya: membintangi The Good, the Bad, and the Ugly, yang laris di bioskop (dengan pendapatan box office domestik sebesar 25,1 juta dolar pada 1967 [senilai 180,4 juta dolar hari kini]) sekaligus mendapat tempat istimewa dalam sejarah sinema.

Pokok cerita film itu sederhana, tiga jagoan Barat Liar—Blondie alias The Good (Clint Eastwood), Angel Eyes alias The Bad (Lee van Cleef), dan Tuco alias The Ugly (Eli Wallach)—berlomba mencari harta karun. Namun, sebelum sampai di padang kuburan tempat koin-koin emas itu terpendam, mereka mengalami banyak sekali persoalan, termasuk terlibat Perang Sipil Amerika Serikat.

Selama hampir tiga jam, isi layar adalah ramuan ciamik gambar-gambar yang tersusun dalam ritme khas (misal: tanpa cut, long shot lanskap Barat Liar tiba-tiba digantikan oleh wajah gosong seorang pria; montase memukau saat The Ugly berlari-lari di pemakaman; adegan saling pelotot sebelum adu tembak penghabisan yang panjang dan menebarkan perasaan terdesak sampai ke luar layar), dialog minimalis, humor kering, serta musik latar bikinan Ennio Morricone yang bakal mengaduk jerohan Anda dan bercokol di sana buat selamanya.

Dan yang paling penting: menonton The Good, the Bad, and the Ugly adalah cara menghabiskan banyak waktu tanpa kena senggol kebosanan sama sekali. Film-film semacam ini tentu patut dijadikan kawan baik pada jam kerja, saat menunggu waktu berbuka puasa, atau pada hari-hari menjelang pilkada.

Dirty Harry (Don Siegel, 1971)

Anda menganggap Chuck Norris dan Arnold Schwarzenegger intimidatif? Teladan dalam perkara kejantanan? Bila disandingkan dengan Inspektur Harold “Dirty Harry” Callaghan (Clint Eastwood), mereka cuma akan jadi Chucky si Gumpalan Rambut dan Arnie si Bakso Urat.

Urusan-urusan yang diselesaikan Norris dengan susah-payah—sampai ia harus mengguling-gulingkan badannya yang berkeringat di tanah—dapat dicapai Dirty Harry hanya dengan mengernyit. Dan jika Schwarzenegger memerlukan meriam sandang dan mitraliur dan segala jenis senjata yang diketahui umat manusia untuk mengalahkan lawan-lawannya, Dirty Harry cuma perlu menembakkan lima atau enam butir peluru kaliber 44 ditambah sedikit kata-kata.

The Beguiled (Don Siegel, 1971)

Diakui atau tidak, terdampar di suatu tempat yang hanya dihuni perempuan-perempuan muda rupawan ialah khayalan mesum yang populer di kalangan pria. Film ini bermula sebagai penampakan fantasi tersebut dan berakhir sebagai sebuah cerita horor.

Di masa Perang Sipil, seorang serdadu dari Utara terluka parah di Louisiana, wilayah Konfederasi, lalu seorang murid sekolah asrama perempuan membawanya pulang untuk dirawat. Jadilah prajurit tersebut, Kopral John McBurnee (Clint Eastwood), dikelilingi oleh para perempuan yang tak pernah mengenal atau telah sekian lama tak bergaul dengan pria.

Sebagai bagian dari fantasi romantik, tentu saja beberapa di antara mereka, tersebab penasaran atau kangen, memasang tampang “panas-dingin-aduh-ga-kuku-bok” setiap kali berdekatan dengan Pak Kopral yang tampan dan gagah.

Dan Pak Kopral tak hendak memilih. Ia menjelma jadi pria idaman setiap penghuni asrama yang menunjukkan minat kepadanya. Demi Nona Martha Farnsworth si kepala sekolah, ia berlaku seperti ningrat, dengan pembawaan yang serba patut dan penuh kewaskitaan; di hadapan Bu Guru Edwina, ia tampil sebagai “pangeran yang akan membebaskanmu dengan ciuman”; tetapi semua itu tak menghalanginya buat menjadi monster testosteron yang liar dan buas ketika bersama Carol, gadis perayu yang baru berumur 17 tahun.

Itu menu utamanya. Buat pencuci mulut dan hidangan penutup, Pak Kopral mencitrakan diri sebagai pria yang jenaka dan punya simpati besar terhadap nasib orang-orang kulit hitam di hadapan Hallie si budak dan, kepada Amy, remaja 12 tahun yang menemukannya, ia mencurahkan perhatian serta kasih yang tak kebapak-bapakan amat. Misalkan Pak Kopral tinggal di asrama itu sampai bocah itu cukup umur, tentu si bocah akan ditelannya juga.

Barangkali, McBurnee memperoleh pangkat rendahan karena memang cuma sebatas itulah kecerdasannya—seperti si Bujang dalam film Nagabonar. Meski lihai merayu dan bersandiwara, Pak Kopral sungguh dungu sehingga suatu malam ia main gila dengan salah seorang perempuan itu di loteng. Perempuan itu terkikik melulu dan langit-langit rumah berkeriut-keriut.

“Oh, tidak! Tidak!” teriak Bu Guru Edwina sambil bersandar di pintu loteng, sesaat setelah menyaksikan bongkahan putih yang ia kenal sebagai bokong tetapi jelas bukan bokongnya bercokol di atas Pak Kopral. Dan sejak saat itu, hidup tak bisa jadi lebih buruk lagi buat Kopral McBurnee.

Lewat film ini, Eastwood menunjukkan bahwa kebisaanya bukan cuma cemberut dan mendengus dan menembak. Ia melepas segenap machismo dan citra kejantanan yang telah jadi merk dagangnya dan berubah menjadi Kopral McBurnee yang mesum dan cerewet. Lebih jauh, itu adalah peran berbingkai yang kompleks, dan Eastwood sanggup memainkannya dengan keluwesan yang alami, seolah-olah ia memang dilahirkan untuk peran-peran semacam itu.

Unforgiven (Clint Eastwood, 1992)

Eastwood mempersembahkan Unforgiven, film koboinya yang terakhir, untuk Sergio Leone dan Don Siegel, dua sutradara yang telah “menyelamatkan” kariernya (sampai berusia 30an awal, Eastwood adalah aktor buangan di Hollywood) dan banyak mempengaruhi pandangan-pandangannya tentang film.

Baik di dalam maupun di luar pagar genre koboi, Unforgiven adalah salah satu film terbaik sepanjang masa. Dan sebagaimana umumnya film-film hebat, ia sanggup mengangkat hal yang diceritakannya menjadi metafora. Barat Liar dan segala kekerasan yang terkandung di dalamnya bukan cuma Barat Liar dan kekerasan, tetapi juga jalan memutar untuk menyampaikan, dalam istilah Dhruv Solanki dari Taste of Cinema, “permenungan yang mendalam tentang manusia.”

Gambar pembuka film ini menampilkan bayang-bayang rumah kayu, pohon besar, nisan, dan seorang pria. Di belakang mereka, matahari tenggelam dan langit berwarna oranye. Sebuah teks yang mengisahkan kematian seorang perempuan muncul di sisi kiri layar. Dialah yang terbaring di bawah nisan, dan pria yang datang berkunjung adalah suaminya, William Munny (Clint Eastwood), bandit keji yang telah jadi jinak dan beralih pekerjaan menjadi peternak babi.

Tetapi Munny peternak yang buruk. Berkali-kali ia tersungkur, dengan muka terbenam di adonan lumpur dan tahi, sewaktu mengejar babi-babinya. Hewan-hewan itu juga mulai terkena wabah.

Kemudian petualangan memanggil. Di Wyoming yang jauh, dua koboi tak tahu aturan membeset muka seorang pelacur dan teman-teman pelacur itu mengumpulkan seribu dolar untuk dihadiahkan bagi siapa pun yang berhasil membunuh mereka.

Munny berpikir, kehidupan sebagai peternak ialah jaminan yang kurang bagus bagi masa depan kedua anaknya. Maka, sambil menggotong perasaan bersalah, ia berkelana bersama Schofield Kid (Jaimz Woolvett), pemuda yang memberitahukan informasi itu kepadanya, dan Ned Logan (Morgan Freeman), salah seorang rekan lamanya, demi uang darah.

Menurut Roger Ebert, matahari terbenam di awal film adalah simbol berakhirnya sebuah era. Barat Liar yang penuh kekerasan, juga manusia-manusia yang merupakan bagiannya, seperti Munny dan Logan, bakal terhapuskan. Namun, celakanya, justru di saat itulah para protagonis dalam Unforgiven kembali ke cara hidup mereka yang lama. William Munny, yang di awal cerita bahkan sudah lupa cara menaiki kuda dan tak becus menembak kaleng, berakhir sebagai pembunuh berdarah dingin yang membantai belasan orang.

“Selama lebih dari seratus tahun sejarah film, para sutradara sibuk mengajari penonton tentang hidup, cinta, masyarakat, dan kompleksitas pengalaman,” tulis Sam B. Girgus dalam buku Clint Eastwood's America. “Namun, Eastwood adalah bagian dari sekelompok kecil sutradara istimewa yang membuat para penonton berpikir.”

Baca juga artikel terkait CLINT EASTWOOD atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Film
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Zen RS